Marak Pelaku Kejahatan Anak, Apa yang Harus Diketahui?
Edukasi | 2023-03-07 17:09:35Fenomena anak sebagai pelaku kejahatan makin mudah kita temukan di media sosial. Anak yang melakukan kekerasan, ancaman, bullying, berkata tidak senonoh kepada orangtua, terlibat narkoba hingga pembunuhan. Itu semua terjadi dan membuat kita semakin mengurut dada. Di satu sisi, perlindungan anak harus digencarkan namun di sisi lain, anak menjadi potensi ancaman bagi lingkungan masyarakat.
Kita memahami bahwa penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak tidak berdiri sendiri. Hal itu disebabkan oleh faktor di luar anak. Perilaku buruk orangtua yang ditiru, pengaruh lingkungan yang negatif hingga pengaruh game online atau internet yang tanpa filter. Indonesia sudah memiliki UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, UU SPPA ini lebih difokuskan kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
UU ini menjawab kebutuhan hukum dalam masyarakat dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Ada beberapa poin yang menjadi sorotan dalam UU ini, antara lain diterapkannya proses diversi dalam penyelesaian perkara anak dan pendekatan keadilan restoratif.
Proses diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara pidana anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan anak. Secara praktis, pengalihan proses ini dilakukan melalui mediasi, dialog atau musyawarah. Diversi dilakukan secara bertahap terutama pada penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
Menurut UU SPPA, proses diversi melibatkan anak dan orangtuanya dengan korban dan orangtuanya. Merekajuga didampingi pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional yang telah ditunjuk oleh negara. Diversi dapat dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan di bawah tujuh tahun tuntutan dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Sementara, keadilan restoratif ditujukan sebagai upaya hukum yang berkeadilan bagi anak. Berkeadilan karena anak sejatinya masih berkembang dan membutuhkan perhatian, kasih sayang serta bimbingan. Kelak, dengan adanya keadilan restoratif, anak bisa berubah menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
UU SPPA mengarahkan anak untuk tidak dipenjara di lapas umum. Mereka ditempatkan di lapas yang ramah anak dan tidak bercampur dengan dewasa. Pemisahan ini ditujukan agar lapas tidak menjadi "sekolah kejahatan" anak.
Pelaku kejahatan anak sejatinya lahir dari ketidakberdayaan sistem sosial masyarakat. Ada yang tidak berfungsi dalam sistem pengendalian sosial. Dengan adanya UU SPPA, sanksi terhadap pelanggaran norma sosial oleh anak bisa diatasi. Dengan begitu, setiap warga masyarakat tetap nyaman dengan norma-norma yang berlaku, sehingga tertib sosial dapat terwujud. Penerapan pidana anak menjadi pegangan dari negara untuk meluruskan maupun memaksa agar anak tidak menyimpang dari norma sosial. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.