Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Kalau Warnanya Bening, Mengapa Disebut Air Putih

Pendidikan dan Literasi | Monday, 06 Mar 2023, 20:40 WIB

KALAU WARNANYA BENING, MENGAPA DISEBUT AIR PUTIH

Judul di atas terinspirasi dari seorang anak TK. Di sekolah anak saya, ketika sang guru memberikan anjuran, “Banyak minum air putih ya!” Spontan ada salah seorang murid yang protes, “Air itu kan bening Bu, kenapa disebut air putih?” sang guru terhenyak, tidak menyangka anak sekecil itu malah lebih cerdas dibanding dirinya.

*****

Salah kaprah dalam kata atau istilah Bahasa Indonesia sudah sering terjadi, bahkan ada yang sudah berlangsung sangat lama. Disebut salah kaprah, walaupun itu sudah jelas salah, tapi sudah biasa (lazim) dipakai. Ada yang sudah disempurnakan lewat Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang baru. Ada pula yang sebenarnya sudah diperbaiki, namun karena sudah mendarah-daging di masyarakat, kata atau istilah yang salah kaprah tadi tetap saja dipergunakan.

Kita dianjurkan untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bahasa tulis dan dalam forum yang resmi. Terlebih, bahasa merupakan identitas sebuah bangsa. Saat Sumpah Pemuda, para pemuda dari berbagai latar belakang etnis dan bahasa sepakat untuk “menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.

Berikut saya sampaikan beberapa kata atau istilah Bahasa Indonesia yang masih salah kaprah:

sumber gambar: https://aceHTrend.com

1. Absensi (ketidakhadiran), yang benar adalah presensi (kehadiran);

2. Legalisir, minimalisir, dramatisir dan sejenisnya, yang benar adalah legalisasi, minimalisasi, dramatisasi;

3. Pedesaan, pemukiman, yang benar adalah perdesaan, permukiman (kalau yang dimaksud adalah lokasi, tempat);

4. Salam taklim, yang benar salam takzim (salam hormat);

5. Lurah menjadi kelurahan, camat menjadi kecamatan, kalau bupati seharusnya menjadi kebupatian bukan kabupaten, hehe ;

6. Ada lagi bahasa Inggris yang diberi awalan, seperti meng-create, di-follow up, men-delete, dll; apakah yang seperti ini baku atau tidak, saya belum tahu;

7. Memakai kata “kami” sebagai pengganti saya, padahal kalau kami harus lebih dari satu orang.

8. Mentaati, yang benar adalah menaati;

9. Memproses, yang benar adalah memroses;

10. Mengkonsumsi, yang benar adalah mengonsumsi;

11. Resiko, yang benar adalah risiko (karena dari unsur serapan risk, Bahasa Inggris)

12. Dan masih banyak contoh lainnya.

Hal ini ditambah pula dengan kecenderungan pemakaian Bahasa Indonesia yang “Jakartasentris”, dalam arti Bahasa Indonesia dengan logat dan aksen khas Betawi. Jakarta sebagai ibukota NKRI tentu dijadikan rujukan oleh orang-orang daerah, termasuk dalam hal berbahasa. Terlebih dari pengaruh acara-acara di televisi maupun media lainnya yang sangat kental nuansa Bahasa Betawi-nya.

Jadi, secara tidak langsung, dalam keseharian bahasa Betawi lebih populer digunakan daripada Bahasa Indonesia. Jangan heran jika di pelosok-pelosok desa sekali pun, orang-orang (terutama kaum muda) sudah terbiasa berbicara “lu-gue”, “nyokap-bokap”, “kagak”, “bini”, dan sebagainya.

Kembali ke perihal salah kaprah. Tidak hanya terjadi pada orang-orang awam atau yang berpendidikan rendah, bahkan para sarjana, pejabat, atau pembicara publik pun masih sering melakukannya. Bahkan, mereka yang setiap hari bergelut dengan bahasa, seperti guru, penulis, atau wartawan, tak luput dari salah kaprah dalam berbahasa.

Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang paling mudah di dunia. Antara tulisan dan pelafalannya sama. Tidak seperti Bahasa Arab, apalagi Bahasa Inggris yang antara tulisan dengan cara membacanya jauh berbeda. Sekalipun demikian, kita tidak boleh meremehkan Bahasa Indonesia, apalagi malas mempelajarinya secara baik dan benar.

Akhir kata, mari kita sama-sama melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 36.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image