Meningkatkan Partisipasi Politik Pemilu 2024
Politik | 2023-03-01 15:05:44Di setiap pelaksanaan pemilu masyarakat bisa kita identifikasi ke dalam dua kelompok. Mereka yang memilih berpartisipasi disebut partisipan, serta mereka memilih apatis, tidak melibatkan diri ke dalam aktifitas politik, kelompok ini memiliki keyakinan tidak ada pengaruh signifikan dalam hidupnya terlibat atau tidak terlibat kegiatan politik. Salah satu bentuk dari kegiatan politik adalah memilih pemimpin dibilik suara ketika pemilu.
Kelompok masyarakat memiliki pilihan tidak memilih atau tidak datang ke tempat pemungutan suara dalam literatur ilmu politik disebut perilaku non-voting. Menurut Yanuarti (2008) perilaku non-voting adalah bentuk tindakan dari seseorang merujuk ketidakhadirannya dalam pemilu, disebabkan oleh tidak adanya motivasi di dalam dirinya dalam memilih pemimpin.
Di dalam lanskap politik Indonesia sendiri, kelompok masyarakat memutuskan tidak menggunakan hak politiknya, dikenal dengan istilah Golput (golongan putih), sebuah istilah dipopulerkan gerakan protes mahasiswa di awal tahun 1970-an, ketika mereka menyaksikan pemilu pertama era pemerintahan Orde Baru, sangat kental tindakan kecurangan, manipulasi, dan intimidasi. Kemudian kelompok kritis mahasiswa itu mendeklarasikan gerakan Golput, mereka datang ke tempat pemungutan suara, tetapi sengaja menggugurkan suaranya tidak memilih gambar partai politik, melainkan mencoblos diluar gambar partai, yaitu bagian putih dari kertas suara, tindakan politik mereka membuat suaranya tidak sah.
Faktor Perilaku Non-Voting
Terdapat beberapa faktor seseorang memutuskan tidak melibatkan diri dalam pelaksanaan pemilu. Pertama, faktor ideologis, memiliki keyakinan demokrasi merupakan produk dari tradisi dan budaya dunia barat, di nilai tidak cocok dengan prinsip, keyakinan dan kepercayaan mereka, sehingga semua produk demokrasi mengalami penolakan termasuk di dalamnya pelaksanan pemilu.
Kedua, pilihan idealisme politik, artinya partai politik dan wakil rakyat dianggap gagal dalam merealisasikan janji-janji politik di pemilu sebelumnya, mereka melihat terdapat ketidaksesuaian harapan dengan kenyataan, antara waktu kampanye dengan ketika menjabat, akhirnya memutuskan tidak memilih di pemilu selanjutnya.
Ketiga, disebabkan administrasi, mereka tidak mendatangi tempat pemungutan suara karena validitas data kependudukan carut-marut, menyebabkan nama bersangkutan tidak terdata sebagai pemilih tetap. Keempat, tidak memahami politik sebagai sarana perubahan, disebabkan tidak memahami urgensi pentingnya berpartisipasi dalam demokrasi, padahal melalui pemilu masyarakat dapat melakukan reward and punishment, mempertahankan wakil rakyat atau pemimpin menjalankan mandat politik secara benar, atau menggantinya dengan aktor politik baru dinilai mampu mengemban amanat dari rakyat.
Arti Penting Partisipasi Politik
Pemilu membutuhkan partisipasi politik dari masyarakat, karena setiap pemerintahan diseluruh dunia, memerlukan legitimasi dari rakyatnya, salah satu cara mendapatkan legitimasi adalah memperoleh mandat suara langsung dari rakyat melalui kertas suara. Dengan banyaknya masyarakat memberikan hak suara, otomatis pemerintahan yang terbentuk memiliki kepercayaan diri, sehingga lebih mudah merumuskan dan mengeksekusi kebijakan pemerintah.
Bagi masyarakat dengan memberikan suara kepada pemimpin dan wakil rakyat, mereka memiliki hak mempertanyakan atau mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, karena ketika memberikan pilihan politik dibilik suara, telah terjadi kontrak politik antara pemimpin atau wakil rakyat dengan pemilihnya, maka menjadi kewajiban kedua belah pihak menyelesaikan kontrak itu selama satu periode kekuasaan.
Pemimpin atau wakil rakyat terpilih memiliki kewajiban merealisasikan janji politik seperti pemerataan pembangunan, pendidikan terjangkau, kesejahteraan ekonomi, dan lain-lain. Sedangkan rakyat bisa mendukung setiap kebijakan pemerintah yang membawa kebaikan bersama, serta berhak memberikan masukan serta kritikan terhadap kebijakan dinilai tidak berdampak positif bagi masyarakat.
Meningkatkan Partisipasi Politik
Meningkatkan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Pemilu 2024 terdapat beberapa strategi bisa ditempuh berbagai pihak. Pertama, pendidikan politik, khusus masyarakat tidak memahami partisipasi politik, diberikan pemahaman tentang pentingnya terlibat dalam politik, yaitu memilih. Karena setiap kebijakan pemerintah terkait hajat hidup orang banyak dilakukan melalui mekanisme politik, lewat wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif.
Kedua, terus memperbaiki administrasi kependudukan, data pemilih mesti divalidasi mendekati keakuratan dan ketepatan, seperti tidak lagi menyertakan pemilih telah meninggal dunia, pembersihan data pemilih ganda, dan memasukan warga negara sudah memiliki hak pilih yang belum terdata.
Ketiga, persoalan utama seseorang memilih perilaku non-voing di Indonesia, sebenarnya sangat tergantung pada sisi ketersediaan aktor-aktor politik berkualitas. Kalau partai politik mampu menyediakan aktor-aktor politik sangat menjanjikan kepada publik dalam rangka memberikan perbaikan serta memiliki rekam jejak baik, maka otomatis tingkat partisipasi politik masyarakat akan tinggi, mereka akan antusias memberikan suaranya kepada sosok-sosok politisi memiliki karakter perubahan dan perbaikan.
Terakhir pelaksanaan pemilu di Indonesia setahun lagi, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024, sebagai warga negara kita mengharapkan pesta demokrasi ke enam pasca Orde Baru itu berjalan sukses, mampu melahirkan pemimpin serta wakil rakyat memiliki komitmen dan integritas tinggi dalam membangun Indonesia.
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Ketua Bidang Hikmah Dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Karawang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.