Pendidikan Inklusif dan Upaya Mengenyahkan Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan
Guru Menulis | 2023-03-01 07:46:54
Oleh : Ahmad Kholiyi, S.Hum. (Guru MTs Negeri 6 Pandeglang, Direktur LsIS Banten)
Memperoleh Pendidikan sejatinya menjadi hak bagi setiap manusia. Tanpa membeda-bedakan gender, status sosial, suku, ras, agama, warna kulit, dan persoalan fisik dan psikis. Pendidikan harus bisa ditransfusikan secara merata dan menyeluruh agar setiap anak memperoleh dan merasakan manfaan penting dari pendidikan.
Makna pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan bekal paling awal yang harus diberikan kepada anak. Jauh sebelum orang tua menyekolahkan anaknya, orang tua memiliki peran vital dalam memberikan pendidikan dasar pada anaknya. “Al-ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. ”Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik”. Demikian bunyi Hadits Rasulullah terkait peran utama orang tua (Ibu) sebagai madrasah/sekolah utama bagi anak-anaknya.
Dalam konteks kenegaraan, Negara Indonesia menjamin setiap warga negaranya mendapatkan pendidikan yang layak. Kewajiban negara terhadap warga negara dalam bidang pendidikan memiliki dasar yang sangat esensial, karena juga menjadi tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saking esensialnya prioritas pendidikan bagi warga negara Indonesia itu tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “ untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ”
Negara Indonesia sudah jelas mengatur persoalan pendidikan dalam Undang-Undang. Pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) setiap warga negara yang dijamin dengan UUD 1945. Hak mendapatkan pendidikan ini tercantum dalam Pasal 28C Ayat 1 dan Pasal 28E Ayat 1.
Pasal 28C Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Sementara itu Pasal 28E Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pendidikan nasional diramu sebagai usaha agar bangsa Indonesia mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Melalui pendidikan, setiap warga negara diharapkan mampu mengembangkan diri dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara berkelanjutan.
Sistem pendidikan nasional seyogianya harus dilaksanakan berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu (1) semesta, (2) menyeluruh, serta (3) terpadu. Semesta berarti pendidikan terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh berarti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Terpadu berarti saling bertautan antara pendidikan nasional dengan seluruh upaya pembangunan nasional.
Secara khusus, negara telah mengatur regulasi terkait hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan, yakni dalam Pasal 31 UUD 1945. Contoh hak yang diatur secara eksplisit dalam Psal 31 ini adalah penerimaan peserta didik baru tidak boleh dibedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, dan suku.
Lebih jelasnya Pasal 31 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
(1) Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang
Pasal 31 UUD ini kemudian mengalami amandemen pada tahun 2002, menjadi memiliki lima (5) ayat sebagai berikut:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Diskriminasi Pendidikan, Sebuah Fenomena
Hak memperoleh Pendidikan sejatinya dapat dirasakan oleh setiap warga negara. Tapi, pada praktiknya di lapangan ternyata masih ada saja perilaku diskriminatif dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh segelintir oknum.
Perlakuan diskriminatif tersebut biasanya dialami oleh anak yang memiliki kebutuhan khusus. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari banyak pihak, baik oleh individu, kelompok, bahkan lembaga pendidikan.
Pendidikan yang seharusnya tidak membeda-bedakan gender, status sosial, suku, ras, agama, warna kulit, dan persoalan fisik dan psikis ternyata masih dilanggar oleh oknum-oknum yang seharusnya menjalankan dan menerapkan prinsip pendidikan tersebut.
Karena perlakuan diskriminatif tersebut akhirnya kesetaraan pendidikan tidak berjalan secara maksimal. Akibatnya manfaat pendidikan yang telah dijamin oleh negara tidak bisa dirasakan sepenuhnya oleh setiap warga negara, terutama oleh ABK yang mengalami diskriminasi.
ABK adalah anak yang memerlukan perhatian serta kasih sayang yang lebih spesifik, baik itu dalam lingkungan keluarga (di rumah) atau pun di lingkungan sekolah. Spesifikasi tersebut ada karena anak yang dikategorikan sebagai ABK tersebut memiliki berbagai hambatan dalam pertumbuhannya dan memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya.
Jika kita melakukan pencarian di Internet terkait kasus diskriminasi terhadap ABK, maka akan dengan mudah kita temukan. Karena memang masih banyak kasus kasus diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
Contoh dari perilaku diskriminatif ini biasanya menimpa seorang anak berkebutuhan khusus yang ditolak sebuah sekolah saat mendaftar tanpa alasan yang jelas. Alasan terjadinya diskriminasi yang paling lumrah terhadap ABK biasanya adalah sekolah menolak/tidak menerima ABK masuk karena memiliki keterbatasan fisik. Selain itu, fasilitas sekolah yang kurang memudahkan anak berkebutuhan khusus dan jumlah sekolah yang kurang mengakomodasi ABK juga mencerminkan diskriminasi bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam aspek pendidikan.
Padahal, jika kita membedah kembali Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sindiknas) Pasal 11 Ayat 1, jelas sekali dikatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi”. Bunyi UU tersebut dapat diartikan juga bahwa negara wajib membuka akses pendidikan bagi seluruh warganya, termasuk juga bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Bagaimanapun juga, ABK adalah bagian dari warga negara yang berhak menerima pendidikan yang setara dengan anak-anak normal pada umumnya. Mereka juga ingin ikut terlibat dalam dunia di sekitarnya dan ingin mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya.
Hal lain yang harus kita fahami bersama adalah bahwa anak-anak berkebutuhan khusus juga memiliki emosi, bisa merasa sedih, senang, malu, gugup, dan lainnya. Tentunya, jika mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif, mereka juga akan merasakan kesedihan, kekecewaan, bahkan keputus asaan.
Pada hakikatnya, ABK tentunya ingin mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak normal pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada cara pendidik/guru menanganinya. Mereka harus diperhatikan secara khusus. Oleh karenanya wajib bagi para pengajar/guru memahami dan mempelajari cara menangani anak berkebutuhan khusus ini.
Pendidikan Inklusif sebagai Solusi Mencegah Diskriminasi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) nampaknya telah berupaya memecahkan persoalan terkait hak pendidikan bagi ABK. Yakni dengan menerapkan sistem pendidikan inklusif
Kata “inklusif” berasal Bahasa Inggris, yaitu “Inclusion” yang berarti ‘mengajak masuk’ atau ‘mengikutsertakan’. Sementara itu, lawan kata dari “inklusif” ini adalah “eksklusif” yang berarti ‘mengeluarkan’ atau ‘memisahkan. Apabila melihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ini memiliki definisi berupa ‘termasuk’ dan ‘teritung’.
Maka, bisa disimpulkan bahwa “inklusif” merupakan upaya untuk menerima sekaligus berinteraksi dengan orang lain walaupun memiliki perbedaan (dari segi fisik atau psikis) dengan diri kita. Sebetulnya makna “inklusif” ini hampir sama dengan “toleransi”, dan biasanya prinsip ini harus bisa diterapkan dalam masyarakat multikultural.
Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi ini sebetulnya pertama kali dicetuskan oleh pihak UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) alias Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa dengan jargonnya berupa Education for All. Maksudnya, pendidikan ini harus ramah untuk semua orang dan menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Istilah pendidikan inklusi ini kemudian diadopsi oleh banyak negara-negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia.
Pada dasarnya, pendidikan inklusif dirancang sebagai konsep pendidikan bersifat ramah anak, karena sasarannya adalah para anak-anak yang berkebutuhan khusus, agar mereka tetap dapat belajar di sekolah sama seperti anak-anak lainnya. Karena setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan tersebut tidak dibedakan-bedakan berdasarkan fisik, mental, sosial, emosional, bahkan status sosial ekonominya, sehingga semua orang siapapun itu boleh mengakses pendidikan
Pendidikan khusus (baca: pendidikan inklusif) ini dirancang untuk menempatkan siswa dengan kebutuhan khusus bersama dengan siswa didik umumnya di dalam satu kelas. Harapannya, dengan adanya pendidikan inklusif ini, mampu mengembangkan potensi pada anak-anak berkebutuhan khusus di dalam lingkungan umum.
Karena kondisi setiap siswa berbeda, terutama dari segi fisik, maka akan ada penyesuaian metode pengajaran agar dapat dipahami oleh peserta didik reguler dengan peserta didik berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif ini dinilai dapat mengembangkan secara maksimal bakat anak, karena seperti diketahui setiap anak memiliki potensi bakat yang berbeda-beda.
Di Indonesia pendidikan inklusif sebenarnya sudah memiliki landasan hukum. Landasan hukum itu tercantum pada UUD 1945 pasal 31 ayat satu dan dua yang berisi mengenai hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
Landasan hukum lain terkait pendidikan inklusif juga tertuang pada UU Nomor 20 tahun 2003. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik supaya memiliki kekuatan dalam hal keagamaan, kepribadian, pengendalian diri, akhlak, serta keterampilan yang diperlukan di lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pada ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 20 Tahin 2003 tersebut menyatakan bahwa:
1) Setiap warga negara dalam pendidikan yang memiliki kelainan baik secara fisik, emosional, mental, dan lain sebagainya berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan mutu yang sama;
2) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
3) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Selain itu peraturan khusus yang mengatur tentang Pendidikan Inklusif ini tertuang dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Dalam Pasal 1 Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pada pasal berikutnya, yakni pada Pasal 2 dijelaskan juga mengenai tujuan pendidikan inklusif, yaitu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu tujuan pendidikan inklusif ini juga untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Selanjutnya pada Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas: tuna netra; tuna rungu; tuna wicara; tuna grahita; tuna daksa; tuna laras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; memiliki kelainan lainnya; tunaganda.
Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. PP ini dibuat untuk melaksanakan UU 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam PP ini disebitkan bahwa salah satu hak Penyandang Disabilitas adalah hak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara inklusif dan khusus. Selain itu, Penyandang Disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai penyelenggara pendidikan, Pendidik, Tenaga Kependidikan, maupun Peserta Didik.
Lembaga Pendidikan dan Upaya Pengimplementasian Pendidikan Inklusi
Jika kita menelaah kembali Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, disebutkan dengan jelas pada Pasal 4 bahwa “mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan. Dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus”.
Jadi, cukup jelas jika merujuk kepada amanah dari Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 bahwa peranan pemerintah daerah menjadi kunci dalam peningkatan akses layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, baik melalui Sekolah Khusus (SKh) maupun sekolah inklusi.
Namun, jika kita mengamati realitas yang terjadi di lapangan, saat ini akses layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baru efektif diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Khusus. Akan tetapi, untuk sekolah umum sepertinya masih banyak yang belum mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Inklusif yang sudah jelas dituangkan dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tersebut.
Sebagai contoh, di Banten, sebagai daerah asal penulis, peraturan terkait pendidikan inklusif sebetulnya sudah tertuang dalam Pergub Nomor 74 Tahun 2014 tentang pedoman Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Banten. Dalam Pergub tersebut disebutkan bahwa tiap kecamatan minimal memiliki satu sekolah inklusif pada jenjang pendidikan SD dan SMP, sedangkan pada jenjang pendidikan SMA dan SMK sebanyak 4 sekolah inklusif pada tingkat kabupaten/kota.
Sebagai praktisi pendidikan, berdasarkan pada pengamatan yang penulis lakukan di Kecamatan Cikeusik (Pandeglang) yang merupakan daerah tempat tugas penulis, ternyata belum ada sekolah atau lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan berbasis inklusif ini. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan arahan berdasarkan Pergub Nomor 75 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa tiap kecamatan minimal memiliki satu sekolah inklusif pada jenjang pendidikan SD dan SMP.
Berdasarkan data yg penulis dapatkan, di tingkatan Kabupaten Pandeglang hanya ada 29 sekolah inklusi di tingkat Sekolah Dasar (SD), dan 2 sekolah inklusi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pendidikan inklusif tersebut diantaranya yaitu SDN Caringin 3 (Labuan), SDN Cilentung 2 (Cisata), SDN Teluk 1 (Labuan), SDN Teluk 2 (Labuan), SDN Pandeglang 1 (Pandeglang), dan SMPN 2 Menes.
Jika merujuk pada jumlah ABK, berdasarkan data yang diolah DP3AKKB, jumlah ABK di Banten pada tahun 2017 lalu sebanyak 4.931 orang. Angka tersebut tentunya bisa jadi makin bertambah pada hari ini. Maka, tentunya ketersediaan sekolah inklusif juga juga harus semakin memadai sebagai wujud kongkret kemudaan akses pendidikan bagi para Anak Berkebutuhan Khusus.
Kenyataan ini bagi penulis kemudian menjadi sebuah istilah yang penulis sebut sebagai ‘dilema pendidikan’. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi setiap anak ternyata masih kurang sepenuhnya dirasakan, terutama bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Padahal setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan oleh negara.
Minimnya sosialisasi tentang pentingnya keberadaan sekolah inklusi juga turut mempengaruhi lambannya pelayanan pendidikan terhadap ABK secara merata. Badan Penyelenggaraan Pendidikan Khusus (BPPK) Provinsi Banten juga nampaknya belum berupaya secara maksimal dalam mensosialisasikan mengenai pendidikan inklusif yang sudah di-Pergub-kan sejak tahun 2014 tersebut.
Hal ini tentunya menjadi kenyataan yang kurang mengenakkan. Mengingat bahwa melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yang kemudian diterjemahkan menjadi Pergub Nomor 74 Tahun 2014 di Provinsi Banten tentang Pendidikan Inklusi seharusnya mampu menciptakan kondisi pendidikan yang benar-benar ramah anak, tanpa ada lagi diskriminasi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.
Namun terlepas dari itu semua, harapan penulis secara khusus adalah setiap sekolah atau lembaga pendidikan harus mampu merepresentasikan diri sebagai tempat belajar yang ramah anak, yakni dengan memperlakukan anak dengan kondisi fisik atau mental seadil-adilnya tanpa diskriminasi.
Guru, khususnya guru pendamping, juga orang tua sebetulnya yang menjadi ujung tombak kesuksesan dari penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi ABK ini. Namun, sekolah atau lembaga pendidikan yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah merupakan media utama yang mewadahi efektif atau tidaknya implementasi pendidikan berbasis inklusif ini.
Selain karena telah diamanahkan oleh Undang-Undang, Permendiknas, dan juga Pergub, sudah seyogyanya sekolah atau lembaga pendidikan mampu menjadi medium pendidikan yang menghantarkan ABK menggapai asa serta cita-citanya. Agar kelak para Anak Berkebutuhan Khusus ini tak pernah merasa minder dan merasa dianak tirikan dalam hak mendapatkan pendidikan yang setara sebagai warga negara Indonesia.
Dengan terimplementasikannya pendidikan inklusif secara merata, maka sejatinya kita telah benar-benar memosisikan pendidikan sebagai hak bagi setiap manusia tanpa membeda-bedakan gender, status sosial, suku, ras, agama, warna kulit, serta persoalan fisik dan psikis. Dan apabila pendidikan inklusif telah terimplementasikan dengan baik, maka guru atau sekolah sejatinya telah berhasil mentransfusikan pendidikan secara merata dan menyeluruh kepada setiap anak Indonesia tanpa adanya diskriminasi. []
Cikeusik, 27 Februari 2023
Pukul 21.19 WIB.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
