Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial

Korupsi di Indonesia: Tiga Abad Berlalu, Masalah Masih Sama

Sejarah | Sunday, 26 Feb 2023, 07:40 WIB

Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang telah mengakar dalam sejarah Indonesia selama berabad-abad. Secara historis, budaya korupsi telah ada sejak masa kerajaan, melalui masa kolonialisme, dan hingga saat ini. Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah panjang budaya korupsi di Indonesia, dan bagaimana budaya ini terus berlanjut hingga saat ini.

Sumber foto : Republika

Masa Kerajaan

Ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan kerajaan, korupsi sudah menjadi sebuah masalah yang signifikan. Penguasa dan elit kekuasaan sering kali menggunakan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dengan memanipulasi perekonomian dan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini tercermin dalam beberapa catatan sejarah, di mana beberapa kerajaan di Indonesia sering kali menderita kekurangan anggaran karena penguasa mereka yang korup.

Korupsi di Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram yang berdiri pada abad ke-16 hingga abad ke-18 juga tidak luput dari masalah korupsi. Pada masa itu, kerajaan Mataram mengalami krisis keuangan yang parah, sehingga para pejabat kerajaan seringkali melakukan korupsi dengan memperkaya diri sendiri dan keluarga mereka. Beberapa kasus korupsi terbesar yang terjadi pada masa kerajaan Mataram adalah kasus korupsi para patih (pejabat pemerintahan tinggi) dan kasus korupsi di kerajaan-kerajaan bawahan yang masih mempergunakan sistem kerajaan feodal.

Korupsi di Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh yang berdiri pada abad ke-16 hingga abad ke-20 juga mengalami masalah korupsi. Salah satu kasus korupsi terbesar di Kerajaan Aceh adalah kasus korupsi Sultan Iskandar Muda yang memerintah antara tahun 1607 hingga 1636. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai sultan yang gemar memperkaya diri sendiri dengan cara menjarah kapal-kapal dagang Belanda dan Portugal, serta melakukan pemerasan terhadap rakyatnya. Meskipun demikian, Sultan Iskandar Muda juga dikenal sebagai sultan yang hebat karena berhasil memperluas wilayah kekuasaan Aceh dan memajukan kebudayaan Aceh.

Korupsi di Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-13 hingga abad ke-16 juga tidak luput dari masalah korupsi. Salah satu kasus korupsi terbesar di Kerajaan Majapahit adalah kasus korupsi pejabat pemerintahan yang menjarah kekayaan di kerajaan bawahan, seperti di Bali dan Madura. Selain itu, raja-raja Majapahit juga diketahui mempekerjakan orang-orang korup sebagai pejabat pemerintahan, sehingga terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan rakyat.

Masa Kolonialisme

Ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia pada abad ke-16, mereka membawa sistem pemerintahan yang baru, di mana kekuasaan berada di tangan Belanda. Selama masa kolonialisme, korupsi menjadi lebih terorganisir dan merajalela. Penguasa kolonial Belanda dan pejabatnya sering kali menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri dan mengeksploitasi rakyat jelata.

Korupsi di Hindia Belanda

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Belanda seringkali memberikan jabatan dan kekuasaan kepada orang-orang Belanda yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat tinggi Belanda, yang kemudian menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri. Beberapa kasus korupsi terbesar pada masa penjajahan Belanda adalah kasus korupsi pada perusahaan-perusahaan dagang Belanda, yang mempergunakan kekuasaan dan monopoli dagang mereka untuk merugikan rakyat Indonesia.

Kasus Tanam Paksa

Tanam paksa merupakan sistem pengelolaan tanah yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sistem ini memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tanaman komersial, seperti kopi, teh, dan nilam, sebagai syarat untuk memperoleh hak atas tanah mereka. Namun, sistem ini seringkali menimbulkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah Belanda, yang memperkaya diri mereka sendiri dengan memperjualbelikan tanah-tanah yang seharusnya diberikan kepada rakyat.

Kasus Insentif

Kecil Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan insentif kecil, yang memberikan uang tunai kepada pejabat pemerintah dan pegawai negeri sipil yang berhasil mencapai target-target tertentu, seperti jumlah pajak yang berhasil dipungut atau jumlah penjualan opium yang berhasil dilakukan. Namun, kebijakan ini seringkali menimbulkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, karena pejabat pemerintah dan pegawai negeri sipil seringkali mengeksploitasi rakyat dengan memaksa mereka membayar pajak yang tidak sesuai atau memaksa mereka untuk membeli opium.

Masa Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, negara ini mengalami banyak tantangan baru. Salah satunya adalah tantangan untuk memerangi korupsi. Pada awalnya, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memerangi korupsi, seperti membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, meskipun upaya tersebut dilakukan, budaya korupsi tetap terus berlanjut.

Kasus Korupsi Pembelian Pesawat

Pada tahun 1954, Indonesia membeli pesawat-pesawat terbang dari Uni Soviet senilai 10 juta dolar AS. Namun, pembelian pesawat tersebut menimbulkan dugaan korupsi yang melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintahan, termasuk Menteri Perhubungan Mr. Ali Sastroamidjojo dan Menteri Keuangan Mr. Sumitro Djojohadikusumo. Dugaan korupsi ini melibatkan pembelian pesawat-pesawat yang jauh melebihi harga pasar dan penyelewengan dana dalam proses pembelian tersebut.

Kasus Korupsi di Bank Negara Indonesia (BNI)

Pada awal tahun 1960-an, BNI, bank milik negara Indonesia, dilaporkan mengalami kerugian besar akibat korupsi dan nepotisme yang dilakukan oleh beberapa pejabat tinggi bank tersebut. Kerugian ini diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah pada saat itu, yang menyebabkan krisis keuangan di Indonesia.

Kasus Korupsi dalam Proyek-proyek Pembangunan Nasional

Pada awal kemerdekaan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai proyek pembangunan nasional untuk memperbaiki infrastruktur dan mengembangkan ekonomi nasional. Namun, proyek-proyek ini seringkali diwarnai oleh korupsi dan penyelewengan dana oleh para pejabat pemerintah. Salah satu contoh yang terkenal adalah proyek pembangunan jalan tol Jagorawi, yang mengalami penundaan selama bertahun-tahun akibat korupsi dan ketidakpercayaan publik terhadap proses pembangunannya.

Kasus Korupsi BULOG

Pada awal tahun 1970-an, terjadi kasus korupsi yang melibatkan Badan Urusan Logistik (BULOG) yang dipimpin oleh Sudharmono, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Dugaan korupsi ini terkait dengan pembelian beras impor yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Indonesia, tetapi dibeli dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar. Korupsi ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 500 miliar.

Kasus Korupsi PLN

Pada tahun 1980, terjadi kasus korupsi yang melibatkan perusahaan listrik negara, PLN, yang dipimpin oleh Ibnu Sutowo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama. Dugaan korupsi ini terkait dengan pembelian peralatan listrik yang tidak diperlukan oleh PLN dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar. Korupsi ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 10 triliun.

Kasus Korupsi Proyek Wisma Atlet

Pada tahun 1992, terjadi kasus korupsi yang melibatkan proyek pembangunan Wisma Atlet di Jakarta, yang bertujuan untuk menyediakan akomodasi bagi para atlet yang akan mengikuti SEA Games tahun 1997. Dugaan korupsi ini melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintah, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, yaitu Dr. Hayono Isman. Korupsi ini melibatkan penyelewengan dana dan penerimaan suap dalam proses pembangunan Wisma Atlet dan mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1,2 triliun.

Kasus BLBI

Pada tahun 1997-1998, terjadi krisis keuangan di Indonesia yang mengakibatkan banyak bank-bank gagal dan merugikan nasabah dan negara. Pemerintah kemudian mengeksekusi jaminan-jaminan yang telah disetorkan oleh bank-bank tersebut ke Bank Indonesia melalui program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, kasus korupsi terjadi dalam pelaksanaan program tersebut, dimana beberapa pengusaha dan bankir diketahui telah menyalahgunakan dana yang diberikan dan tidak memenuhi kewajiban pembayaran. Korupsi ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 130 triliun.

Kasus e-KTP

Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia meluncurkan program pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) untuk menggantikan kartu tanda penduduk (KTP) yang lama. Namun, program tersebut diwarnai oleh korupsi yang melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintah, termasuk mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dan anggota DPR, Setya Novanto. Dugaan korupsi tersebut terkait dengan pengadaan alat dan perangkat yang digunakan dalam program e-KTP dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar. Korupsi ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun.

Kasus Korupsi Dana Hibah KONI

Pada tahun 2018, terjadi kasus korupsi yang melibatkan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), yang dipimpin oleh Tono Suratman. Dugaan korupsi ini terkait dengan penggunaan dana hibah dari pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kegiatan olahraga, tetapi dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 20 miliar.

Kesimpulan

Budaya korupsi telah mengakar dalam sejarah Indonesia selama berabad-abad, mulai dari masa kerajaan, kolonialisme, hingga kemerdekaan dan masa sekarang. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi korupsi, tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Korupsi tetap menjadi masalah yang besar bagi Indonesia, dan memerlukan upaya yang lebih besar dan konsisten dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk mengatasi dan merubah budaya korupsi ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image