Para Penyembah Masa
Agama | 2023-02-25 02:47:14Seseorang hidup di masa depan, lalu dia mati ...
Tidak ada metode ilmiah yang dapat membuktikan keberadaan masa depan. Eksistensi masa depan tak lebih dari sekadar proyeksi pikiran kita melalui penalaran empiris terhadap kejadian di masa lalu. Jika masa kini ada karena masa lalu ada, maka masa depan pun ada karena masa kini ada. Kurang lebih demikian penalaran empiris tersebut.
Realitasnya, yang ada hanyalah masa kini. Namun, manusia sangat suka mempertaruhkan masa kininya demi khayalan abstrak tersebut. Leluhur orang-orang dari negeri empat musim mengumpulkan makanan karena tahu tanaman tidak akan tumbih di musim dingin. Itu bagus. Kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia, yang tidak diberikan kepada makhluk lain ini membuat kita bisa bertahan hingga kini, bahkan menguasai bumi. Namun, kita terkadang bereaksi terlalu berlebihan terhadap eksistensi abstrak ini.
Orang tua mengeluarkan jutaan rupiah untuk les anak-anaknya demi menjamin masa depan mereka. Bahkan berkali lipat dari nilai itu masih harus keluar ke jalur belakang jika les saja tidak cukup. Jika tidak begitu, bagaimana anak-anak mereka dapat hidup layak di masa depan? Doktrin-doktrin di zaman modern telah membuat kita melakukan pemujaan yang berlebihan terhadap masa depan. Doktrin-doktrin ini menghantui kita dengan bayang-bayang kegagalan. Kita telah hidup di masa depan.
Para pekerja melakukan segala hal demi menjamin posisinya di masa depan: melakukan hal-hal yang tidak disukainya, menanggalkan nilai yang diyakininya, menjilat atasan, hingga menjatuhkan pekerja lain. Mereka sudah terlanjur berutang motor, mobil, hingga rumah. Jika tidak melakukan hal-hal itu, bagaimana utang-utang itu bisa lunas nantinya? Properti-properti itu pada akhirnya akan disita dan mereka dipaksa tinggal di jalanan. Sistem telah melahirkan cara perbudakan baru yang lebih halus di era modern. Kita telah menjadi budak dari apa yang disebut sebagai masa depan.
Para wanita enggan melahirkan karena mereka berpikir anak-anak hanya akan membebani hidup mereka. Mereka berpikir hanya ada satu konklusi yang akan dituju dari suatu tindakan dan hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan. Padahal, pengambilan kesimpulan kita akan masa depan berasal dari asumsi di atas asumsi. Masa depan pada akhirnya bukanlah biner, melainkan kumpulan kemungkinan yang tak berhingga, meski pada akhirnya cabang-cabang itu mengalir ke satu akhir yang sama: kematian.
Usia manusia hanyalah anak-anak dibandingkan waktu itu sendiri. Kita tak pernah tahu apa yang yang terbaik untuk diri kita. Barangkali, apa yang kita anggap baik sebenarnya buruk dan apa yang kita anggap buruk sebenarnya baik. Masa depan hasil proyeksi pikiran subjektif tak akan menjadi fondasi terbaik dalam bertindak. Lantas, apa yang sebaiknya menjadi sandaran kita dalam mengambil keputusan?
Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah: 216)
Seseorang hidup di masa lalu, lalu dia mati ...
Masa lalu telah terjadi, tetapi hanya beberapa saja yang menjadi sejarah. Sejarah adalah masa lalu yang meninggalkan jejak, sehingga kita di masa kini bisa membuktikan eksistensi masa lalu tersebut dengan metode ilmiah. Namun, ranah sejarah sangatlah sempit dibandingkan keseluruhan masa lalu. Sebagian besar masa lalu hanyalah rekaman di otak masing-masing individu, membuatnya tak berbeda dari ilusi. Namun, ilusi ini memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga kerap kali menghambat kita dalam bergerak.
Ilusi itu mungkin melahirkan kebahagiaan yang membuat kita berharap agar masa-masa itu tetap bertahan. Namun, waktu tak berpihak kepada masa lalu. Masa-masa indah itu takkan kembali betapa pun kita menginginkannya. Mungkin kita ingin tetap berada di zona nyaman itu. Mungkin kita mengharapkan mereka yang membuat kita bahagia tetap ada. Namun, manusia tetap harus keluar dari zona itu, baik dengan sukarela atau terpaksa.
Ilusi itu mungkin juga melahirkan kesedihan. Kesedihan akan menimbulkan luka mendalam yang membuatnya sulit hilang dari memori. Hidup terlarut dalam kesedihan ini juga akan membuat kita tak bergerak. Sayangnya, manusia bukanlah objek tak tergerakkan, sedangkan waktu adalah gaya tak terhentikan.
Kita bisa memutar memori akan kebahagiaan atau kesedihan setiap saat. Kesadaran kita bisa saja hidup di masa lalu. Namun, realitas fisik kita terus terdorong ke masa depan menuju jurang kematian. Pemujaan terhadap masa lalu yang berlebihan hanya akan membuat nilai diri kita stagnan di dalam arus waktu. Saat cangkang kita bertambah tua barang sedetik, sedangkan isi kita konstan, bukankah itu sebuah kerugian? Jadi, secara default, kita selalu berada dalam kerugian.
Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (Al Asr: 1-3)
Seseorang hidup di masa kini, lalu dia mati ...
Masa depan ada karena kognisi dan masa lalu ada karena memori. Dua hal itu adalah anugerah yang hanya dimiliki manusia. Makhluk hidup dari yang sesederhana bakteri hingga binatang yang kompleks hanya hidup di masa kini. Mereka makan untuk memuaskan rasa lapar saat ini dan mereka bereproduksi untuk memuaskan birahi saat ini.
Hewan yang memiliki pengalaman buruk dengan manusia di masa lalu mungkin memiliki trauma. Mereka dapat bereaksi agresif di dekat manusia. Ini menjadi bukti eksistensi masa lalu yang berisi pengalaman buruk tersebut. Namun, masa lalu itu sekadar menjadi bekas yang takkan diputar secara tiba-tiba di alam kesadaran mereka. Mereka tidak hidup di masa lalu.
Beberapa hewan menunjukkan aktivitas tertentu untuk persiapan masa depan: beruang berhibernasi dan ikan-ikan bermigrasi ketika perubahan musim. Namun, tindakan itu tidak didasari oleh proyeksi kognisi akan masa depan, melainkan insting yang dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan. Pun hewan yang memiliki struktur sosial seperti semut tidak bekerja karena kekhawatiran akan masa depan, melainkan karena itu adalah tugas mereka saat ini. Mereka tidak hidup di masa depan.
Beberapa orang memilih untuk hidup seperti hewan, hanya hidup untuk saat ini. Mereka akan melakukan apa pun yang menurut mereka akan memenuhi kebutuhan mereka akan kebahagiaan saat ini. Mereka menghamburkan uang karena itu membuat mereka bahagia saat ini. Mereka mabuk karena itu membuat mereka bahagia saat ini. Mereka makan sesukanya karena itu membuat mereka bahagia saat ini.
Namun, mematikan memori dan kognisi kita sebagai manusia dan hidup sebagai binatang juga bukanlah jawaban. Perlu ditekankan lagi bahwa dua hal itu adalah anugerah yang dapat kita manfaatkan, sehingga termasuk zalim bagi mereka yang mematikannya. Menggunakan landasan kebebasan untuk meraih kebahagiaan saat ini akan mematikan kebahagiaan kita di masa depan. Melalui kognisi, kita bisa memprediksi dampak dari pilihan-pilihan tersebut. Menghamburkan uang membuat kita melarat, mabuk-mabukan menghancurkan organ dalam kita, dan makan sesukanya menimbulkan obesitas. Hidup di masa kini pun bukan pilihan terbaik. Lantas, untuk apa sebaiknya kita hidup?
Hiduplah sesukamu karena sungguh engkau pasti mati. Cintailah siapa pun yang engkau suka karena sungguh kalian pasti berpisah. Berbuatlah sesukamu karena sungguh engkau pasti menemui (balasan) perbuatanmu itu. [HR al-Baihaqi]
Seseorang hidup untuk pencipta masa, lalu dia mati ...
Kata Tuhan (dengan T kapital) secara khusus merujuk pada satu subjek khusus, yaitu Dia yang menciptakan segala sesuatu atau Dia yang memulai segalanya, termasuk masa. Kata ini dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi Rabb. Ada juga kata ilah, yang juga berarti tuhan (dengan t kecil), yang merujuk pada sesuatu yang lebih umum, yang dapat kita maknai sebagai sesuatu yang menjadi sandaran kita, sesuatu yang menjadi dasar tindakan kita, atau sesuatu yang kita puja.
Para pemuja masa menjadikan waktu sebagai tuhan mereka. Namun, waktu terlalu lemah untuk menjadi tuhan. Saat kita menjadikan masa lalu, masa kini, atau masa depan sebagai tuhan, mereka tidak akan memberikan apa yang kita harapkan atau memberikannya dalam jangka waktu singkat saja, karena pada akhirnya kita dihadapkan pada kematian, di mana tidak ada lagi waktu. Segala hal yang ada dalam proyeksi pikiran kita akan sirna begitu saja.
Para melankolis mempraktikkan pemujaan terhadap masa lalu, para liberal mempraktikkan pemujaan terhadap masa kini, dan para sekuler mempraktikkan pemujaan terhadap masa depan. Namun, sebagai Muslim, sudah semestinya kita melakukan pemujaan terhadap pencipta masa semata, tanpa menyetarakan sesuatu pun dengan-Nya. Sebagai Muslim, sudah saatnya kita menanyakan pada diri kita sendiri, sudahkah kita benar-benar menuhankan Tuhan saja?
Rasa takut akan masa depan adalah hal yang wajar karena itu adalah salah satu nikmat-Nya. Namun, jangan sampai kita menanamkan rasa takut yang berlandaskan pada asumsi bahwa masa depan ada di atas segalanya selayaknya para motivator sekuler. Waktu memang jauh lebih tua dari manusia, tetapi Allah jauh lebih tua daripada waktu. Dia telah memberi kita petunjuk untuk menaklukkan masa depan, yaitu dengan berserah diri kepada-Nya. Jadi, sekali lagi, ketakutan adalah hal yang wajar, tetapi dari mana sumber ketakutan itu?
Saat kita belajar, apakah kita takut terhadap masa depan, atau takut memubazirkan intelijensi yang telah dianugerahkan-Nya? Saat atasan kita memanggil, apakah kita datang karena takut akan posisi kita di masa depan, atau takut mencemarkan nama Islam dengan ketidaprofesionalan? Saat sistem memberi kita pilihan untuk berhenti beribadah atau berhenti bekerja, apa yang akan kita pilih? Saat saudara kita membutuhkan uang, apakah kita menahan diri karena takut akan kekurangan uang di masa depan, atau bersedekah dengan mengharap rida-Nya? Hanya lubuk hati terdalam kita yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Saat pencipta masa telah menjadi tujuan kita, sandaran kita, ilah kita, maka sudah pasti kita akan mendapatkan apa yang kita harapkan. Karena saat waktu sudah berhenti, hanya Dia yang ada.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al Fatihah: 5)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.