Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Wanita dan Busana (1): Sayyidah Aisyah RA melarang wanita berpakaian seperti ini!

Agama | 2023-02-21 01:04:01

Wanita dan Busana (1): Sayyidah Aisyah RA melarang wanita berpakaian seperti ini!

Ilustrasi wanita dan busana. Photo: departemen keperempuanan @demaamali

Wanita dan Cara Berbusana

Al-Qur’an memang tidak menetapkan mode atau warna pakaian tertentu, baik ketika beribadah maupun di luar ibadah. Tetapi Al-Qur’an menetapkan batas-batas dalam mode berbusana serta fungsi pakaian bagi manusia. Itu semua bertujuan demi kebaikan dan kepentingan semua manusia, baik di dalam aktifitas ibadah maupun di luar ibadah.

Seperti yang kita tahu, bahwa redaksi keislaman yang bercerita tentang pakaian bukan hanya melulu tentang wanita dengan auratnya atau wanita dengan pembatasan keindahan fisiknya. Walaupun memang dikotomi antara aurat wanita dengan mode berbusananya selalu menimbulkan perdebatan bahkan di dalam pembahasan para mufassir dan para fuqaha.

Sebagaimana di dalam surah an-Nahl: ayat 81 yang menyatakan: “Dan Dia (Allah) menjadikan bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.” Ayat ini mengisyaratkan bahwa pakaian berfungsi untuk memelihara manusia dari hawa panas dan dingin serta melindungi manusia dari hal-hal yang dapat mengganggu ketenteramannya. Dan ayat ini pula menegaskan bahwa pakaian merupakan bagian dari kebutuhan primer manusia.

Berbeda halnya di dalam fikih, pembahasan pakaian dibedakan dalam dua situasi: di dalam shalat dan di luar shalat. Lebih jauh di dalam fikih fungsi pakaian dibedakan menjadi fungsi pakaian sebagai perhiasan dan fungsi pakaian yang menutup aurat. Yang menjadi masalah bagi sementara orang adalah memadukan antara keduanya.

Contoh halnya di dalam Fikih Syafi’i, aurat wanita di luar shalat adalah seluruh tubuh tanpa terkecuali bahkan dikatakan wanita dalam berbusana harus dengan tudung (kain besar yang menutupi bagian atas tubuh hingga menyisakan satu pandangan mata saja). Namun di dalam Fikih Hanbali aurat wanita di luar shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan Fikih Hanafi mengatakan bahwa kedua telapak tangan tetap wajib ditutupi di luar shalat. Sementara itu, Fikih Maliki dalam pembahasannya aurat wanita di luar shalat dikategorikan menjadi tiga: pertama, wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan; kedua, tidak wajib menutup bagian tersebut namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya; ketiga, murid-murid Imam Malik membedakan batas tertentu antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik.

Atas uraian di atas, sosio-seksual memang mendapati ruang besar dalam pembahasan antara wanita dengan pakaian, sebagai penutup aurat atau sebatas mode berbusana?

Memahami Jilbab

Di dalam Tafsir al-Qurthubi atas surah al-Ahzab: ayat 59 yang artinya: “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih (mudah untuk) dikenal, sehingga mereka tidak diganggu.” Al-Qurthubi menyatakan beberapa poin penting dari tafsir ayat tersebut, di antaranya:

Pertama, nilai identitas perempuan-perempuan mukmin tercermin dari jilbab mereka. Karena sebelum ayat ini turun, penampilan antara perempuan mukmin, budak wanita, dan wanita Arab pada umumnya tidak ada perbedaan dalam berbusana, sehingga resiko buruk bagi perempuan mukmin jika di luar rumah sangatlah rawan.

Kedua, jilbab sebagai kesadaran berperilaku dan perhiasan bagi perempuan-perempuan mukmin. Ayat jilbab juga mengisyaratkan bagaimana sikap perempuan mukmin yang mengindahkan perintah Allah atas mereka berjilbab dan perempuan munafik yang enggan memakai jilbab karena kebiasaan mereka yang mengundang perhatian para pria. Perempuan mukmin dengan jilbabnya sebagai upaya preventif (penjagaan) sekaligus impresif (semarak berhias) memang menuntut keseimbangannya secara lahiriah maupun batiniah setiap perempuan mukmin.

Aisyah RA melarang wanita berpakaian seperti ini!

Pernah suatu ketika Sayyidah Aisyah radliyallahu anha didatangi oleh para wanita dari Bani Tamimi, yang mereka mengenakan pakaian yang tipis (hingga dikatakan tembus pandang atau ketat melapisi tubuh) maka segera Aisyah berkata kepada mereka: “jika memang kalian perempuan mukmin, maka tidaklah pakaian seperti ini adalah busana perempuan mukmin. Dan jika kalian sudah bukan perempuan mukmin, maka terserah semau kalian”. Kemudian datanglah seorang wanita muda yang mengenakan tudung khas Mesir berwarna kuning di hadapan Aisyah, dan ketika Aisyah melihatnya ia lalu berkata: “seorang wanita yang mengenakan pakaian ini tidak percaya pada surah an-Nur”.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallahu anhu suatu ketetapan dari Rasulullah bersabda: “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128).

Sementara itu, Imam Muslim dalam kitab Shohih -nya secara terang-terangan di dalam pembahasan Libas (pakaian) dan Zinatan (perhiasan) menamai sebuah bab dengan judul: An-Nisa’ al-Kasiyat al-‘Ariyat, al-Mailat al-Mumilat (wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dan memalingkan wanita lainnya). Hal ini merupakan bentuk ibrah atau pembelajaran bagi umat Islam ke depannya yang disampaikan oleh Imam Muslim dalam bentuk isyarat karya. Bahkan matan hadis sebagaimana riwayat hadis di atas diakui sebagai salah satu mukjizat kenabian, karena dua golongan tersebut merupakan fitnah paling tercela bagi umat Islam dan secara jelas di nash sebagai penduduk neraka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image