Pelajaran Sangat Berharga dari Kasus Ferdy Sambo
Lentera | 2023-02-19 14:52:44PELAJARAN SANGAT BERHARGA DARI KASUS FERDY SAMBO
“Hiduplah selaras dengan alam” (kata bijak seorang filsuf)
Berkali-kali dalam persidangan, Ferdy Sambo mengatakan bahwa dirinya sedang emosi, marah, menangis, dan semacamnya karena mendengar pengakuan dari istrinya Putri Candrawati bahwa dirinya telah dilecehkan oleh Joshua, ajudannya. Laporan inilah yang pada akhirnya memicu Sambo melakukan pembunuhan berencana terhadap Joshua dengan dibantu oleh Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf.
Seseorang yang sedang dalam keadaan emosi atau marah yang tidak terkendali bisa disamakan dengan orang yang telah kehilangan akal sehat, karena ia lebih mengedepankan perasaannya ketimbang rasio. Kemarahan telah menguasai Sambo sehingga ia kehilangan pertimbangan dan mengambil keputusan secara gelap mata. Akibat dari kecerobohannya inilah, ia dan puluhan orang lainnya yang terlibat harus mempertanggungjawabkannya di muka hukum.
Anugerah Akal
Salah satu anugerah terbesar dari Tuhan kepada manusia adalah berupa akal. Inilah perbedaan mendasar manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Akal disebut pula dengan nalar, rasio, atau logika. Dengan akal, manusia dapat melakukan kegiatan berpikir, menganalisa, mempertimbangkan, membandingkan, dan sebagainya.
Ketika mendengar laporan dari istrinya, sekiranya Sambo mampu menggunakan akalnya dengan baik dan tepat, sudah barang tentu peristiwa penembakan terhadap ajudannya sendiri takkan pernah terjadi. Seseorang yang berakal sehat tentu tidak mudah terpancing dan tidak akan bertindak gegabah.
Dengan akal sehat, semestinya Sambo akan berusaha menganalisa sebuah peristiwa. Ia tidak langsung percaya begitu saja pada sebuah berita atau laporan. Ia seharusnya mencari tahu dan mengumpulkan informasi dari para ajudannya, para asisten rumah tangga, atau barangkali ada saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. Termasuk – ini yang paling penting – melakukan klarifikasi terhadap Joshua yang dianggap sebagai pelaku.
Nah, ketika ada beberapa bukti yang menguatkan, misalnya ada saksi yang mengetahui atau mendengar kejadian itu. Langkah selanjutnya kan tinggal melaporkan Joshua kepada pihak yang berwajib, terlebih Sambo sendiri notabene adalah seorang Kadiv Propram (polisinya polisi). Apabila tidak ada saksi yang melihat dan Joshua sendiri tidak mengakui perbuatannya, cukup melakukan visum untuk membuktikan adanya tindak pelecehan atau pemerkosaan.
Pada kenyataannya, tidak demikian dengan apa yang dilakukan oleh Sambo. Sebagai manusia, ia kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang berakal. Padahal akal adalah sifat alami manusia (nature). Oleh karena itu, agar hidup manusia dapat berjalan dengan baik dan selamat, ia harus bisa hidup selaras dengan alam, sebagaimana saya kutip dalam pembukaan tulisan ini.
Terlalu PeDe dengan Jabatan
Faktor lain yang tak kalah menentukan yang mendorong Sambo melakukan pembunuhan berencana adalah jabatan yang disandangnya. Dengan jabatannya sebagai Kadiv Propram dan pengalamannya yang cukup banyak dalam menangani berbagai kasus besar maupun kecil, sepertinya membuatnya merasa yakin bahwa kejahatan yang dilakukannya terhadap Joshua akan dengan mudah ia tangani (baca: manipulasi).
Ia sangat percaya diri bahwa dengan jabatannya ia bisa dengan mudah menutup kasus ini, dan bahkan tidak akan terungkap (terkubur selamanya). Hal ini diwujudkan dalam bentuk ia mengarang cerita fiktif terkait peristiwa penembakan Joshua dengan “skenario tembak-menembak”. Lebih dari itu, agar kasusnya tidak terbongkar, ia juga melakukan penghilangan berbagai barang bukti, baik barang-barang pribadi miliki Joshua maupun pengambilan CCTV.
Menyalahgunakan jabatan atau wewenang merupakan kesalahan besar kedua Sambo setelah ia secara pribadi tidak menggunakan nalarnya. Padahal, jika dihubungkan dengan anugerah akal, seharusnya jabatan yang ia sandang dipergunakan untuk berbuat kebajikan dan menegakkan keadilan, terlebih ia adalah seorang aparat penegak hukum.
Dengan jabatan, sudah seharusnya ia memberikan pengayoman, perlidungan, dan pengamanan kepada semua orang. Setiap orang yang berada di dekatnya, semestinya merasa aman, nyaman, dan merdeka. Bukan malah menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja (berencana), dan mengorbankan banyak pihak sampai mereka kehilangan pekerjaan hingga menjadi terdakwa.
Lagi-lagi, Ferdy Sambo telah hidup tidak selaras dengan alam.
Aplikasi Dalam Kehidupan
Hidup selaras dengan alam atau hidup selalu menggunakan nalar/rasio/logika dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat pada umumnya. Permasalahan hidup datang silih-berganti. Jika kita lebih mengedepankan perasaan atau emosi, tentu hidup kita akan semakin susah.
Sejatinya, suatu peristiwa itu bersifat netral. Respons kitalah yang membuatnya menjadi positif maupun negatif. Dengan kata lain, suatu peristiwa tidaklah penting, yang sangat menentukan adalah tanggapan kita. Kejadian yang sama bisa direspons secara berbeda oleh orang yang berbeda pula.
Sebagai contoh, sedang terjebak kemacetan di jalanan ibukota. Ada yang meresponsnya dengan emosi: gerundel, membunyikan klakson keras-keras, atau bahkan memaki-maki pengendara lain. Sedangkan yang lain merespons dengan: kesempatan untuk mendengarkan musik kesukaan, melihat podcast di YouTube, membaca buku, atau jika satu mobil dengan istri atau anak adalah kesempatan untuk mengobrol dan bercengkerama dengan keluarga.
Peran nalar dalam merespons suatu peristiwa sangatlah penting. Kemacetan, kondisi lalu-lintas, cuaca, dll merupakan sesuatu yang berada di luar kendali kita. sedangkan pikiran, perasaan, persepsi sepenuhnya berada di dalam kendali kita. Karena kita tak mungkin mengelola segala sesuatu yang berada di luar kendali kita, maka yang paling bijak adalah memanajemen apa-apa yang berada dalam kendali kita. Dengan demikian, kita tetap bisa damai dan bahagia dalam segala situasi dan kondisi.
*****
Kasus Ferdy Sambo menjadi pelajaran kita semua. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa kita petik. Pelajaran terpenting yaitu agar kita menimbang dengan masak-masak sebelum mengambil keputusan. Apa dampaknya, apa konsekuensinya. Jangan sekali-kali mengambil suatu tindakan ketika kita sedang dalam keadaan emosi atau marah.
Jadilah manusia yang hidup selaras dengan alam, manusia yang senantiasa menggunakan nalar/rasio/logika dalam setiap ucapan maupun perbuatan.
Referensi:
Henry Manampiring, Filosofi Teras, Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Saat Ini, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2019.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.