Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Modernisasi Fikih Siyasah, Bagaimana Wujudnya?

Agama | Tuesday, 14 Feb 2023, 19:20 WIB

Modernisasi Fikih Siyasah, Bagaimana Wujudnya?

Photo by: @tsaff_

Fikih secara terminologi ialah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis dan digali dari dalil-dalil terperinci (Al-Quran dan Hadits). Seiring dengan berkembangnya zaman dan meluasnya ruang gerak manusia dari berbagai aspek, fikih pun juga mengalami pengembangan. Salah satu representasi dari perkembangannya adalah munculnya fikih politik (siyasah).

Fikih politik, menurut Al-As’ad, adalah undang-undang syariat dari aspek hukum dan kekuasaan yang mengatur tatanan masyarakat dan mengurusi segala urusan internal maupun eksternal negara. Definisi serupa disampaikan oleh Khalid al-Fahdawi, bahwasanya ia adalah fikih yang mengatur urusan politik suatu bangsa, baik dalam aspek internal maupun eksternal, berdasarkan hukum Islam. Jadi, secara keseluruhan, fikih siyasah membahas ihwal tatanan hidup bernegara berdasarkan sistem kenegaraan khilafah.

Memahami Fikih Siyasah

Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya, Fiqh Tata Negara, mengemukakan bahwa bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersirat dan terperinci dalam teks wahyu. Sebaliknya, teks wahyu juga berbicara soal prinsip negara secara universal, seperti al- ‘adalah (keadilan), al-syura (permusyawaratan), al-musawah (kesetaraan) dan al-hurriyyah (kebebasan). Dengannya, maka teknis penyelenggaraan negara diserahkan kepada umat dengan tetap mengacu pada dalil-dalil universal ajaran agama dan prinsip Maqashid al-Syari’ah. Dalam lanjutannya beliau menegaskan bahwa pada tataran implementasi, Tuhan banyak mendelegasikan manusia untuk merumuskan sistem ketatanegaraan sesuai dengan panduan kitab suci dengan memperhatikan realitas masyarakat yang sedang dihadapi.

Jika kembali ke sejarah perkembangannya di atas maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan politik dalam fikih siyasah adalah berdasarkan penaklukan (futuh). Oleh karenanya, dalam fikih siyasah banyak tersinggung tentang dikotomi antara daru al-islam dan daru al-harb. Dikotomi tersebut untuk menentukan wilayah yang akan diserang dan kemudian dikuasai. Sementara untuk konteks hari ini wilayah kekuasaan sudah diatur oleh PBB.

Terdapat beberapa penafsiran soal kata al-harb tersebut. Suhail Husein (dikutip oleh Gus Fayyadl) dalam kitabnya, Diblumasiyyatu al- Nabi, menjelaskan beberapa definisi kata al-harb. Pertama, ia didefinisikan dengan qitalun musallah (perang bersenjata) antara kedua belah negara. Kedua, al-harb didefinisikan dengan sikap tidak taat kepada Allah—tanpa harus disertai adanya perang antara dua negara. Jika mengacu pada pada definisi ini maka banyak negara sekarang ini yang masuk dalam kategori daru al-harb. Definisi inilah yang kemudian dipakai oleh beberapa fuqoha siyasah dalam kitab-kitabnya. Ketiga, al-harb dimaknai dengan permusuhan terang-terangan kepada Allah dan rasul-Nya. Jika kita kembali ke definisi yang ketiga ini maka hampir tidak ada negara yang bisa dikatakan daru al-harb. Keempat, tipu daya (konspirasi). Inilah definisi yang saya kira relevan dengan konteks kekinian—di mana banyak demagog-demagog, dari dalam maupun luar negeri, yang berusaha menguasai pikiran masyarakat kita.

Terkhusus definisi keempat, jika digunakan, akan menarik makna lain tentang futuh sebagai konsekuensi dari penyematan label daru al-harb. Futuh yang pada asalnya adalah untuk merebut suatu wilayah maka akan lebih luas maknanya, yaitu untuk merebut ruh pikiran suatu penduduk negara atau melindungi penduduk sendiri dari pengaruh negara lain. Nah, untuk definisi yang keempat ini mungkin saja kita terapkan—dalam kaitannya dengan penyematan daru al-harb pada suatu negara—berhubung sering kita jumpai pengaruh-pengaruh luar yang merasuki kepala orang Indonesia. Teritorial kekuasaan memang sudah diatur oleh PBB, namun kekuasaan dalam kaitannya dengan pengaruh dan fitnah antar negara tidak memiliki sekat atau tanpa batas. Sebut saja Amerika—meskipun ia memiliki teritorial kekuasaan pada wilayah tertentu, namun pengaruhnya kepada dunia adalah bagian dari ekspansi kekuasaan politik yang menyamar. Ini mengajak kita untuk kembali ke masa dulu, di mana terdapat kebebasan melakukan invasi militer ke suatu wilayah atas tujuan mau menguasai. Sebagaimana spirit jihad adalah menjaga sesuatu yang ada, bukan mengadakan sesuatu, maka selayaknya ada fikih politik dengan wajah baru yang mampu menghadapi realitas ini.

Selaras dengan itu adalah kesimpulan tiga eksperimen Al-Arabi— tepatnya pada eksperimen yang ketiga—yang didapat dari pembacaan terhadap sejarah fikih siyasah di atas. Ia mengatakan bahwa terdapat tiga eksperimen/pengalaman politis yang didapat dari lima periode fikih politik di atas. Pertama, eksperimen politik islami (khilafah). Kedua, eksperimen hukum presidensial. Ketiga, eksperimen politik islami yang lintas batas atau tanpa sekat. Hal ini sebagaimana dalam contoh Amerika yang kami paparkan di atas. Dalam lanjutnya ia menjelaskan bahwa eksperimen yang ketiga akan menimbulkan gugurnya simbol kenegaraan. Eksperimen yang ketiga ini adalah tantangan bagi fikih politik untuk merealisasikannya— memandang bahwa realitas sedang menuntutnya. Dari sinilah kemudian timbul beberapa faktor yang mendorong modernisasi fikih politik.

Hal lain yang juga menjadi pendorong atas perlunya adanya modernisasi fikih politik adalah realitas Indonesia sendiri. Fikih yang kita punya kali ini dipandang stagnan dalam menemani fenomena berkembang di Indonesia. Bahkan untuk jati diri Indonesia pun, sebagai negara plural, fikih politik yang kita punya tidak mampu merangkulnya dengan baik. Maka adalah penting untuk dilakukan rekonstruksi tentang fikih politik.

Rekonstruksi fiqih siyasah berkemajuan

Terdapat lima karakteristik fikih siyasah produk imperium Islam yang menjadi benang merah untuk meneruskan modernisasi—kalau enggan bilang yang menyebabkan ia sudah tidak relevan di peradaban yang kita hadapi kali ini.

Pertama, sentralisasi figur—dalam hal ini adalah raja— dan peran khalifah sebagai pemimpin tertinggi. Ini sama halnya dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana keputusan raja tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Maka tak heran jika beberapa pengarang fikih siyasah adalah konsultan suatu kerajaan, karena raja-raja itu butuh legalitas syariat untuk mendukung keputusannya. Sebut saja Al-Ghazali, ia adalah konsultan politik pemerintah Saljuk (Dinasti Saljukiyah). Begitu juga Al-Mawardi, pengarang kitab al-Ahkam as-Sulthoniyah itu adalah seorang diplomat Dinasti Abbasiyah-Dinasti Buwahiyah.

Kedua, teritorial berdasarkan penaklukan (futuh). Salah satu representasi dari fikih siyasah adalah dilancarkannya perang oleh kedua belah pihak. Hal ini juga terbukti dengan wajah terakhir dari fikih politik masih memunculkan gerakan jihad bersenjata sebagaimana ulasan sejarah perkembangan fikih siyasah di atas. Sementara sebagaimana dijelaskan sebelumnya realitas berkata lain; bahwasanya teritorial kekuasaan kali ini sudah diatur oleh PBB.

Ketiga, menjadikan status iman dan kufur sebagai identitas politik. Keduanya bukan hanya soal keyakinan hati, melainkan juga memiliki pengaruh terhadap perjalanan tatanan politik di masa imperium Islam. Sebut saja misalnya syarat Islam untuk menjadi seorang hakim. Ini—sekali lagi— karena mayoritas masyarakat yang tinggal di negara itu adalah Muslim— meskipun di antara negara itu ada non-Muslim, misalnya, mereka dianggap kaum minoritas yang menumpang tinggal di negara Muslim. Oleh karenanya, mereka disebut kafir dzimmi.

Keempat, agen tunggal dari fikih siyasah adalah Muslim, sementara non-Muslim hanyalah rakyat yang dilindungi oleh raja negara itu. Satu- satunya aktor politik pemerintahan Islam adalah Muslim. Mereka, non- Muslim, tidak berhak untuk dipilih ataupun memilih, dilantik maupun melantik. Hal ini karena berangkat dari dikotomi iman dan kufur yang dipakai sebagai identitas politik.

Kelima, pelaksanaan syariah Islam sebagai tujuan. Ini adalah ciri khas dari fikih siyasah yang tidak mungkin dimiliki oleh sistem politik pemerintahan lainnya. Hal ini berangkat dari tujuan adanya negara, yaitu untuk menjaga agama dan memberi rasa aman pada Muslim. Kiai Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa adanya negara bukan suatu tujuan, melainkan perantara untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tegaknya agama Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image