Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SITI NURKHALIMAH

Moderasi Beragama Ala Komunitas Garis Lucu

Agama | Friday, 17 Dec 2021, 14:50 WIB

"Ragam umat, umat agamanya. Ada Islam, ada Kristen, Hindu, Buddha. Semuanya ada di sini. Bersatu di Bhinneka Tunggal Ika". Cuplikan lagu ciptaan Pujiono yang berjudul Manisnya Negeriku tersebut mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah negara yang plural. Mulai dari suku, ras, budaya bahasa, sampai dengan agama-agamanya.

Seperti kita ketahui pluralitas adalah sebuah fitrah Tuhan yang tidak bisa dihindarkan. Tak jarang karena pluralitas, banyak terdapat gesekan-gesekan antara satu dengan yang lain. Seringkali ajaran agama dilupakan dan hubungan antar etnis yang berbeda sering renggang disebabkan oleh persoalan ekonomi maupun politik.

Lalu apa pemicunya? Saya menyebutkan salah satunya dari paham radikalisme menjadi pemicu timbulnya perpecahan. Radikalisme sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan tentang “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan (sikap ekstrem) atau drastis”. Tidak hanya itu, radikalisme juga bermakna tentang suatu aksi untuk menyerukan paham ekstrem supaya diikuti oleh banyak orang.

Tentu paham radikalisme menjadi hal yang harus dihindarkan. Berbicara mengenai radikalisme, di mana lawan dari radikalisme sendiri adalah moderat atau berada di tengah-tengah. Maksudnya di sini adanya sikap moderat, sikap yang seimbang dalam memandang agama. Sikap yang selalu menghindar dengan perilaku-perilaku ekstrem penting dilakukan guna menjauhkan kita dari sikap radikalisme.

Jika membahas radikalisme dan sikap moderat, tentu kita tidak asing lagi dengan istilah moderasi beragama. Konsep moderasi beragama lahir sebagai bentuk untuk menghindarkan kita dari sikap ekstrem, ujaran kebencian, dll. baik itu secara langsung maupun melalui media sosial. Saya menyorot, salah satunya yaitu komunitas garis lucu.

Mungkin terbesit dibenak teman-teman, mengapa demikian? Mengapa komunitas garis lucu?

Tentunya saya memiliki alasan mengapa komunitas garis lucu menjadi bagian dari usaha menghindari sikap radikal serta menumbuhkan nilai-nilai moderasi beragama.

Jika kebanyakkan konten-konten di media langsung tertuju pada hal positif dengan berbagai karya yang langsung menuju perdamaian. Namun, tidak dengan komunitas yang beredar di media sosial yang memberi nama mereka dengan sebutan "Komunitas Garis Lucu". Komunitas ini muncul di berbagai platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Menariknya, tidak jauh dari namanya 'Garis Lucu', komunitas ini mengisi konten mereka dengan sindiran dan candaan. Tidak hanya itu, kounitas ini juga membawa isu-isu yang menegangkan masyarakat maupun isu-isu yang memicu perpecahan menjadi sebuah lawakan yang dapat dinikmati.

Sebagai contoh, dalam cuitan @KonghucuGL yang bertulis, "Apakah bakteri baik dalam Yakult akan masuk neraka jika dicampur SOJU atau @anggur_ot Bieb @Husen_Jafar Gus @NUgarislucu, stad...", yang kemudian ditanggapi oleh @NUgarislucu, "Bakteri baik adalah bakteri jahat yang taubat." Tidak berhenti di situ, cuitan itu masih berlanjut dengan @KonghucuGL yang menanggapi, "Tolong dalil'nya Gus...", dan sampailah @NUgarislucu kembali menanggapi dengan menjawab, "Asyhadu Alla ilha illalloh.. Wa Asyhadu Ann Muhammadar Rosululloh".

Membaca balas berbalas cuitan tersebut tentu terlihat ringan dan sedikit nyeleneh, namun hal tersebut malah mendapat banyak apresiasi dari masyarakat pengguna media sosial melalui komentar-komentar yang ada.

Seperti ditulis oleh akun @aruna_raya, “Indahnya bercanda dalam kerukunan antar umat bragama..”. Selain itu, akun dengan nama @musthofa_akhmad juga berkomentar, “Konten ini mengandung iklan”. Tidak hanya itu akun dengan nama @ilham_rojiqin26 juga menambahkan komentar “Auto mu’alaf” dan masih banyak lagi komentar-komentar positif dari pengguna media sosial yang ada.

Selain itu, ada juga beberapa postingan terbitan dari komunitas garis lucu yang berbunyi “Aku suka netizen yang jualan online di kolom komentar, Selain bertujuan memanfaatkan situasi, mereka cukup berhasil mengalihkan konsentrasi orang-orang yang saling caci maki. “Dasar preman berbaju agamis” “Kebetulan kami punya stok gamis istimewa. Beli selusin lebih murah kak”

Dari sini dapat diketahui bahwa, hadirnya komunitas garis lucu ini adalah untuk menghindari ketegangan antara orang yang saling caci maki satu sama lain.

Perlu ditekankan, di sini saya tidak mempromosikan mengenai komunitas garis lucu, tetapi yang perlu diambil adalah maknanya atau dapat dikatakan nilai-nilai dari konten-konten tersebut. Sebagai makhluk, agama mengajarkan adanya sikap toleransi serta sikap saling menghormati. Tentunya demi mewujudkan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Karena itu, tantangan yang dihadapi umat beragama dewasa ini adalah menjalankan misi keagamaan. Misi yang tidak menimbulkan benturan dan kerusakan, tetapi justru membawa kemaslahatan yang menebarkan kebaikan kepada semua kalangan, tanpa mengkompromikan keyakinan, sebaliknya justru memperkokohnya. Seperti halnya nilai-nilai moderasi beragama yang mana senantiasa untuk menghindarkan kita dari sikap yang ekstrem dan menjadi moderat. Komunitas garis lucu hadir juga untuk membawa ketegangan-ketegangan yang ada melalui candaanya yang ringan dan juga menghibur.

Dari sini, makna yang dapat kita ambil adalah bahwa jangan menjadi rigid atau kaku dalam beragama. Dari komunitas garis lucu kita diajarkan bahwa berbicara masalah agama memang menjadi hal yang sangat sensitif, namun dapat dihindarkan dengan sebuah candaan-candaan yang mengalihkan ketengan yang ada. Pentingnya menyadari bahwa Indonesia memiliki beragam agamanya tidak akan cukup apabila dalam beragama masih ekstrem dan tidak moderat. Hal ini sesuai dengan quotes dari Syekh Muhammad Abduh yang bertulis “Cela dalam beragama ada tiga: tidak memiliki pengetahuan tentang agama, berlebihan dalam menjalankannya, dan tidak memiliki kelapangan jiwa seperti yang diteladankan Rasulullah SAW”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image