Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabila Annuria

Etika Konsumsi Cegah Pangan Terbuang

Eduaksi | Saturday, 28 Jan 2023, 17:30 WIB
Ilustrasi pangan yang terbuang

Saatnya melakukan gerakan budaya untuk mengatasi makanan atau bahan pangan yang terbuang sia-sia. Gerakan itu antara lain sosialisasi sikap konsumsi yang beretika terhadap konsumen. Konsumsi yang tak terencana, baik jumlah maupun kualitas, harus dihilangkan untuk mengurangi pangan yang terbuang percuma. Sikap ini menjadi solusi untuk menekan pemborosan pangan dan meningkatkan penghargaan pada produsen pangan.

Perbuatan membuang makanan termasuk sikap boros yang tidak seharusnya dilakukan. Dalam ajaran Islam sikap boros dan membuang makanan disebut mubazir. Larangan membuang harta termasuk makanan merupakan kebiasaan setan.

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara syaitan," (QS. Al Isro': 26-27). Abu Hurairah juga mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda hal-hal yang membuat Allah SWT murka terhadap hambanya dan salah satunya adalah mubazir atau membuang makanan.

Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) di Indonesia masih rendah, yakni masih berkisar pada angka 0,57, dari angka mutlak 1. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Salah satu faktor penyebab masih rendahnya IPPL adalah perilaku konsumsi masyarakat yang kurang bijak dalam pemenuhan kebutuhannya. Menurut survei 49,3 persen berupa bahan pangan masih berasal dari luar daerahnya. Kondisi tersebut tentunya memberikan dampak bagi lingkungan seperti meningkatnya emisi karbon akibat sistem logistik dan transportasi bahan pangan tersebut dari daerah asal ketempat tujuan. Selain itu pola konsumsi jenis bahan pangan juga masih timpang, masyarakat hanya mengkonsumsi sekitar 36,4 persen produk bahan pangan yang dihasilkan daerahnya sendiri, terutama produk sayuran dan umbi-umbian lokal.

Di sejumlah daerah, masih banyak mulut yang sulit mendapatkan makanan layak bahkan terancam kelaparan. Disisi lain, bahan pangan begitu melimpah hingga terbuang sia-sia. Sudah saatnya semua pihak mengurangi limbah makanan dan berhenti makan berlebihan. Penduduk dunia di negara maju maupun berkembang memiliki kebiasaan membuang-buang makanan. Sepertiga makanan yang diproduksi di bumi setiap tahun terbuang sia-sia dan buangan mempengaruhi terjadinya pemanasan global. Sehingga berdampak menciptakan gas karbon dan metana, yakni gas beracun yang 4 kali lebih berbahaya dibanding karbon.

Perlu solusi teknologi dan rekayasa kebudayaan menghadapi bahan pangan yang terbuang. Makanan ini tidak pernah masuk dalam perut manusia akibat berbagai macam masalah, seperti masalah infrastruktur dan fasilitas penyimpanan hingga masalah penjualan.

Regulasi perdagangan justru melahirkan dampak negatif, hanya gara-gara prosedur dan standarisasi, sejumlah besar bahan pangan menumpuk di pelabuhan dan membusuk. Betapa besarnya bahan pangan yang gagal untuk dimakan gara-gara aturan yang proteksionis dan politis. Hal itu tidak hanya dialami di negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju. Seperti di Inggris,dimana sekitar 30 persen sayuran yang ditanam disana tidak jadi dipanen hanya karena gagal memenuhi standar “tampilan fisik”. Sementara lebih dari separuh pangan yang dibeli di Eropa dan Amerika dibuang oleh konsumennya. Padahal, guna memroduksi semua makanan yang terbuang tersebut dibutuhkan sekitar 550 miliar m3 air yang kemudian terbuang percuma karena makanan tersebut menjadi limbah.

Data menunjukkan bahwa jumlah pangan terbuang di negara maju lebih besar dibandingkan negara berkembang. Tetapi jumlah makanan yang terbuang di negara berkembang termasuk di Indonesia volumenya cenderung meningkat. Sebagian besar makanan tersebut terbuang pada tahap konsumsi dan banyak yang masih dalam kondisi layak dikonsumsi. Jumlah pangan terbuang oleh konsumen mencapai hingga 115 kg per kapita per tahun.

Selain itu jumlah pangan terbuang di negara berkembang lebih banyak terjadi dalam pascapanen dan rantai distribusi. Kehilangan pangan pada level ini lebih banyak terjadi karena rendahnya pengetahuan dan pengembangan, implementasi teknologi pascapanen, dan sistem logistiknya.

Besarnya jumlah pangan yang terbuang menunjukkan disparitas yang memilukan. Sebagian besar pangan yang diproduksi dan dieksport oleh negara berkembang dengan susah payah dan effort yang besar, ternyata sesampai di negara maju banyak yang dibuang-buang. Padahal data juga menunjukkan bahwa produksi pangan petani negara berkembang mampu memberi makan lebih dari 70 persen populasi dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image