Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Rumah untuk Buruh dan Efektivitas Tapera

Bisnis | Saturday, 14 Jan 2023, 17:24 WIB
Tower Samawa di Pondok Kelapa, Jakarta Timur

Rumah bukan sekadar alamat, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. ―Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)

Apa makna rumah bagi buruh ? Apakah sekadar tempat berangkat membanting tulang ? Dan tempat kembali pulang ketika otot terasa remuk redam ? Betapa menggebu keinginan buruh untuk memiliki rumah

Program DP nol rupiah yang telah sukses dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan perlu diperbanyak dan diperluas. Solusi Rumah Warga disingkat Samawa patut menjadi percontohan. Di Menara Samawa itu, kini para keluarga yang kebanyakan adalah buruh telah banyak yang menjadi keluarga bahagia.

Salah satu pemilik rumah Samawa, Tommi namanya, seorang pekerja pengemudi bus mengaku keluarga sangat bahagia sejak menghuni rumah itu. Sebelumnya dia mengontrak sepetak rumah bersama istri dan anak-anaknya. Ada pasangan penyandang disabilitas tuna netra, tak pernah membayangkan bisa punya rumah sendiri. Tak cukup tempat utk semua diceritakan. Berderet kisah seperti itu. Mereka sebenarnya mampu untuk nyicil bulanan, tapi tak punya tabungan untuk bayar uang muka (DP). Telah terbulti rumah dengan tajuk Program DP nol rupiah telah menjadi solusi bagi pekerja.

Program Samawa mesti terus digencarkan. Utamanya menyasar para buruh. Masih banyak buruh yang tidak mampu membeli rumah dengan cara apapun. Jika ada buruh yang berani nekat mengambil kredit rumah bisa dipastikan penghasilannya akan ludes untuk mencicil angsuran setiap bulannya.

Hanya sedikit perusahaan yang memberikan tunjangan perumahan. Padahal sebenarnya tunjangan perumahan merupakan tunjangan tetap yang mesti diberikan kepada buruh. Dengan adanya UU Tapera maka tunjangan perumahan buruh harus diintegrasikan dengan program seperti diatas.

Kini kondisi keluarga para buruh banyak yang sengsara karena tinggal berdesakan di kontrakan sempit di kampung kumuh dengan fasilitas sanitasi kesehatan yang buruk.

Penyediaan rumah rakyat, terutama untuk kaum pekerja selama ini merupakan masalah dunia yang sangat rumit. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar pekerja. Pemerintah wajib memberikan akses kepada pekerja untuk dapat memperoleh permukiman yang berkeadilan sosial.

Ilustrasi percontohan perumahan buruh ( foto istimewa )

Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar, selama ini sebagian besar disediakan secara mandiri oleh pekerja baik membangun sendiri maupun sewa kepada pihak lain. Kendala utama yang dihadapi pekerja pada umumnya keterjangkauan pembiayaan rumah. Di lain pihak, kredit pemilikan rumah dari perbankan memerlukan berbagai persyaratan yang tidak setiap pihak dapat memperolehnya dengan mudah serta suku bunga yang tidak murah.

Selama ini publik dibuat bingung terkait dengan ketidak jelasan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pembentukan BP Tapera merupakan salah satu amanat Undang-undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Kepesertaan Tapera tertuang dalam pasal 7 UU nomor 4 tahun 2016. Dimana diwajibkan bagi seluruh pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Peserta ini paling rendah berusia 20 tahun atau sudah kawin saat mendaftar.

Seperti halnya BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, simpanan atau iuran Tapera akan dibebankan oleh pemberi kerja dan bagi pekerja sendiri. Persentase simpanan Tapera sebesar 3 persen dari gaji, terbagi atas 0,5 persen dibebankan kepada pemberi kerja dan 2,5 persen merupakan beban pekerja (swasta/pegawai negeri). Pemberlakuan Tapera otomatis akan mengalihkan dana PNS, TNI Polri dan BUMN yang ada di Bapertarum kepada BP Tapera.

Sebenarnya keinginan rakyat kecil untuk memiliki rumah sendiri sangat menggebu. Namun, mereka tidak mampu membeli rumah dengan mekanisme apapun.Termasuk dengan mekanisme Tapera yang dirasa masih berat jika potong gaji. Segmen masyarakat yang sangat membutuhkan pemukiman yang layak adalah para pekerja berpenghasilan pas-pasan. Pemerintah wajib memberikan kemudahan bagi para pekerja untuk memperoleh permukiman yang layak huni dan berkeadilan sosial. Apalagi pada saat ini para pekerja dalam kondisi rawan daya beli akibat pandemi Covid-19.

Harapan para pekerja berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah harus segera diwujudkan. Perlu sinkronisasi program Tapera dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Yang bisa diterima oleh para pekerja. Pembanguan perumahan selama ini terkendala oleh sulitnya lahan. Masalah itu sebenarnya bisa diatasi dengan keberadaan dan pengelolaan aset milik pemerintah daerah. Celakanya, banyak pejabat dan aparat daerah yang kurang peduli dan belum mengelola aset itu secara baik.

Akibatnya, tidak sedikit aset daerah yang pindah tangan atau dikelola oleh pihak lain secara asal-asalan. Rakyat sering menyaksikan aset daerah yang dibiarkan terlantar atau diserobot oleh pihak lain. Oleh sebab itu perlu tindakan tegas terkait dengan optimalisasi pemanfaatan aset daerah untuk pembangunan perumahan rakyat. Pengadaan perumahan dengan sistem rusunawa selama ini masih banyak kendala dan kurang menguntungkan bagi pekerja. Apalagi standar mutu bangunan rusunawa dan letaknya yang terpencil menyebabkan pembangunan rusunawa menjadi mubazir dan utilisasinya tidak bisa optimal.

Dengan kasus seperti diatas perlu menetapkan dan melaksanakan standar serah terima pembangunan rusunawa sehingga mutu dan kualitasnya baik. Terobosan pembangunan perumahan rakyat juga harus disertai dengan membuat standar mutu bangunan. Selama ini standar mutu bangunan sering diabaikan. Akibatnya menimbulkan kerawanan terhadap rusunawa-rusunawa yang telah dibangun.

Tujuan dasar pembangunan rusunawa sebagai salah satu solusi dalam penyediaan permukiman layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di perkotaan tidak tercapai akibat masalah mutu bangunan dan infrastruktur pendukung yang tidak memadai. Seperti infrastruktur transportasi dan minimnya fasilitas sosial. Perumnas sebagai BUMN memiliki pengalaman yang cukup sehingga perlu diberikan kembali alokasi anggaran yang bersumber dari APBN seperti dalam bentuk skema PSO (Public Service Obligation) maupun dalam bentuk insentif atau stimulus lainnya guna membangun program perumahan rakyat. Baik perumahan di ibu kota maupun dipelosok daerah.

Kaum pekerja yang notabene masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus menjadi prioritas program perumahan rakyat yang dicanangkan pemerintah. Sayangnya selama ini program perumahan rakyat masih angin-anginan. Akibatnya terjadi backlog atau kekurangan kebutuhan rumah di Tanah Air yang mencapai sekitar 15 juta dari sisi kepemilikan.

Penyediaan rumah rakyat, terutama untuk kaum pekerja selama ini merupakan masalah dunia yang sangat rumit. Di dunia terdapat beberapa skema untuk penyediaan pembiayaan perumahan. Ada dua model tabungan perumahan yang banyak diadopsi diberbagai negara, yakni tabungan kontraktual atau contractual savings dan Housing Provident Fund (HPF).

Tabungan kontraktual merupakan pengembangan dari sistem mutual building society yang pada mulanya dikembangkan di Inggris. Mekanismenya sekelompok individu yang ingin memiliki rumah bergabung dan secara rutin menyimpan sejumlah uang hingga terkumpul cukup uang untuk membangun sebuah rumah yang akan dialokasikan untuk salah satu anggotanya melalui undian. Seluruh anggota kelompok tersebut akan terus menyetorkan uang hingga seluruh anggotanya telah memperoleh rumah.

Sedangkan sistem HPF muncul sebagai respon atas masalah yang timbul dalam perekonomian yang memiliki tingkat inflasi tinggi dan belum memiliki pasar modal yang berkembang. Situasi ini menyebabkan rendahnya animo masyarakat untuk menabung sehingga pada akhirnya akan menghambat kegiatan-kegiatan yang memerlukan pendanaan jangka panjang. Sistem ini digunakan di Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan India.

HPF merupakan institusi keuangan khusus yang mengumpulkan iuran wajib yang dikumpulkan dari pekerja sektor swasta. Iuran yang dikumpulkan merupakan persentase tertentu dari gaji para pekerja, dan biasanya pemberi kerja turut memberikan kontribusi iuran yang besarnya proporsional dengan iuran pekerja. HPF kemudian mengelola iuran tersebut dan melakukan pemupukan dana melalui berbagai instrumen investasi. (AM)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image