Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khairus Sakinah Chaeruddin

SEJARAH EPISTEMOLOGI

Sejarah | Tuesday, 14 Dec 2021, 20:32 WIB

SEJARAH EPISTEMOLOGI

Sebelum membahas Bacon, perlu sekiranya untuk dipaparkan terlebih dahulu begaimana perkembangan sejarah logika nalar epistemologi sebelumnya, tentang berkembangan metode dalam menemukan ilmu pengetahuan. Karena sesungguhnya metode Bacon merupakan kelanjutan dari metode sebelumnya yang telah berhasil ia modifikasi sedemikian rupa, hingga lebih konkrit dalam mengasilkan karya penemuan sains.

a.Dunia Yunani

Di dominasi oleh tiga warna, Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates (470-399 SM) dengan metode maieutika dialektis kritis induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari umumnya. Kemudian kedatangan Plato (428-347 SM) mengumumkan metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yaitu teori Dinge an sich versi Plato. Begitu berikutnya datang Aristoteles (382-322 SM), ia mengembangkan dari Plato menjadi teori tentang ilmu, kemudian barulah logika epistemologi dapat dikatakan terwujud berkat karyanya yang di sebut To Organom, memuat teori metode silogisme deduktif. Setelah karya Aristoteles terus menjadi perhatian, dan bermunculan filosof yang mengembangkan logika Aristoteles ini.

Kemudian muncul zaman dekadensi logika. Selama ini logika mengembang karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berfikir yang setiap langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika juga merosot.

b.Dunia Abad Pertengahan

Hingga sebelum abad XIII, logika epistemologi hanya berkisar pada karya Aristoteles, dan beberapa karya folosof yang lain, yang memiliki corak yang sama, yaitu metode silogisme deduktif. Baru pada abad XIII sampai dengan abad XV, berkembanglah apa yang disebut logika modern, yaitu semacam aljabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi. Namun pada dasarnya dalam abad ini tidak lain adalah penyempurnaan teori silogisme Aristoteles, dan yang lain-lain terkait dengan penyempurnaan tehnis dari filsafat Yunani.

c.dunia modern

Di dunia modern ini, logika epistemologi Aristoteles yang bersifat deduktif silogistis mendapatkan hantaman kritik cukup keras. Beberapa kalangan menyatakan bahwa metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dengan cara deduktif silogistis tidak akan mampu menghasilkan apapun dalam penemuan ilmu pengetahuan baru, terutama hasil karya alam. Dengan ini maka metode deduktif silogisme Aristoteles seharusnyalah tidak digunakan lagi.

Harus dimunculkan motode baru lebih jitu sebagai pengganti metode deduktif silogisme Aristoteles, yang dikenal dengan metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang berdasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati dengan panca indra langsung, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut. Metode ini dikembangkan dan disistematisasikan oleh Francis Bacon.

II.BIOGRAFI, KARYA DAN PANDANGAN UMUM BACON

Francis Bacon adalah seorang filosof Inggris yang terkenal sebagai pelopor empirisme Inggris, namun bukan berarti ia ateis. Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi, bukan dicampur sebagaimana skolatisme. Urusan teologi hanya bisa diketahui oleh wahyu, sedangkan filsafat hanya pada akal semata, karena itulah dia termasuk pendukung dokrin ‘kebenaran ganda’ yakni akal dan wahyu. Agama yang dianut Bacon adalah Ortodoks.

Bacon lahir pada tanggal 22 Januari 1561 di York House, London. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge University. Setelah selesai pendidikan di Cambridge, ia diangkat sebagai staf kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia yang cukup muda 23 tahun ia telah diangkat menjadi anggota parlemen. Pada tahun 1618, James I mengangkatnya menjadi Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans. Setelah lima tahun dari jabatannya (1626), dia meninggal karena kedinginan ketika melakukan eksperimen dengan mendinginkan ayam dan membungkusnya dengan salju.

Francis Bacon mengalami banyak keresahan dan kegelisahan menyikapi situasi dimana dia hidup pada saat itu. Satu antaranya adalah berkembang klaim dikhotomik gereja antara studi agama dan studi alam, bahkan adanya konflik yang serius. Gereja menyatakan ilmu pengetahuan adalah jalan menuju neraka. Bukan hanya itu, Bacon juga melihat nyaris semua orang memiliki kwalitas rendah intelektual, sehingga wajar kalau gereja menyatakan tidak semua orang layak untuk menyentuh kitab Injil yang suci. Ditambah lagi, Bacon melihat bahwa kebenaran ilmu penuh dengan penuh dengan keragu-raguan, karena banyak wacana ilmu yang berkembang hanyalah dogmatisme belaka, diimbangi dengan adanya tradisi hermetik dan skolastisisme dimana-mana, makin sempurnalah kerisauan filosof ini.

Disisi lain, kian hari semakin diperparah dengan kekuasaan geraja yang terus mengakar, terlebih ketika disokong oleh bantuan dana yang begitu besar dari kerajaan. Secara otomatis hal ini menjadikan hegemoni mereka semakin kuat, bukan hanya dalam ranah menentukan kebijakan publik religius, bahkan termasuk ilmu sains pun tidak luput dari ketetapan gereja. Terhadap kerisauan ini Francis Bacon mencoba memberikan gagasan baru dalam memberikan peribahan terhadap keadaan dimana ia hidup pada saat itu, tertuang dalam karya-karyanya.

Karya tulis Bacon yang paling terkenal adalah The Advancement of Learning, New Atlantis, dan Novum Organum. Secara umum pandangan Bacon bisa dikatakan praktis,konkret dan utilitaris. Bagi Bacon, untuk mengenal sifat-sifat segala sesuatu perlu penelitian yang empiris. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan. Apa yang diungkapkan Plato menjadi semboyan Bacon, pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power). Menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan ilmiah. Dengan demikian Bacon menginginkan bawah ilmu pengetahuan haruslah diupayakan untuk memanfaatkan alam guna kepentingan kelancaran hidup manusia, melalui penemuan sains. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan beralih pada metode induksi.

III.GAGASAN BARU: METODE INDUKSI

Dalam buku Novum Organum, Bacon menyempurnakan metode ilmiah induksi. Menurutnya, logika silogisme tradisional tidak sanggup lagi menghasilkan penemuan empiris yang baru, ia hanya dapat membantu mewujudkan konsekwensi deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan terus berkembang dan memunculkan teori-teori hukum baru, maka metode deduksi harus ditinggalkan, dan diganti dengan metode induksi modern.

Penghalang Metode Induksi

Cara induksi secara sederhana adalah bermula dari rasio bertitik pangkal pada pengamatan indrawi yang partikuler, lalu maju sampai pada ungkapan-ungkapan yang paling umum guna menurunkan secara deduktis ungkapan-ungkapan yang kurang umum. Agar induksi tidak terjebak pada proses generalisasi yang tergesa-gesa, maka yang perlu dihindari empat penghalang prakonsepsi, empat hal tersebut adalah;

1) Idola Tribus (The Idols of Tribe).

Yang di maksud Idola tribus adalah menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal (sebagaimana pada umumnya manusia awam/ tribus). Sumber kesesatan ini pada dasarnya bersumber pada kodrat manusia sendiri, pada ras manusia, misalkan, manusia hanya mempunyai lima indra, dan tidak lebih. Segala hal diukur menurutukuran pribadi individual, tidak menurut ukuran semesta. Padahal akal manusia adalah cermin yang palsu, menerima cahaya tidak teratur, membengkokkan dan meluruskan hakekat segalanya dengan mencampurkan hakikatnya sendiri dengan hakekat sesuatu tadi. Dengan ini manusia sekaligus berpotensi menjadikan tertutupnya hakekat kebenara.

2)Idola Specus (The Idols of the Cave).

Idola specus, yaitu menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka pribadi, prejudice, selera a priori (seperti manusia di dalam gua/ specus). Setiap orang, disamping didukung oleh kesesatan-kesesatan yang umum pada umat manusia, ia juga dikurung oleh keterbatasan diri sendiri, yang membiasakan dan melunturkan cahaya realitas. Hal ini disebabkan karena sifat pribadinya yang khas tertentu, dapat disebabkan karena membaca buku-buku dan karena otoritas yang ia hormati dan kagumi, atau bisa jadi karena kesan-kesan yang berbeda yang terjadi pada pikiran yang sedang dikuasai sesuatu, sedangkan dalam keadaan mundah dipengaruhi oleh sesuatu atau pikiran yang netral serta pada pikiran yang sudah mapan, sudah tetap. Dengan demikian, jiwa manusia merupakan sesuatu yang berubah-rubah, penuh gangguan, dan seakan-akan diperintah oleh kemungkinan yang tidak pasti.

3)Idola Fori (The Idols of the Market Place).

Idola Fori maksudnya adalah menarik kesimpulan hanya karena umum berpendapat demikian, atau ikut-ikutaan pandapat umum (opini public/ pasar/ forum). Dengan ini maka seseorang tidak membuat pembatasan pada term-term yang dipakai untuk berfikir dan berkomunikasi, hal ini bisa melemahkan manusia dalam pencarian kebenaran yang sesungguhnya.

4)Idola Theatri (The Idols of the Theatre).

Idola theatri adalah menarik kesimpulan berdasarkan kepercayaan dogmatis, mitos dst. Karena manganggap dunia adalah panggung sandiwara. Maka sikap menerima secara membuta terhadap tradisi otoritas, mampu melumpuhkan metode induksi tidak bisa berjalan.

Metode induksi tradisional bisa diilustrasikan sebagai berikut:

“...menurut sahibul hikayat, dahulu ada seorang petugas sensus yang sedang mendata semua nama-nama di suatu daerah. Orang pertama yang didata namanya adalah William Williams, demikian juga orang yang ke dua, ke tiga dan yang ke empat, dan seterusnya. Sesudah sekian banyak orang yang didata, ternyata semuanya mempunyai nama William Williams. Ia pun mulai bosan, hingga pada akhirnya ia berfikir untuk menghitung jumlah penduduk dan memberi nama mereka semua William Williams, kemudian pergi berlibur. Tatapi sayangnya, ia keliru, ternyata ada satu orang yang bernama John Jones.”

Bacon menegaskan bahwa, tidak boleh kita seperti laba-laba yang gemar memintal jaringnya dari apa yang ada di dalam tubunya, atau seperti semut yang semata-mata tahu mengumpulkan makanannya saja, melainkan kita harus seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan tetapi juga tahu bagaimana menatanya. Metode silogistis deduktif digambarkan oleh Bacon seperti laba-laba, sedangkan metode induktif tradisionalis seperti semut, metode induktif medernlah (yang telah disempurnakan) yang sama dengan lebah.

Seperti yang telah disinggung di atas, Bacon penaruh perhatian besar pada metode induksi yang tepat untuk memperoleh kebenaran, berdasarkan pada pengamatan empiris, analisis data, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut. Induksi yang bertitik tolak pada eksperimen yang teliti dan telaten terhadap data-data partikuler menggerakkan rasio maju menuju penafsiran atas alam (interpretation natura).Metode induksi Bacon dapat diuraikan secara sederhana misalkan sebagai berikut:

Bacon ingin mengetahui tentang sifat panas yang diduganya merupakan gerakan-gerakan tidak teratur, yang cepat dari bagian-bagian kecil dari suatu benda. Ia lalu membuat daftar dari benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat penelitiaanya secara seksama terhadap benda-benda tersebut, ia berupaya menemukan karakter yang senantiasa hadir pada benda-benda panas, karakteristik yang tidak terdapat pada benda-benda dingin, dan yang selalu ada pada benda-benda yang memiliki tingkatan panas yang berbeda. Dengan demikian ia berharap akan berhasil menemukan suatu hukum yang berlaku umum tentang apa yang diselidikinya itu.”

Dari ilustrasi di atas, bisa dipetik kesimpulan bahwa penggunaan metode induktif Bacon mengharuskan mencabut hal yang hakiki dari hal yang tidak hakiki dan menemukan struktur atau bentuk yang mendasari fenomena yang diteliti, dengan cara: (1) membandingkan contoh-contoh hal yang diteliti, (2) menelaah variasi-variasi yang menyertainya, dan (3) menyingkirkan contoh-contoh yang negatif.

Maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan data-data heterogen tentang suatu hal. Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas. Yang paling awal adalah bahwa peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut proses atau kausal efesien), kemudian suatu hal yang lebih umum sifatnya (menyangkut skema, atau kausa materialnya), baru ditemukan dasar inti. Dalam dasar inti ini, pertama-tama dikemukaan dasar inti yang masih partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa secara deduktif. Jika yang ini sudah cukup handal, barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas. Begitulah langkah Bacon dalam induksi eksperimennya.

Misalkan, sesudah mengadakan eksperimen dan menyelidiki bahwa besi ini, besi itu, besi yang lain juga, besi yang lain lagi, tenggelam di dalam air, maka berkesimpulanlah semua besi dimasukkan ke dalam air tenggelam.

Contoh :

Tembaga, Besi, Perak, Emas adalah penyalur listrik

Tembaga, Besi, Perak, Emas adalah logam

Jadi, logam adalah penyalur listrik

Contoh di atas disusun sedemikian rupa, hingga jelas prosesnya, dan jelas mekanisme logis pemikiran induktif.

Bacon memang bukan penemu murni metode induksi, namun ia hanya berupaya menyempurnakan metode itu dengan cara menggabungkan metode induksi tradisionalis dengan eksperimentasi yang sistematis, observasi yang ekstensif demi mendapatkan kebenaran ilmiah yang konkret, praktis, mensistematisasi prosedur ilmiah secara logis, dan bermafaat bagi manusia, inilah metode induksi modern yang telah mengalami penyempurnaan.

IV. KONSTRUKSI INDUKTIVISME BACON

1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan

Terkait dengan sumber dan hakikat pengetahuan dalam perspektif epistomologi Bacon, Kita bisa mengabstraksikan metode Bacon secara simple dan sampai pada sebuah catatan sederhana tentang metode ilmiah. Pada intinya, induktivisme Bacon berakar pada dua pilar; Observation dan induction. Observasi yang dilakukan dalam memperoleh knowledge harus diambil tanpa praduga (prejudice) atau pre-konsepsi (preconception). Ini menegaskan pemikiran Bacon yang manisbikan pengetahuan akal yang telah ada – anggapan tanpa rasionalitas – dan bahwa kita juga diwajibkan untuk mencatat atau merekam hasil-hasil dari data-data pengalaman sensorik. Bentuk apa yang dapat kita lihat, kita dengar dan kita cium, apakah hal tersebut kita bisa dapatkan di dunia, atau pada lingkungan-lingkungan (circumstances) dari percobaan-percobaan. Hasil-hasil dari pengamatan diungkapkan dalam sesuatu yang dinamakan pernyataan observasi (observation statments). Dari sebuah kesimpulan pengamatan tersebut bisa digunakan sebagai landasan bagi hukum-hukum dan teori-teori ilmiah.

2. Alat Pengetahuan

Apa yang menjadi tools oleh Bacon dalam menyusun ataupun memperoleh pengetahuan adalah dengan memfungsikan sarana panca indera manusia. Pengalaman melalui penglihatan, penciuman, dan merasakan bisa mampu menghantarkan manusia pada sebuah proses pencapaian pengetahuan.dan tentunya ini dilakukan dengan melibatkan akal. Pada sebuah kesimpulan di sini, penulis dapat melihat tiga susunan cara dalam memperoleh pengetahuan melalui epistomologi Bacon: indera, digunakan untuk menangkap fenomena-fenomena realitas yang selanjutnya diobservasi secara terus menerus dan berkelanjutan. Selanjutnya data ini dipersepsikan oleh akal melalui sebuah kesimpulan yang terikat pada fenomena pengamatan.

Pada akhir tahapan ini Bacon menciptakan sebuah teori epistomologi induktivisme sebagai kesimpulan dari observasi tersebut. Teori Induksi ini, dalam pengertian luas hanyalah merupakan suatu bentuk pemikiran (reasoning) yang bukan deduktif – cenderung menentang dan attacking – tapi dalam pengertian lebih sempit di mana Bacon gunakan, adalah suatu bentuk dari pemikiran di mana kita menjeneralisasikan dari sebuah keseluruhan pengamatan terhadap kumpulan bagian-bagian penting untuk sebuah kesimpulan umum.

3. Teori dan Pengujian Kebenaran Pengetahuan

Secara garis besar induktivisme Bacon jelas sekali menentang Deduktivisme Aristoteles Namun demikian, Induksi Bacon sendiri juga memiliki kelemahan sebagaimana halnya deduksi Aristoteles. Antara lain bahwa Metode induksi yang diprakarsai Bacon untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan dari hasil pengamatan, pemikiran dan uji coba yang dilakukannya. Problem yang seringkali dipermasalahkan adalah ketidakmampuannya mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang digunakannya, sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai orang pada zamannya saja. Selain itu, metode yang digunakannya tersebut masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan, misalnya penolakan terhadap prasangka, tetapi di lain waktu ia menggunakan prasangka untuk menemukan pengetahuan.

V.AMPILIKASI METODE INDUKSI

Pada dasarnya, menurut penulis, deduksi dan induksi memiliki posisi sama penting, sesuai dengan perannya masing-masing, maka kalau di tanya, maka yang lebih penting, maka jawabannya relatif. Karena masing-masing dibutuhkan untuk mecapai kebenaran dalam ranah masing-masing. Apabila menginginkan memiliki pemikiran deduktif yang sehat, maka haruslah bermula dari premis-premis yang pada instansi terakhirnya telah dinyatakan kebenarannya oleh metode induktif. Sebaliknya, juga ingin mengetahui seluk beluk kesimpulan-kesimpulan pemikiran induktif, maka harus menyusun pemikiran deduktif yang benar.

Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya secara ideal harus memposisikan deduktif dan induktif pada posisi bersamaan. Induksi tidak ada tanpa deduksi di dalamnya, sedangkan deduksi juga selalu dijiwai olehinduksi. Maka keduanya adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam tulisan ini keduanya dalam pembahasan secara terpisah, bukan perarti pemisahan, akan tetapi untuk memperoleh pandangan dan kecerahan pengetahuan tentang hakekat dan mekanisme atau metode masing-masing.

a.Perbedaan Induksi dan Deduksi (Silogisme)

Kalau kita mencermati perbedaan induksi dan deduksi, bisa terlihat diantaranya adalah sebagai berikut:

FILSAFAT ARISTOTELES (Deduktif)

FILSAFAT BACON (Induktif)

Rasionalis (menggunakan logika), maka relevan dalam dunia filsafat

Empirisme (melalui panca indra), maka berada terdepan dalam proses penyelidikan

Bergerak dari yang umum kepada yang kurang umum, atau dari yang umum ke yang khusus

Bergerak dari yang khusus kepada yang umum, atau dari yang kurang umum kepada yang lebih umum

Mekanisme khusus menggunakan momen naik saja

Mekanisme momen naik dan dapat dibalik turun (asensional dan bisa desensional)

Bergerak dalam tingkatan konsep

Bergerak dalam tingkatan pengalaman indra ke tingkatan konsep, dari tingkatan khusus ke tingkatan umum atau sebaliknya.

Mendasarkan pada dua term, dengan term ke tiga yang sama (terminus medius)

Mengganti terminus medius dengan sejumlah bagian-bagian, dan menumpukan diri pada hubungan dengan menjumlah bagian-bagian, dan menumpukan diri pada hubungan pelbagai kejadian individual atau bagian-bagian dengan keseluruhan umum

Bahan-bahan untuk berfilsafat bisa dikumpulkan dari kontemplasi terhadap alam

Bahan-bahan berfilsafat hanya bisa dikumpulkan dari pemeriksaan atas tindakan manusia terhadap alam

Tujuan logika adalah membangun konsistensi logis

Tujuan logika adalah membuatnya bekerja dalam tindakan

Tradisi filosofis Aristotelean hanya merupakan pergantian pada masters dan scholars

Tradisi filosofis Baconian bermaksud melahirkan inventors dan improvers of invensions

Lebih menekankan bagaimana berargumentasi (how to argue).

Lebih menekankan bagaimana menemukan (how to invent).

Manusia teoritikal.

Manusia praktikal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image