Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Bila Haluan Negara di Tangan Buruh

Politik | 2023-01-09 09:32:39

Rakyat prihatin karena haluan negara negeri ini dalam kondisi amorfik, seperti amoba alias tidak berbentuk. Harapan besar pembangunan bangsa mestinya ada di tangan MPR lewat GBHN. Tiadanya haluan maka hukum dan kebijakan pembangunan bisa disetir oleh pihak asing. Bahkan para kapitalis komprador bisa menjadi sponsor pembuatan Undang-Undang atau peraturan untuk melancarkan kepentingannya. Tidak perduli kepentingan itu harus merugikan kepentingan rakyat luas.

Tiadanya haluan negara sebenarnya bisa ditanggulangi dengan adanya kepemimpinan yang visioner dan berjiwa kerakyatan. Kepemimpinan seperti itu mampu menjadikan visinya sebagai strategi dan program pembangunan yang sangat berpihak kepada rakyat. Salah satu contoh hebat terkait ini adalah di Brasil lewat tangan Presiden Lula da Silva. Boleh dibilang haluan negara tersebut di tangan buruh. Bahkan dunia mengakui dan menjadikan contoh program-program pembangunan di Brasil untuk terapkan rakyat semesta.

Sungguh ironis jika di negeri ini sekarang banyak pejabatnya yang berjiwa feodalisme. Merekaa bersikap otoriter demi menjaga wibawanya. Jangan harap terjadi debat antara menteri dengan tokoh publik. Jangankan debat, diskusi publik saja sudah mereka atur skenario dan framingnya sehingga peserta hanya bisa mantuk-mantuk.

Padahal debat sangat penting untuk mendefinisikan realitas bangsa dan solusinya. Meminjam teori manajemen dari Max De Pree bahwa tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas terkini secara tepat setelah melewati dialektika panjang.

Meskipun dunia sekarang ini dibanjiri oleh informasi, tetapi untuk mendefinisikan realitas terkini tidaklah mudah. Karena realitas itu membutuhkan matriks kompleks yang menekankan tradisi intelektual, termasuk perdebatan.

Dengan mata telanjang rakyat melihat bahwa kebanyakan pejabat negara dan tokoh parpol yang ada saat ini menjual kegenitan dan pesona yang dangkal. Akibatnya, di kemudian hari para konstituen akan menyesal karena sosok selebritis yang dipilih sebagai wakilnya ternyata kedodoran dalam mengartikulasikan aspirasi dan mengalami kebuntuan dalam mencipta solusi kebangsaan.

Tradisi intelektual dikalangan aktivis buruh, sudah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada era itu para pimpinan partai politik justru berguru kepada tokoh buruh dan mengasah daya kritisnya lewat koran-koran yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh buruh. Sehjingga daya kritis dan kesadaran bisa mencapai kulminasi dalam perjuangan.

Kehebatan tokoh-tokoh buruh dimasa lampau bisa dibaca di buku sejarah gerakan buruh yang ditulis oleh pakar dunia Profesor John Ingleson yang berjudul “Buruh, Serikat dan Politik”.

Dari buku ini kita juga mengetahui bahwa tradisi intelektual bangsa, daya kitis masyarakat, hingga cikal bakal media nasional (koran) semua lahir dari rahim serikat pekerja pada saat itu, tokoh pergerakan kemedekaan seperti Haji Agus Salim dan sederet lainnya adalah aktivis koran serikat pekerja yang pada saat itu pernah berjaya.

Sebelum Indonesia merdeka, pada era sekitar tahun 1930-an tingkat literasi kaum buruh di Indonesia justru pernah dalam tingkat yang tinggi. Hal itu ditandai dengan adanya media massa yakni tiga surat kabar terbesar yang dikelola sendiri oleh kaum buruh dan tokoh pergerakan bangsa yakni koran Moestika, Oetoesan Indonesia dan Soeara Oemoem.

Konten ketiga koran diatas selain menjadi senjata kaum buruh dalam hubungan kerja juga menjadi alat yang hebat untuk mendongkrak tingkat literasi kaum buruh. Tokoh pendongkrak literasi tersebut antara lain Haji Agus Salim, Surjopranoto, Sukiman, Muhamad Hatta.

Lula da Silva untuk Keluarga Brasil

Banyak kawan-kawan anggota serikat buruh yang bertanya, seperti apa bila haluan negara di tangan tokoh-tokoh buruh. Yang pasti hingga kini banyak tokoh buruh di negeri ini yang memiliki konsep yang bagus untuk memajukan bangsanya. Namun para tokoh buruh itu tidak diberi kesempatan untuk mengemukakannya.

Wajah dunia kini makin tampak sosialismenya. Dibeberapa negara haluan negara berasal dari tangan buruh. Contoh yang masih hangat adalah Luiz Inácio Lula da Silva atau Lula da Silva presiden Brasil yang sudah menyusun haluan negaranya untuk yang kedua. Setelah haluan negaranya sukses dan mendunia pada era kekuasaan Lula yang pertama dulu.

Kemenangan Lula da Silva di Brasil menandai perubahan mendadak bagi negara terbesar di Amerika Latin itu setelah empat tahun pemerintahan otoriter sayap kanan Jair Bolsonaro.

Lula da Siva memiliki haluan negara yang hebat berupa konsepsi atau teori pembangunan yang luar biasa, antara lain program Bolsa Família (pelafalan dalam bahasa Portugis: [ˈbowsɐ faˈmiliɐ], Tunjangan Keluarga) adalah program kesejahteraan sosial. Program ini merupakan bagian dari program bantuan federal Fome Zero.

Bolsa Família memberikan bantuan keuangan untuk keluarga Brasil yang miskin; bila mereka punya anak, mereka harus memastikan bahwa anak mereka masuk sekolah dan divaksinasi. Program ini berupaya mengurangi kemiskinan dengan memberikan uang kas sebagai solusi jangka pendek dan menambah modal manusia di antara orang-orang miskin melalui transfer kas kondisional sebagai solusi jangka panjang. Program ini juga menggratiskan pendidikan untuk anak-anak yang tidak mampu untuk menunjukkan pentingnya pendidikan.

The Economist mendeskripsikan Bolsa Família sebagai skema anti-kemiskinan yang diciptakan di Amerika Latin yang menjadi teladan di berbagai belahan dunia. Selain itu Lula juga punya Program Zero Hunger guna memperbaiki situasi dengan memperkenalkan model pembangunan yang baru, yang fokus pada pemberantasan kelaparan dan inklusi sosial, menghubungkan ekonomi makro, sosial dan kebijakan produktif.

Brasil telah dijadikan contoh oleh negara-negara lain dalam hal penanggulangan kelaparan, kerawanan pangan dan penurunan kemiskinan. Tujuan Zero Hunger tercermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi makro Brasil. Dibentuknya kebijakan ketahanan pangan nasional dan nutrisi yang terintegrasi, yang didukung oleh kerangka kerja hukum dan kelembagaan yang baru. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk memastikan seluruh rakyat Brasil dapat memperoleh haknya atas pangan yang cukup.

Rakyat Brasil bergembira karena haluan negara sudah di tangan buruh. Bagaimana dengan di Indonesia ? Suara buruh dan pemikirannya tidak pernah digubris oleh penguasa. Padahal tokoh-tokoh buruh seperti Jumhur Hidayat, Said Iqbal, dan lain-lain telah memiliki konsep, teori dan sudah membuat buku yang setara dengan garis besar haluan negara. Sayangnya penguasa tidak mau melihat hal itu.

Selain menjadi gudangnya pahlawan produktivitas, organisasi buruh mesti memiliki langkah-langkah besar, cerdas dan inovatif. Buruh bukan identik lagi dengan sosok proletariat yang mengedepankan otot dan dengkul. Saatnya buruh mengasah akal budi dan kecerdasannya, sehingga tercipta nilai tambah (added values) yang tinggi pada diri dan organisasinya. (AM)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image