Implementasi DSN-MUI Mengenai Murabahah dalam Teori Waad
Eduaksi | 2023-01-08 20:48:30Apa yang terlintas dalam pikiran jika mendengar kata wa’ad? Tentu asing bukan bagi kita, bahkan segelintir orang beranggapan bahwa wa’ad itu sama dengan akad. Namun pada kenyataanya justru berbeda. Secara pengertian Wa’ad merupakan Keinginan yang dibahasakan seseorang untuk bertanggungjawab akan sesuatu dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain. Sedangkan penjelasan mengenai akad yaitu Kesepakatan perkataan atau keinginan positif dari salah seorang pihak (yang terlibat) kontrak dan diterima oleh pihak lainnya – yang berpengaruh pada subjek kontrak sehingga (menjadikannya) permulaan berlakunya suatu perbuatan. Mungkin dari Sebagian orang masih sama antara pengertian wa’ad dan akad. Jika dijelaskan secara rinci maka terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
· WA,AD (PROMISES)
1. Janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak) - one way 2. Pihak yang diberikan janji tidak memikul kewajiban apapun kepada pihak pemberi janji
3. Terms atau condition-nya tidak welldefined; atau
4. Belum ada kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms dan conditionnya sudah well defined
5. Bila janji tak terpenuhi maka sanksi yang diterima merupakan sanksi moral
· AKAD (CONTRACTS)
1. Mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu
2. Terms dan conditionnya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well defined)
3. Bila kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sanksi yang diterima sesuai dengan kesepakatan awal kontrak.
Pada pembahasan kali ini kita akan lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai teori wa’ad. Menurut Fathurrahman Djamil, mayoritas ulama berpendapat bahwa janji (wa‟ad) hanya mengikat secara moral/agama (morally binding/mulzimun diniyah) dan tidak mengikat secara hukum. Meskipun demikian, dari pandangan ahli hukum Islam di atas, ada yang berpendapat bahwa janji (wa‟ad) ini tidak hanya mengikat secara moral akan tetapi mengikat pula secaran hukum (legally binding/mulzimun qadha‟an) (Fathurrahman Djamil, 2012:3). Wa‟ad dapat dinilai mengikat secara hukum apabila dalam wa‟ad tersebut dikaitkan dengan suatu sebab atau adanya pemenuhan suatu kewajiban, baik sebab itu disebutkan dalam pernyataan wa‟ad atau tidak disebutkan. Pendapat terakhir didasarkan pada Q.S as-Shafat 2-3 dan hadis tentang tanda-tanda orang munafik, yang salah satunya apabila berjanji dia mengingkari janjinya. Pada hadis tersebut kata berjanji/janji merupakan terjemahan dari wa‟ad. Pendapat pertama dipegang oleh mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali, sedangkan yang kedua dipegang oleh mazhab Maliki (Fathrrahman Djamil, 2012: 3).
Terdapat fatwa khusus yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang berkaitan dengan wa‟ad atau janji yakni, Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN- MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah. DSN-MUI menetapkan Fatwa Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah yang substansinya menetapkan bahwa janji (wa‟d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa‟id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
b. Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau 'ud (wa 'd bersyarat);
c. Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
d. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
e. Mau 'ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.
Lalu apa implementasi wa’ad dalam akad murabahah? Sebelumnya secara pengertian murabahah yaitu jual-beli dengan dasar adanya infoemasi dari pihak penjual terkait dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan (Panji Adam, 2017, 19). Janji yang berkaitan dengan jual-beli murâbahah, antara lain dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000.
Substansi DSN-MUI Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murâbahah adalah sebagai berikut:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank;
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang;
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dannasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrakjual beli;
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan;
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut;
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah;
7. Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
· jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga;
· jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Nah, seperti itu penjelasan tentang murabahah dalam konsep teori wa’ad. Impelemntasinya pun dijelaskan berdasarkan prinsip syariah dan menyesuaikan dengan perbankan syariah. Sekarang kita tau bahwa wa’ad dan akad berbeda. Cukup sekian penjelasan kali ini semoga jadi ladang ilmu bagi kita semua.
Profil Singkat Penulis :
NAMA : CANDRA MEIDIANSYAH GUMILAR
JURUSAN : AKUNTANSI ( FAKULTAS EKONOMI )
KAMPUS : UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.