Awas, Kedaulatan Benih Lokal Terinjak
Bisnis | 2023-01-08 13:47:02RETIZEN.REPUBLIKA.CO.ID, Ekosistem industri perbenihan Indonesia dalam kondisi tidak sehat akibat eksistensi Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kini menjadi Perppu. Pro dan kontra yang timbul terkait sektor perbenihan akibat UU Cipta Kerja perlu dicarikan solusi jalan tengah .
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) merasa keberatan dan menilai pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja menyimpan banyak masalah. Pasal terkait perbenihan bisa menyebabkan terinjaknya varietas benih lokal oleh oligarki bisnis yang dikendalikan oleh asing.
Menurut IPPHTI, eleminasi Pasal 63 UU 13/2010 tentang Hortikultura dalam Pasal 30 UU Cipta Kerja membuat tidak ada lagi aturan yang mewajibkan izin pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia.
Tersingkirnya Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) dalam UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang mengatur tentang syarat permohonan perlindungan varietas tanaman menyebabkan varietas transgenik dari luar negeri lebih mudah didaftarkan dan diedarkan. Kondisi demikian dapat mengancam varietas lokal yang dibudidayakan oleh petani lokal.
Nasib petani lokal pemulia benih hingga kini masih terjajah. Banyak kasus yang menyedihkan, seperti kasus penangkapan 14 petani pemulia benih di Kediri. Dan penangkapan Munirwan, petani kecil pemulia benih padi sekaligus Kepala Desa (Gampoeng) Meunasah Reyeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Adalah contoh nyata lemahnya kedaulatan benih petani lokal. Kebijakan pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan petani kecil pemulia benih masih kurang.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Benih Petani, bahwa saat ini sebagian besar petani dan pertanian kita tergantung terhadap benih-benih dari luar. Tidak banyak petani yang masih melakukan pemuliaan dan menyimpan benih-benih mereka, untuk mereka pergunakan dalam kegiatan pertanian. Sistem pertanian yang tergantung terhadap input luar yang besar, dimana petani harus selalu membeli benih setiap hendak menanam, menyebabkan kegiatan pertanian berbiaya tinggi, sementara hasilnya juga belum memenuhi kebutuhan pangan yang dijanjikan.
Koalisi mengungkapkan sangat tingginya belanja benih setiap tahunnya. Berdasarkan luas tanaman pangan yang ditanam oleh padi sawah dan ladang, seluas 15.494.512 hektar, maka total kebutuhan benihnya sebesar 464.835 ton per tahun. Atau total belanja petani terhadap benih padi mencapai 6.97 triliun per tahun, untuk benih jagung Rp 9.4 triliun per tahun, kedelai Rp 306.17 miliar per tahun, bawang merah Rp 13.29 triliun per tahun, cabe rawit merah Rp 42.19 miliar per tahun.
Ini menunjukkan, petani hanya dimanfaatkan sebagai obyek dalam perdagangan benih. Petani tak lagi mampu menyediakan benih secara mandiri, dijadikan bergantung dan tidak lagi berdaulat atas benih mereka.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan mestinya tidak ada pertentangan sengit terkait dengan pengadaan benih. Investor dituntut agar melakukan alih teknologi perbenihan tanpa merugikan kekayaan alam asli Indonesia.
Hingga kini penggunaan benih unggul bersertifikat masih dibawah 50 persen. Idealnya sektor tanaman pangan menerapkan benih bersertifikat lebih dari 75 persen. Menurut Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) tantangan industri perbenihan saat ini adalah penyediaan benih tepat varietas, mutu, jumlah, dan waktu. Penggunaan benih unggul secara bebas dengan mutu yang baik dapat memotivasi petani dan memberikan peluang industri benih untuk meningkatkan investasi.
Implementasi Perppu Cipta Kerja lewat peraturan pemerintah diharapkan memberikan insentif kepada industri perbenihan lokal. Sehingga perusahaan benih modal dalam negeri mempunyai kemampuan membangun kemandirian benih lokal.
Peraturan perundangan harusnya berpihak kepada kemajuan industri benih dan petani lokal. Indikator kemajuan industri perbenihan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu jumlah varietas yang dihasilkan, jumlah produksi benih, serta luas penyebaran varietas.
Terkait jumlah varietas yang dihasilkan, sampai dengan tahun 2019 jumlah varietas yang dilepas sebanyak 1.672 varietas dengan komoditas antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorghum, gandum, dan talas.
Untuk jumlah produksi benih padi bersertifikat, sampai dengan tahun 2019 sebanyak 210.561 ton dengan kebutuhan potensial sebanyak 383.348 ton, ini artinya pemenuhan benih tersebut mencapai 54,93 persen.
Peningkatan produksi pertanian salah satunya banyak ditopang oleh pemilihan benih unggul. Benih unggul diperoleh dengan pemuliaan, dan yang terbaru adalah rekayasa genetik.
Penerapan bioteknologi dengan teknik rekayasa genetik dalam pemanfaatan sumber daya genetik tanaman memiliki peluang besar untuk menunjang produksi pertanian dan ketahanan pangan. Penggunaan teknologi ini memberikan manfaat antara lain untuk perbaikan sifat tanaman.
Teknik rekayasa genetik dapat digunakan sebagai mitra dan pelengkap teknik pemuliaan tanaman yang sudah mapan dan telah berhasil digunakan selama bertahun-tahun. Kehadiran teknologi rekayasa genetik memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas.
Teknologi rekayasa genetik telah diaplikasikan dalam perbaikan sifat tanaman dan memperoleh hasil nyata, yaitu tanaman produk rekayasa genetik (PRG) yang selama ini dikenal sebagai tanaman transgenik.
Menurut Asian Development Bank (ADB), investasi pertanian di Indonesia kebanyakan berasal dari kelompok petani sendiri, sementara nilai investasi swasta masih rendah. Total investasi asing kurang dari satu persen dari total investasi swasta yang dikucurkan untuk pertanian.
Akibat semakin terbukanya Indonesia terhadap investasi dan sarana luar negeri, sektor pertanian mestinya bisa mendorong produktivitas dan efisiensi. UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura di Pasal 33 selama ini dinilai oleh kalangan industri membatasi penggunaan sarana hortikultura dari luar negeri dan mensyaratkan keharusan untuk mengutamakan sarana yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.
Pasal 100 di Undang-Undang yang sama pun membatasi penanaman modal asing hanya untuk usaha besar hortikultura dengan jumlah modal paling besar 30 persen. Penanam modal asing juga wajib menempatkan dana di bank dalam negeri sebesar kepemilikan modalnya.
Dalam UU Cipta Kerja, peraturan-peraturan ini diganti dengan peraturan yang menggelar karpet merah pihak asing. Pasal 34 UU Cipta Kerja merevisi Undang Undang Hortikultura pasal 33 untuk mengundang sarana hortikultura dari dalam dan/atau luar negeri.
Selama ini distribusi benih sangatlah dibatasi, sehingga petani seringkali kesusahan mengakses benih yang bermutu. Pasal 63 dalam UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura membatasi pemasukan benih hanya ketika benih tersebut tidak dapat diproduksi dalam negeri atau jika kebutuhan dalam negeri belum tercukupi dan itu harus melalui proses perizinan yang ketat. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.