Reposisi Lembaga Pendidikan Sebagai Scolae, Paideia, dan Almamater
Pendidikan dan Literasi | Tuesday, 03 Jan 2023, 10:38 WIBRepublika.id, 03 Januari 2023, 06:00 WIB memuat berita dengan judul Kekerasan Seksual Masih Menghantui Sekolah. Dalam berita tersebut diungkapkan, kekerasan seksual merupakan salah satu dari tiga “dosa besar” dunia pendidikan pada saat ini setelah dua dosa besar lainnya yakni perundungan dan intoleransi.
Khusus untuk kekerasan seksual, kasusnya menyebar hampir di semua jenis lembaga pendidikan. Mirisnya, 73,68 persen dari pelaku dengan berbagai modusnya adalah pendidik, baik guru, guru ngaji, maupun dosen. Kondisi ini sangat meprihatinkan, lembaga pendidikan sebagai tempat sakral yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai moral, spiritual, dan pembinaan rasa yang sarat nilai-nilai kemanusiaan malah dikotori dengan perilaku kebinatangan yang hanya mengikuti keinginan hawa nafsu.
Secara filosofis, lembaga pendidikan, sekolah, pondok pesantren, dan perguruan tinggi, sejatinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi peserta didik. Namun kini, malah menjadi tempat yang “mengerikan”. Ragam kekerasan yang diterima di lembaga pendidikan menjadi kengerian bagi peserta didik dan orang tua setelah “kengerian” mahalnya biaya pendidikan.
Scolae sebagai cikal bakal sekolah, pada mulanya merupakan kebisaaan orang Yunani Kuno. Kegiatan ini bermakna mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dan menyenangkan. Dalam kegiatan ini, para peserta bisa riang gembira, bermain sambil belajar bermasyarakat, tanpa ada beban harus memperoleh nilai angka yang baik.
Bagi mereka memperoleh dan menggali prinsi-prinsip pengetahuan yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan nyata jauh lebih penting daripada pengetahuan itu sendiri. Filosofi dasar yang mereka pegang adalah non scolae sed vitae discismus. Belajar bukan hanya demi ilmu pengetahuan semata, melainkan demi kehidupan nyata.
Dari hari ke hari peserta scolae semakin banyak. Untuk mengefektifkan kegiatannya, para tokoh pendidikan Yunani Kuno menyusun teknik pengajaran yang terkenal dengan istilah paideia yang bermakna pendidikan sebagai upaya menyelaraskan jiwa dan raga, bukan sekadar mengasah kecerdasan otak. Paideia sendiri merupakan cikal bakal pedagogik.
Seiring perjalanan waktu, prinsip paideia semakin berkembang. Pada masa-masa berikutnya berkembanglah prinsip scolae matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) dan scolae in loco parentis (lembaga pengasuh anak, di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu). Kemudian scolae mendapat sebutan almamater (ibu asuh yang memberikan ilmu dan kasih sayang).
Kini hampir semua lembaga pendidikan dunia mengadopsi sistem dan prinsip scolae. Di negara kita scolae bertransformasi menjadi sekolah dengan berbagai atribut dan ciri khasnya.
Idealnya setiap lembaga pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip scolae, benar-benar menjadi scola matterna, scola in loco parentis, dan almamater. Peserta didik mendapatkan kesenangan, pengetahun, dan perlindungan seraya dapat menempa jiwa dan mengolah rasa.
Kasus seperti yang ditulis dalam republika.id meskipun hanya dilakukan oknum pendidik, harus segera dienyahkan dari lembaga pendidikan, sehingga lembaga pendidikan tidak menjadi tempat yang “mengkhawatirkan”. Selain itu, kurikulum yang terus berubah dari waktu ke waktu seolah-olah tanpa melihat situasi dan kondisi real menjadi kekhawatiran tambahan bagi dunia pendidikan.
Para pengambil kebijakan pendidikan sering memaksakan penerapan ide kebijakan pendidikan tanpa melihat situasi, kondisi nyata, dan fasilitas yang dimiliki setiap lembaga pendidikan, terutama pendidikan di daerah. Para pengambil kebijakan pendidikan di negara kita, seolah-olah hanya membuat kebijakan sebagai bukti bahwa mereka telah bekerja dan berpikir untuk memperbaharui tata cara kelola dan penyelenggaraan pendidikan.
Adapun lembaga pendidikan mampu melaksanakannya atau tidak, itu urusan lain. Contoh nyatanya implementasi “kurikulum merdeka” yang sampai saat ini masih terkatung-katung dan membingungkan, padahal kurikulum ini digadang-gadang lebih baik daripada “kurikulum terjajah” yang telah ditetapkan para pengambil kebijakan pendidikan sebelumnya.
Dalam target kejaran output dan outcome dari dunia pendidikan kita sudah begitu bagus, yakni melahirkan sumber daya manusia yang cerdas, terampil, dan bertakwa yang berarti pula memiliki keseimbangan dalam capaian nilai kognitif, afektif, dan psikomotorik, namun dalam kenyataannya capaian aspek kognitif masih mendapat porsi terbesar dalam penilaian. Padahal aspek terbesar yang akan menjadikan kehidupan seseorang berkualitas adalah aspek afektif dan psikomotorik yang merupakan aspek pembentuk karakter.
Kiranya kita patut bertindak bijak, ketidakpastian kurikulum, kurangnya pembinaan terhadap pendidik, serta masih adanya oknum pendidik yang bermoral rendah akan berpengaruh terhadap output dan outcome suatu lembaga pendidikan. Bukankah kita sudah lama mengenal peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari?”
Mohammad Hatta, wakil Presiden RI pertama pernah mengatakan, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki”. Makna dari pernyataan ini, jika nilai kognitif seseorang rendah, kurang terampil dan berpengetahuan, sangatlah gampang untuk dididik dan kembali diberi pengajaran, namun jika sisi afektif dan psikomotoriknya rendah, berkarakter jelek, akan sulit diperbaiki.
Sejatinya semua pihak melakukan reposisi dunia pendidikan kita. Para penyelenggara pendidikan harus benar-benar kembali membantu menggali potensi dan minat peserta didik, menanamkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, dan menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana melatih kehidupan agar benar-benar hidup.
Dalam hal mengikuti suatu pendidikan, sangat layak kita renungkan kata-kata bijak dari Lucius Annaeus Seneca (4 SM - 65 M), yang mengatakan “non scholae, sed vitae discimus”, kita belajar bukan untuk sekolah (hanya mengejar nilai atau selembar ijazah), tapi untuk mengisi kehidupan agar benar-benar hidup, yakni kehidupan yang diisi dengan aktivitas berpikir, berkarya, berkarakter baik, dan bermanfaat bagi sesama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.