Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

Pemuliaan Air

Edukasi | Sunday, 01 Jan 2023, 00:42 WIB

Hujan yang menjatuhkan air suci dan mensucikan justru kerap dibenci dan dicaci maki. Bahkan proses pembentukannya berusaha dimodifiaksi lalu dibuang lagi ke laut. Zat sumber kehidupan itu mestinya ditabung dan “diiwit-iwit” penggunaannya dengan teknik hidrologi yang ramah.

RETIZEN.REPUBLIKA.CO.ID, Resolusi rakyat semesta teramat penting pada 2023 adalah pertobatan nasional mengatasi gegar hidrologi. Negeri ini telah kehilangan ideologi, ilmu dan kearifat tentang air. Ideologi pemuliaan air dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara pandang positip segala sesuatu tentang air yang dibakukan dalam kaidah ilmu hidrologi. Di sekolah ilmu tentang hidrologi semakin melemah. Masyarakat cenderung sewenang wenang terhadap air dan siklusnya.

Keniscayaan bagi setiap insan negeri ini untuk menguatkan pendidikan terkait ilmu hidrologi. Berbarengan dengan itu perlu program reinventing untuk memajukan budaya yang menjaga dan merawat sungai, danau dan perairan laut.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa Pulau Jawa akan mengalami kelangkaan air absolut pada 2040 karena ketersediaannya kurang dari 500 meter kubik per kapita per tahun. Tak hanya Jawa, pulau-pulau kecil juga terancam krisis air bersih karena dampak perubahan iklim. Pulau Ternate bahkan diprediksi oleh peneliti Universitas Khairun akan langka air absolut pada 2030.

Setiap suku bangsa memiliki warisan budaya berbentuk kearifan lokal untuk menjaga mata air dan sungai sebagai ekosistem yang lestari. Kerajaan yang pernah eksis di Nusantara hampir semua memiliki ilmu pengetahuan dan budaya untuk menjaga dan mengelola sungai sebagai sumber kehidupan dan sarana irigasi pertanian. Ironisnya budaya tersebut kini semakin tertimbun oleh zaman.

Kini budaya dan ilmu pengetahuan terkait sungai harus dihidupkan lagi lewat lembaga pendidikan maupun inisiatif masyarakat. Dengan gerakan kebudayaan tersebut kepedulian dan kecintaan masyarakat akan sungai bisa tumbuh dan sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi problema pencemaran sungai dan kasus-kasus destruktif lainnya.

Pemahaman terhadap pemuliaan dan pemaknaan air memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang lampau. Contohnya bisa dilihat dari masyarakat Sunda yang memiliki budaya kearifan lokal terkait air. Sekitar abad ke 13, leluhur Sunda sudah menyusun ilmu Patanjala.

Patanjala merupakan kearifan lokal Sunda untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai. Patan artinya air dan jala adalah sungai atau wilayah yang harus dijaga karena merupakan kabuyutan (situs leluhur).

Narasi Paranjala tercantum dalam Naskah Amanat Galunggung atau disebut juga Kropak 632. Naskah ini ditulis pada abad ke 13 atau 15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno.

Kilometer Nol aliran Sungai Citarum, merupakan jejak Patanjala yang merupakan kearifan lokal Sunda untuk pemuliaan air. ( Foto Dony/Igbal - Mongabay )

Di wilayah Priangan, yang mana kondisi alamnya bergunung dan memiliki banyak aliran sungai, mengejawantah dalam bentuk seni budaya berupa irama degung. Lagu-lagu tradisional degung menggambarkan lingkungan budaya perairan sungai. Bagi masyarakat Sunda, mata air dalam kawasan tertentu disebut mata air Kabuyutan yang dikeramatkan.

Ironisnya budaya pengelolaan air irigasi kini sudah mulai sirna, seperti contoh budaya pengaturan air Subak di Bali yang mulai ditinggalkan, karena konversi lahan, atau pergeseran paradigma pembangunan.

Masalah sumber daya air sebenarnya mengkerucut pada satu hal yang mendasar. Yaitu suatu kondisi dimana penerapan ilmu hidrologi di negeri itu telah jatuh ke titik nadir.Teramat penting upaya untuk memahami lalu mengfungsikan kaedah hidrologi dalam menata perikehidupan negeri.

Istilah Hidrologi berasal dari akar kata bahasa Yunani Hydrologia, yang berarti ilmu air. Secara definitif merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh planet bumi. Termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Domain hidrologi meliputi hidrometeorologi, hidrologi air-permukaan, hidrogeologi, manajemen limbah dan kualitas air untuk kehidupan manusia. Aspek Hidrologi memiliki peran penting yang lebih lanjut bagi teknik lingkungan, kebijakan lingkungan beserta perencanaanya.

Teknik hidrologi sebenarnya sudah dikembangkan oleh kerajaan yang pernah hidup di tanah air. Hal itu terlihat dengan adanya situs kanalisasi dan bendungan kuno peninggalan raja Airlangga. Resiko terjadinya bencana alam akibat ketidakseimbangan ekosistem sudah terpikirkan oleh masyarakat Jawa kuno.

Untuk menanggulangi hal itu, Raja Airlangga memerintahkan pembangunan bendungan Wringin Sapta. Selain kemampuan dalam rancang bangun bendungan, nenek moyang kita juga telah memiliki budaya dan etika lingkungan yang berbuah kearifan tradisional.

Wilayah Indonesia dibelah oleh ribuan sungai. Ironisnya, wawasan ilmu pengetahuan dan cara pandang bangsa ini terhadap sungai justru kurang visioner, kurang ilmiah, bahkan boleh dibilang tidak berbudaya. Meskipun bangsa Indonesia memiliki ribuan sungai, namun ilmu pengetahuan tentang sungai belum berkembang semestinya.

Ilustrasi menumbuhkan budaya cinta sungai ( foto istimewa )

Kurikulum Ekohidrologi

Perlu pendekatan progresif berbasis pendidikan di sekolah untuk mengatasi persoalan air. Pendekatan ini menekankan kaidah Ekohidrologi. Bertujuan mencari solusi yang tidak hanya persoalan teknis, melainkan penyelesaian permasalahan secara luas melalui kebijakan sumber daya air yang berkelanjutan.

Solusi Ekohidrologi sebaiknya masuk dalam kurikulum pendidikan umum dan kurikulum utama pada sekolah kejuruan pengairan atau sekolah irigasi. Masalah sumber daya air tidak bisa ditangani lagi oleh lembaga swadaya atau lembaga adhoc.

Perlu menata kompetensi sumber daya air, dari tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Irigasi hingga perguruan tinggi. Selain itu perlu juga pengayaan kurikulum di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan materi yang terkait dengan air. Agar budaya pemuliaan air tumbuh pada anak-anak.

Pelajaran Geografi di sekolah jangan lagi sekedar menghafal nama-mana sungai, danau dan perairan laut. Tetapi materi pelajaran harusnya juga menyangkut tentang kondisi atau masalah terkini dari lingkungan alam tersebut.

Untuk mengatasi sumber daya air perlu penguatan pendidikan vokasi pengairan atau irigasi. Saatnya menata SMK Irigasi dengan kurikulum yang lebih relevan dengan persoalan masa depan sumber daya air. Selama ini SMK irigasi hanya terpaku pada persoalan irigasi untuk pertanian. Belum mencakup dalam aspek yang lebih luas terkait dengan metode ekohidrologi, keandalan bangunan air, teknologi kemasan air minum, hingga manajemen sumber daya air untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian berbasis otomatisasi dan komputasi.

Untuk mengatasi kerusakan sungai tidak bisa hanya dengan membangun infrastruktur fisik saja, seperti proyek normalisasi atau pelurusan aliran sungai. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan budaya cinta sungai.

limbah yang mencemari sungai, waduk dan bendungan kini menjadi masalah laten. Bahkan kondisi sungai-sungai di negeri ini dalam kondisi darurat limbah.Tingkat pencemaran limbah sudah pada taraf menggangu infrasrtuktur bendungan. Bahkan mutu air baku dari bendungan seperti di Bendungan Cirata dan Jatiluhur semakin menurun akibat limbah. Untuk mengatasi pencemaarn limbah perlu penegakan hukum dan pembentukan SDM di lapangan yang memiliki kompentensi terkait dengan sifat kimiawi air. SDM tersebut dihasilkan oleh SMK Irigasi dan SMK Kimia.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres ) Nomor 10 tahun 2017 tentang Dewan Sumber Daya Air. Dibentuk lembaga khusus yang menangani persoalan permasalahan air dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perpres diatas sebaiknya ditindaklanjuti dengan penguatan pendidikan vokasi terkait dengan sumber daya air.

Perpres juga harus bisa mendorong penerapan ilmu Ekohidrologi agar menjadi solusi pemecahan persoalan krisis sumber daya air. Solusi tersebut tidak cukup diserahkan kepada lembaga swadaya atau instansi yang dibentuk dengan status temporer. Semua persoalan air mestinya diselesaikan secara disiplin keilmuan dengan mencetak SDM pendukungnya secara berkelanjutan.

Ekohidrologi merupakan disiplin ilmu yang harus dikembangkan di negeri ini lewat jenjang pendidikan. Penguatan pendidikan vokasi terkait sumber daya air merupakan keharusan jika bangsa ini ingin terhindar dari krisis air yang serius dikemudian hari.

Ilustrasi mengubah perlakuan terhadap air yang eksploitatif menjadi bijak dan ramah lingkungan. ( foto istimewa )

Keilmuan Ekohidrologi tergolong dalam ekoteknologi, yakni penggabungan antara pengetahuan lingkungan dan teknologi. Disiplin ilmu diatas diharapkan mampu mengubah perlakuan terhadap air yang eksploitatif menjadi bijak dan ramah lingkungan.

Salah satu contoh metode penerapan ekohidrologi yang sudah dilakukan ialah pemanfaatan tumbuhan atau vegetasi untuk mengatasi masalah lingkungan. Contohnya pengembalian ekosistem Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat yang berdampak pada kualitas air Sungai Citarum. Dengan cara pemanfaatan tanaman seperti rumput atau eceng gondok yang ditanam secara terkendali di sepanjang aliran waduk. Hasilnya tingkat kebersihan air meningkat dan biaya pembersihan lebih murah.

Masalah koordinasi pengelolaan air selama ini terjadi tumpang tindih dan respon yang lambat terkait masalah distribusi dan kebutuhan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga. Hingga kini pengelolaan air belum efektif. Padahal laju peningkatan kebutuhan air mencapai 15 persen pertahun.

Problema banjir dan kekerignan sebenarnya mengkerucut pada satu hal yang mendasar. Yaitu suatu kondisi dimana aplikasi ilmu hidrologi di negeri ini telah jatuh ke titik nadir karena kekurangan SDM dan minimnya pembangunan infrastruktur pengairan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image