Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Ketika Manis Berakhir dengan Kepahitan

Gaya Hidup | 2022-12-28 10:28:29

KETIKA MANIS BERAKHIR DENGAN KEPAHITAN

Berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian – bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sebuah pepatah yang susunan kalimatnya mirip pantun ini barangkali sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masa kini. Faktanya, yang banyak terjadi saat ini adalah yang sebaliknya. Sebagian besar manusia lebih suka bersenang-senang terlebih dahulu, walau pada akhirnya harus merasakan sakit (penderitaan).

Mengapa bisa demikian?

Salah satu karakter orang Indonesia adalah tipe kuratif, bukan preventif. Mereka baru sadar pentingnya kesehatan ketika sedang mengalami sakit. Mereka baru memahami pentingnya manajemen keuangan keluarga ketika sedang memiliki masalah keuangan. Mereka baru menyadari manfaat beribadah ketika dirinya sedang dalam keadaan hampa dan gundah-gulana.

Beberapa contoh perilaku dan kebiasaan yang menurut kita terasa enak dan nikmat, namun bisa berakhir dengan rasa sakit dan penderitaan, di antaranya:

1. Makanan-minuman yang serba manis

Zaman sekarang banyak sekali restoran-restoran maupun outlet-outlet minuman yang menawarkan menu makanan atau minuman yang serba manis. Inilah yang paling banyak disukai oleh mayoritas dari kita, terutama anak-anak. Kalau masih dalam tingkat konsumsi yang normal, barangkali tidak akan menimbulkan dampak yang serius. Namun, jika dikonsumsi terlalu sering atau bahkan berlebihan, tentu akan membawa akibat yang buruk bagi kesehatan. Apalagi rasa manis yang terdapat dalam makanan, terutama dalam minuman, kebanyakan berasal dari bahan pemanis buatan.

Makan atau minum yang serba manis memang terasa enak, nikmat, dan bahkan ketagihan. Terlebih bagi anak-anak, ketika sudah terbiasa jajan di luar, mereka akan sulit sekali mau makan di rumah. Jajanan di luar memang benar-benar menggoda. Berbagai menu baru dan varian-nya membuat kita selalu ingin mencobanya. Belum lagi menu-menu yang berasal dari daerah lain maupun dari luar negeri.

Anak-anak kita susah sekali disuruh makan di rumah. Padahal makanan di rumah lengkap dan bergizi, juga terjamin kesehatannya karena dimasak sendiri. Akan tetapi, karena anak-anak sudah dibiasakan jajan di luar, apalagi rasanya serba enak dan manis, membuat mereka menjadi ketagihan.

2. Nongkrong dan hura-hura

Sebuah fenomena yang lagi digandrungi sebagian besar anak-anak kita yang masih sekolah maupun kuliah. Kelompok ini tidak terlalu fokus dalam belajar. Mereka menghabiskan waktunya di luar jam sekolah maupun jam kuliah hanya untuk nongkrong dan bersenang-senang. Bahkan mereka rela membolos demi menuruti kesenangan semu itu. Sejauh pengamatan saya selama ini, pada jam-jam pelajaran, banyak anak sekolah yang justeru nongkrong di café atau restoran. Atau melihat anak berseragam sekolah di mal atau di bioskop.

Masih mending jika orang tua mereka termasuk golongan mampu. Jika orang tua mereka termasuk golongan pas-pasan (menengah-bawah), tentu kasihan sekali bukan. Sehingga seringkali mereka menyalahgunakan uang SPP atau uang sekolah lainnya untuk jajan atau merokok. Bagi yang kuliah di perantauan, melakukan mark-up biaya kos dan biaya makan. Bahkan, ada yang sampai mencuri, menipu, atau melacur untuk mendapatkan uang. Semua itu mereka lakukan demi menuruti hawa nafsu kesenangan.

Padahal, mereka bisa memanfaatkan waktu luang untuk kursus, belajar keterampilan, atau melakukan kegiatan positif lainnya. Termasuk jika memiliki kelebihan uang saku, bisa dimanfaatkan untuk belajar berwirausaha, jualan online, atau investasi kecil-kecilan. Intinya melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan yang akan menunjang kehidupan kelak setelah lulus sekolah atau kuliah.

Sumber gambar: https://stylo.grid.id

*****

Sementara makanan atau minuman yang rasanya tidak enak (pahit) tentu banyak yang tidak suka. Padahal yang terasa pahit itu bisa jadi terasa manis di akhirnya. Masak iya sih?

Contohnya adalah minuman ramuan herbal (jamu). Secara umum, rasa jamu adalah tidak enak: pahit, getir, langu, atau semacamnya. Sehingga sebagian besar dari kita tidak suka jamu karena memang rasanya tidak enak. Mereka hanya mempertimbangkan perihal rasa semata, namun melupakan faedah atau manfaat yang akan diperoleh.

Saya beri contoh tanaman yang rasanya sangat pahit, yaitu brotowali dan sambiloto. Namun, di balik rasa pahitnya yang bak racun mematikan itu, terkandung manfaat yang luar biasa bagi kesehatan. Kedua tanaman itu biasanya dibuat jamu pahitan. Oleh perusahaan, agar lebih mudah dikonsumsi dan tidak terasa pahit, maka dibuatlah dalam bentuk kapsul, selayaknya obat-obatan kimia.

Apalagi tanaman herbal mudah sekali ditanam, apabila membeli juga harganya cukup murah. Tanaman herbal, terutama empon-empon biasanya bisa dicampurkan sebagai bumbu masakan, atau dicampur dengan bahan lain dibuat minuman segar. Biasanya untuk menarik pembeli, minuman herbal diberi gula atau madu agar terasa manis.

Epilog

Kebiasaan mengonsumsi makanan-minuman yang serba manis dalam jangka panjang akan membawa “kepahitan” berupa munculnya berbagai macam penyakit, seperti diabetes, kolesterol tinggi, gagal ginjal, gangguan sistem pencernaan, gangguan sistem urinasi, ekstra-obesitas, dan sebagainya. Sebaliknya, meminum jamu atau ramuan herbal lainnya yang terasa pahit akan mendatangkan “kemanisan”, yaitu badan menjadi lebih sehat.

Sedangkan perilaku dan kebiasaan “manis” anak-anak kita seperti nongkrong dan hura-hura, kelak setelah lulus sekolah atau kuliah akan membawa kepada kepahitan. Mereka tidak memiliki bekal yang cukup untuk memasuki kehidupan nyata atau dunia kerja. Ilmu dan wawasan yang kurang, keterampilan yang tidak mumpuni, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan tidak memiliki daya saing di tengah pasar kerja yang semakin kompetitif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image