Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Menelusuri Pemikiran Politik Imam al Mawardi, Sejatinya Imam Masjid itu Bagian dari Aparatur Negara

Agama | 2021-12-13 17:55:13

Imam al Mawardi bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al- Bashri, lahir di Basrah pada tahun 364 H. Ia merupakan seorang pakar fiqh bermazhab Syafi’i, ahli hadits, dan ahli politik. Ia mejalani kehidupannya di negara yang dipimpin Dinasti Abbasiyah.

Dari sisi jabatan kenegaraan, ia merupakan salah seorang pejabat tinggi pada masa detik-detik kemunduran pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Beberapa jabatan tinggi yang pernah ia emban diantaranya menjadi duta besar keliling pada masa pemerintahan Khalifah al-Qadir.

Tugas diplomatik yang ia emban pada waktu itu sangatlah berat, sebab ia harus meyakinkan negara-negara tetangga akan kelangsungan pemerintahan yang dipimpin Khalifah al-Qadir yang wibawa dan pengaruhnya mulai meredup. Jabatan tertinggi lainnya yang pernah ia sandang adalah hakim agung (Qadi al-Qudat) dan penasihat khalifah

Sebelum menjadi pakar fiqih dan mengemban beberapa jabatan kenegaraan, Imam al Mawardi yang dibesarkan orang tuanya yang pakar membuat air mawar (al Mawardi) menempuh berbagai pendidikan keilmuan di kota Basrah. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di kota Baghdad.

Menurut salah satu riwayat, ia memperdalam ilmu keislaman di lembaga pendidikan al Za’farani Baghdad. Di kota inilah ia mulai menuliskan berbagai gagasan dan pemikirannya melalui berbagai karya tulis.

Dari sekian banyak karyanya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling populer dan banyak dikaji baik di pondok pesantren maupun di lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi.

Kitab tersebut terdiri dari 20 Bab, 37 pasal ini merupakan kitab politik atau tata negara yang membahas berbagai bidang administrasi penyelenggaraan negara. Beberapa bidang kajiannya antara lain administrasi negara, pengangkatan kementerian, pembentukan pengadilan, pengangkatan hakim, perpajakan, pembentukan pemerintahan daerah, pengangkatan panglima perang, penentuan sanksi/hukum pidana dan perdata, penentuan amir al hajj (urusan ibadah haji/agama), pedoman pemilihan pemimpin, agraria (pertanahan), pengelolaan harta negara, dan beberapa masalah ketatanegaraan lainnya.

Satu hal yang menarik dari kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini adalah memasukkan jabatan imam /imam masjid sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Kedudukan imam masjid termasuk ke dalam jajaran pejabat negara. Bab ke-9 dari kitab ini dengan panjang lebar membahas kedudukan dan tatacara pengangkatan imam masjid yang meliputi imam masjid, imam shalat fardhu, imam shalat Jum’at, dan imam shalat ‘id.

Imam al Mawardi sangat menghargai eksistensi Imam Masjid. Ia memandangnya bukan lagi hal yang biasa, namun merupakan sesuatu yang istimewa. Jika dilihat dari struktural aparat kepemerintahan, imam masjid layak disebut sebagai suatu jabatan yang seharusnya mendapat penghargaan baik secara finansial maupun sosial. Secara finansial, seorang imam shalat berhak mendapatkan upah, sedangkan secara sosial, ia berhak mendapatkan penghormatan sebagai seorang pemimpin yang patut diikuti.

Dalam kitab tersebut posisi imam masjid terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni imam masjid negara dan imam masjid umum. Masjid negara merupakan masjid jami’ yang pengelolaannya dibawah pemerintah, sedangkan masjid umum adalah masjid yang dibangun masyarakat.

Untuk masjid negara, pemerintah yang diwakili lembaga yang berwenang berhak menunjuk seseorang untuk menjadi imam resmi. Jika suatu masjid jami’ telah memiliki imam resmi, tidak ada orang yang lebih berhak menjadi imam di masjid tersebut kecuali imam yang telah ditunjuk, meskipun ada orang yang lebih mulia dan lebih alim daripada imam yang telah ditunjuk.

Jika imam resmi berhalangan hadir, ia berhak menunjuk seorang imam pengganti yang kedudukannya setara dengan imam resmi. Jika imam resmi tidak menunjuk imam pengganti ketika ia berhalangan hadir, jamaah masjid berhak menunjuk seseorang menjadi imam shalat di masjid tersebut.

Sementara untuk masjid umum, orang yang berhak menentukan imam shalat adalah jamaah masjid tersebut. Seperti halnya imam di masjid negara, setelah seseorang disepakati jamaah untuk menjadi imam shalat, tidak ada yang berhak maju menjadi imam shalat kecuali orang tersebut.

Jika terjadi silang pendapat dalam pemilihan imam shalat di masjid umum, maka jamaah boleh melakukan pemilihan imam dengan cara voting. Orang yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang berhak menjadi imam shalat di masjid tersebut.

Jika dalam pemilihan imam, terdapat jumlah suara yang sama untuk masing-masing calon imam atau terjadi sengketa dalam pemilihannya, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diserahkan kepada pihak berwenang, yakni pemerintah atau lembaga yang mewakilinya untuk menjadi penengah dalam menentukan orang yang berhak menjadi imam. Penengah dapat menentukan orang yang berhak menjadi imam berdasarkan kriteria kompetensi yang harus dimiliki seorang imam, yakni lebih baik dalam bacaan al Qur’annya; lebih fasih dan lebih ahli dalam bidang fikih; dan lebih banyak faham terhadap sunnah Rasulullah saw.

Orang yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah mereka yang lebih baik dalam bacaan al Qur’annya. Jika terdapat kesamaan dalam kompetensi bacaan al Qur’an, bisa dipilih orang yang lebih faham terhadap sunnah. Jika terdapat kesamaan dalam kompetensi pemahaman terhadap sunnah, bisa dipilih orang yang pertama hijrah (yang pertama menjadi penduduk di sekitar lokasi masjid). Jika masih ada kesamaan dalam hal hijrah, bisa dipilih orang yang lebih dewasa. Dan janganlah seseorang menjadi imam bagi suatu kaum di dalam wilayah kekuasaan kaum tersebut kecuali dengan izinnya (H. R. Muslim).

Kehadiran Imam shalat nampak biasa dalam kehidupan kita, terutama ketika kita akan melaksanakan ibadah shalat berjamaah di masjid. Namun menurut Imam al Mawardi, dibalik pengangkatannya terdapat edukasi politik bagi jamaah masjid, lebih luasnya bagi umat. Jamaah diajarkan untuk dapat memilih dengan teliti calon imam yang akan menjadi pemimpin ketika shalat berjamaah.

Dalam pemilihan imam diajarkan tata krama dan tertib aturan ketika melangsungkan pemilihan imam, terlebih-lebih jika terjadi sengketa dalam penentuan imam yang terpilih. Menyelesaikan sengketa pemilihan dengan jalan musyawarah; meminta pihak berwenang untuk menjadi penengah jika masalah yang dihadapi tidak bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah merupakan edukasi politik berharga bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Persyaratan kompetensi pun harus benar-benar dipenuhi seseorang yang berminat menjadi imam shalat. Sementara setelah adanya keputusan imam yang terpilih, siapapun harus tunduk menjadi makmum. Tak boleh ada orang yang menggantinya secara paksa atau memaksakan diri menjadi imam sekalipun ia lebih baik dan lebih alim daripada imam yang terpilih. Jika memaksakan diri, apalagi tidak disetujui jamaah, bukan kebaikan yang akan didapat, malahan Allah tak akan menerima ibadah shalatnya.

Hadits Rasulullah saw menegaskan, diantara shalat seseorang yang tak akan diterima-Nya adalah orang yang memaksakan diri menjadi imam, padahal jamaah tak menghendaki atau menyetujuinya (Syaikh Nawawi Banten, Nashaih al ‘Ibad, hal. 70).

Ilustrasi : Jamaah Shalat Selama Pandemi Covid-19 (Sumber Gambar : Metropolitan.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image