Keluar dari Lingkungan Fomo Yuk!
Info Terkini | 2022-12-21 22:13:39Apa sih yang kalian ketahui tentang fomo? Merasa takut tertinggal? Melihat foto-foto cantik dan indah lalu ingin mengikuti seperti itu juga? Ya, itu adalah hal yang wajar karena banyak orang yang merasakan juga. Namun, orang-orang yang merasakan fomo mungkin akan lebih “cemas” karena melihat banyaknya orang di luar sana yang hidupnya jauh lebih menarik, sukses, menyenangkan, dan jujur saja lebih “Instagrammable” feed Instagramnya dibanding dengan diri mereka. Mau tahu kelanjutannya tentang Fomo ini? Teruslah membaca sampai akhir.
Phobia akan Tertinggal
Apakah kalian pernah merasa iri ketika melihat media sosial? Pasti pernah karena kalian merasa orang yang ada di media sosial lebih keren dan kalian berusaha untuk mengikuti apa yang orang-orang tersebut lakukan, fenomena inilah yang di sebut fomo. Fenomena ini muncul karena adanya rasa takut diremehkan oleh orang-orang sekitar karena ketinggalan trend yang sedang populer di media sosial. Menurut Przybylsky (2013) Fear Of Missing Out atau yang disingkat fomo Ini merupakan sindrom kecemasan sosial yang ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain. Fomo juga berbahaya loh, menurut saya ini bisa membuat kita menjadi budak sosial media karena membuat kita terus-terusan menunggu topik hangat apalagi yang akan menjadi trend, setelah trend keluar munculah rasa iri sama orang, merasa tertekan karena keadaan sekitar yang lebih eksis, merasa minder karena yang lain lebih keren sedangkan kita tidak, dan hal inilah yang dapat membuat kita mengalami gangguan kecemasan hingga depresi tanpa kalian sadari.
Alur maju Phobia
Sekarang kita bakal mengulik awal mula adanya "Fomo", fenomena fomo dipopulerkan oleh Patrick J. McGinnis pada 2004 saat dia menerbitkan artikelnya yang berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two Fos” di koran mahasiswa Havard Business School (HBS). Patrick beranggapan kalau manusia berada di dalam fase Dotcom Bubble, apasih Doctom Bubble itu? Ini adalah masa saat teknologi dan internet lagi berkembang. Ditambah munculnya Friendster, social media yang hits pada saat itu mungkin seperti Instagram ataupun Tiktok pada saat ini. Menurut Patrick adanya media sosial tersebut itulah yang mempengaruhi manusia untuk live to the fullest alias gamau kehilangan momen apa pun.
Kepayahan Social Media
Di sini saya tidak akan menjelaskan apa itu social media, tetapi kepayahannya terhadap fomo. Di atas saya juga sudah menulis bahwa kita bisa menjadi budak media sosial, lalu mengapa social media payah untuk orang yang mengalami fomo? Karena dapat menyebabkan orang merasa kurang update. Orang yang biasanya aktif di social media seperti kalian, pasti selalu ngeliat status orang-orang kan? Jujur, kalian pasti suka merasa resah sendiri terus menggumam “Ih lagi ngetrend ya, orang-orang pada buat dance ini, ikutan ah biar keren”. Rasa resah karena takut ketinggalan trend itu yang bisa membuat kalian cemas secara berlebih. Dampaknya kalian bisa secara ga langsung mikir apakah kalian kurang gaul, kurang update, dan segala macam seperti yang saya jelaskan diparagraf atas, hasilnya jadi insecure sendiri. Payah banget emang “social media”, seperti tidak ada kerjaan lain saja emang nih, seharusnya bisa membuat orang-orang jadi damai tanpa perlu ngerasain fomo.
Tips Kabur dari Phobia
Jadi apakah Fomo berbahaya? Tentu saja dong, apalagi bisa buat seseorang selalu mencari validasi lewat unggahan di Social Media. Bagimana sih cara ngatasinnya?? Cek tips di bawah ini:
• Kurangin main social media
• Fokus dengan hobi.
• Banyak bersyukur atas aktivitas yang masih bisa kalian lakukan sekarang.
• Lebih mendahului apa yang kamu bisa saat ini.
• Ngobrol dengan teman yang bisa menjadi support system kalian.
Dari bacaan di atas kita menjadi tahu apa itu fomo, dampak seperti apa yang dapat terjadi apabila kita terus-terusan fomo. Dari hal ini saja kita bisa melihat orang yang mengalami fomo akan kesulitan menentukan hidupnya sendiri, padahal sikap fomo yang dimiliki seseorang belum tentu mencerminkan jati diri orang tersebut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.