Hisab dan Rukyat dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah
Agama | 2022-12-21 10:11:28Hisab dan Rukyat merupakan metode dalam menentukan awal bulan Kamariyah. Namun dalam kacamata ilmu falak, hisab rukyat tidak hanya digunakan untuk menentukan awal bulan Kamariyah. Hisab dan Rukyat sendiri dapat digunakan untuk menentukan awal waktu salat dengan mengamati posisi semu harian Matahari, arah kiblat, dan menentukan kapan terjadinya gerhana.
Dalam fokus menentukan awal bulan Kamariyah, hisab digunakan untuk menghitung pergerakan benda-benda langit, khususnya Bulan untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Dengan pertimbangan data tempat dan objek yang sedemikian rupa, hisab dapat digunakan untuk memperkirakan dan menetapkan awal bulan yang diinginkan jauh sebelumnya dan tidak bergantung kepada apakah hilal terlihat menjelang awal bulan. Sedangkan rukyat adalah metode melihat objek langit yang dalam hal ini adalah hilal menjelang awal bulan, dengan mata kepala sendiri secara langsung di lapangan.
Hisab rukyat telah banyak dibahas baik dalam Al-Qur’an, maupun sunnah. Menurut Almanak Hisab Rukyat yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, dijelaskan ada lima belas ayat dalam Al-Qur’an dan Sembilan hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Kamariah.
Al-Qur’an memberi penekanan arti penting pengorganisasian waktu secara keseluruhan yang harus dicermati secara komprehensif. Akan tetapi, dalam beberapa ayat, Allah swt. tidak hanya memperingatkan arti penting pengorganisasian waktu saja, melainkan juga memberi petunjuk bagaimana melakukan pengorganisasian waktu tersebut dalam sebuah sistem kalender. Hal ini terbukti dari banyaknya lafadz hasiba yang mengindikasikan kepada perhitungan, jumlah, perkiraan, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat juga banyak kata syahr yang merujuk pada bulan dalam kalender, qamar atau hilal yang merujuk kepada Bulan dalam artian yang hakiki, mawaqit yang berarti waktu, dan manazil yang mengindikasikan kepada posisi Bulan ketika bergerak mengitari Bumi. Sedangkan dalam hadits Nabi yang berkaitan dengan hisab rukyat, terdapat lafadz ru’yatu yang berarti melihat Bulan untuk menentukan awal bulan kamariyah, serta uqduru lahu yang maksudnya ialah memperhitungkan. Bahkan, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Amr, Nabi saw. menerangkan secara eksplisit bahwa satu bulan Kamariyah terdiri dari 29 atau 30 hari.
Terjadinya dikotomi dalam penentuan awal bulan Kamariyah didasarkan kepada perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah. Perbedaan penafsiran ini, terjadi karena baik dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi, tidak dijelaskan secara spesifik mengenai metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Kamariyah.
Menurut perspektif Al-Qur’an, dijabarkan dalam surah At-Taubah ayat 36 bahwa ‘iddata syuhur atau jumlah bulan dalam satu tahun kalender adalah 12 bulan. Dalam Surah Yunus ayat 5, bulan-bulan pada kalender tersebut dapat dihitung dengan mengamati posisi atau manazil Bulan dari waktu ke waktu yang pada dasarnya bergerak mengelilingi Bumi. Perhitungan waktu ini digunakan sebagai patokan dalam melakukan ibadah syar’i, salah satu contohnya tertera pada surah Al-Baqarah ayat 189 pada lafadz hiya mawaqitu linnasi wa al-hajj yang berarti hilal merupakan penunjuk waktu dan awal haji. Dalam kitab Tafsir Jalalain karangan dua Imam besar yaitu Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi menerangkan bahwa surah Al-Baqarah ayat 189 mengandung maksud sebagai keterangan waktu akan datangnya suatu musim untuk bercocok tanam, panen, berdagang waktu ‘iddah perempuan, puasa dan berbuka puasa serta serta menentukan waktunya musim haji. Semuanya menunjukkan bahwa Hilal merupakan suatu bentuk dari keterangan waktu agar manusia mengetahui kapan datangnya waktu-waktu tersebut.
Secara perspektif sunnah, hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar secara eksplisit menerangkan bahwa ibadah yang berkaitan dengan bulan Kamariyah, dalam hal ini adalah puasa secara khusus, haji dan lain sebagainya secara umum, harus dimulai dan diakhiri berdasarkan penampakan hilal. Masalahnya, lafadz li ru’yatihi yang terdapat dalam hadits ini mengalami multitafsir. Sebagian kaum Muslim memahami kalimat itu sebagai melihat hilal secara langsung dengan mata kepala sendiri atau biasa disebut dengan ru’yah bil fi’li, sementara sebagian kaum Muslim yang lain memahami kalimat itu sebagai melihat hilal cukup dengan hitungan atau biasa dikenal sebagai ru’yah bil ‘ilmi. Hal inilah yang ditengarai menjadi awal terciptanya kubu hisab dan kubu rukyah. Sedangkan lafadz faqduru lahu juga menimbulkan penafsiran yang beragam dari para ulama. Sebagian ulama termasuk Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa lafadz ini memiliki arti “sempitkanlah dan kira-kirakanlah keberadaan bulan ada di bawah awan.” Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i, Abu Hanifah, beserta jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz tersebut mempunyai arti “kira-kirakanlah dengan menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [1]
Hemat penulis, baik Al-Qur’an maupun hadits tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai metode yang selayaknya digunakan dalam menentukan awal bulan Kamariyah. Mengingat fakta bahwa umat Muslim juga diwajibkan melakukan ijtihad, jadi merupakan hal yang wajar apabila terdapat penafsiran yang beragam berkaitan dengan masalah ini, asalkan tidak keluar dari koridor yang telah ditentukan dalam berijtihad. Namun, ada beberapa hal yang dijelaskan secara gamblang mengenai bulan Kamariyah, yaitu
1. Perhitungan terhadap bulan Kamariyah adalah suatu hal yang bersifat urgen, karena ibadah umat Muslim erat kaitannya dengan waktu seperti puasa Ramadan, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, serta pelaksanaan haji.
2. Jumlah bulan dalam satu tahun kalender Kamariyah adalah 12 bulan, dengan masing masing bulan berjumlah 29 hingga 30 hari.
3. Hilal merupakan objek inti dalam melakukan penentuan awal bulan Kamariyah, walaupun penafsiran tentang bagaimana cara mengetahui visibilitas hilal yang menjadi tanda awal masuk bulan baru dalam Kamariyah sendiri masih beragam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.