Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

Banjir Kalsel, Salah La Nina?

Politik | Monday, 13 Dec 2021, 08:35 WIB

Oleh Devi Malika Azzahra, S.P (Pemerhati masalah lingkungan dan perubahan iklim, Freelance writer)

Tagar #SaveMeratus sempat mengguncang dunia maya pada tahun 2018 lalu. Kala itu, Surat izin Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang dikeluarkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi isu terpanas. Bahkan para aktivis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) bersama warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas gugatannya kepada SK Menteri ESDM.

Menyelamatkan satu pegunungan harus menempuh jalan terjal dan usaha maksimal. Betapa susahnya menjaga alam di sistem serba kapitalistik.

Upaya itu tidaklah berlebihan mengingat pentingnya pegunungan Meratus bagi Kalimantan Selatan sebagai bagian dari paru-paru dunia. Apabila paru-paru itu telah bocor maka masyarakatlah yang paling utama terkena dampaknya, seperti bencana banjir yang tengah melanda Kalimantan Selatan dalam kurun lebih dari lima pekan ini. Bukan hanya di Kalsel, banjir juga bahkan menyebar di sejumlah titik di Kalbar dan Kalteng.

Mengutip apahabar.com (09/12/21), di Kalsel sendiri banjir akhir tahun kali ini sudah berdampak terhadap 20.526 kepala keluarga/ 58.573 jiwa. Satu diantaranya meninggal dunia.

BPBD Kalsel melaporkan banjir dan longsor terjadi di 6 kabupaten, yakni Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan, Tabalong, dan Banjar. Taruna Siaga Bencana (Tagana) Provinsi Kalsel meminta masyarakat tetap waspada, mengingat perkiraan BMKG puncak banjir akan terjadi pada Maret 2022.

Belum sembuh luka di awal tahun akibat bencana banjir hebat yang melanda Kalsel kini bencana tersebut kembali terulang. Pada Januari 2021 saja PBD Kalsel mencatat ada 256.516 jiwa dari 11 kabupaten terdampak. Taksir kerugian mencapai Rp. 1,127 triliun, Rp. 858 miliar akibat kerusakan infrastruktur dan Rp. 296 miliar kerugian materil. Nilai kerugian ini setara dengan sepertiga pendapatan asli daerah Kalsel 2019, habis dalam sepekan.

Jika dulu curah hujan yang tinggi disebut-sebut menjadi biang keroknya, kali ini La Nina disebut-sebut menjadi penyebabnya. Masih berkaitan, dimana fenomena La Nina inilah yang mendorong pembentukan awan berlebih sehingga meningkatkan curah hujan yang cukup signifikan. Tanpa menyentuh akar masalah, fenomena alam masih saja disalahkan.

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar; air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar.

Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Karena itu dalam bencana banjir, tidaklah bijak jika malah menjadikan La Nina yang menyebabkan curah hujan sebagai kambing hitam.

Banjir yang terus melanda Kalimantan Selatan ditengarai terjadi karena masifnya aktivitas pertambangan di area tangkapan air Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Kegiatan tambang marak di hulu dan badan DAS Barito lantaran kawasan tersebut memiliki cadangan batu bara melimpah. Sebanyak 98% izin tambang berada di daerah aliran sungai Barito (koran.tempo.co/21/01/21).

Banyaknya izin yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat kondisi di DAS berubah fungsi, tak lagi sebagai kawasan resapan air. Berdasarkan catatan Auriga Nusantara luas lahan di Kalsel yang telah beralih fungsi menjadi area pertambangan ialah sebesar 506.469 hektar, dimana 486.642 hektarnya berada di wilayah DAS Barito.

Kepala Pusat Pemanfaatan Pengindraan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare. Sebaliknya, kata Rokhis, area perkebunan meluas cukup signifikan 219.000 hektare. (lapan.go.id, 18/1/2021)

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.

Kisworo menjelaskan, tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah cukup rusak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Hal ini didukung data laporan 2020 yang mencatat, terdapat 814 lubang tambang di Provinsi Kalsel milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi. Belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah (Lokadata.id, 19/1/2021).

Kapitalisme telah menggeser peran negara sebagai pengelola kekayaan alam yang milik rakyat menjadi sekedar regulator pengelolaan kekayaan alam. Negara bukan lagi satu-satunya pengelola kekayaan milik rakyat karena swasta pun diizinkan untuk mengelolanya. Bahkan, sebagai regulator negara tak memiliki independensi dalam menyusun aturan. Ini dibuktikan dengan keberadaan undang-undang yang pembuatannya diintervensi oleh asing dan kepentingan kalangan kapitalis misalkan saja UU Minerba atau Omnibus Law yang pro terhadap para kapitalis. Sistem kapitalis menjalankan konsep kebebasan kepemilikan dalam ekonominya. Konsep ini membebaskan manusia bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun tanpa melihat halal dan haram.

Pembangunan kapitalistik yang menonjol dalam pengelolaan lingkungan di sejumlah daerah di Kalsel ini telah berdampak pada deforestasi dan alih fungsi lahan. Padahal, begitu banyak penelitian dan diskusi ilmiah tentang aspek hidrologi, kehutanan, dan pentingnya konservasi dan tata ruang wilayah yang secara jelas menunjukkan bahwa pembangunan mutlak harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan, dan lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan. Jika tidak, meniscayakan terjadinya bahaya banjir dan tanah longsor mematikan.

Sayangnya, penguasa yang telah didikte para korporasi telah mengorbankan prinsip tata kelola lingkungan termasuk menyia-nyiakan hasil kajian ilmiah dan diskusi para intelektual untuk mewujudkan kelestarian lingkungan.

Selayaknya dalam pengelolaan lingkungan negara mencegah tata kelola lingkungan yang lahir dari kerakusan dan sifat konsumerisme manusia. Hutan harus didudukkan sebagai harta milik umum. Sebab, faktanya hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang.

Sehingga, negara tidak dibenarkan memberikan hak pemanfaatan istimewa berupa hak konsesi dan lainnya kepada individu ataupun perusahaan, baik untuk pembukaan tambang, perkebunan sawit, dan lain sebagainya yang mengancam kelestarian lingkungan.

Maka jelas, negara adalah pihak yang berwenang dan bertanggung jawab langsung lagi sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, menjauhkannya dari aspek eksploitatif dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Harus disadari pula, pengelolaan lingkungan yang kapitalistik dan liberal adalah masalah utama bencana lingkungan di Kalsel, juga negeri ini pada umumnya.

Islam datang untuk memberi rahmat bagi alam. Rahmat itu tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunah. Islam mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Solusi yang ditawarkan meliputi hulu hingga hilir, integral, dan komprehensif. Menempatkan manusia sebagai sentral keseimbangan alam.

Islam mengatur kepemilikan harta. Yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dengan klasifikasi kepemilikan harta, negara tidak akan serampangan menetapkan kebijakan sesuai kepentingannya. Hutan dan keanekaragaman hayati misalnya, tidak boleh dikuasakan pada individu atau swasta. Sebab hutan merupakan harta milik umum. Negara mengelolanya hanya untuk memenuhi hajat hidup masyarakat.

Negara juga akan memetakan, mengkaji, dan menyesuaikan pembangunan infrastruktur dengan topografi dan karakter alam di wilayah tersebut. Negara akan memetakan wilayah mana yang pas untuk eksplorasi tambang, pertanian, dan perkebunan tanpa mengabaikan Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di dalamnya. Sebab, kekayaan alam ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan diperjualbelikan sebagaimana pandangan kapitalis.

https://apahabar.com/2021/12/banjir-kalsel-akhir-tahun-puluhan-ribu-jiwa-terdampak-satu-orang-jadi-korban/

https://koran.tempo.co/read/berita-utama/461725/marak-eksploitasi-di-das-barito-kalimantan-selatan

https://www.lapan.go.id/post/6829/banjir-di-kalsel-berkurangnya-area-hutan-primer-dan-sekunder-picu-banjir-terbesar-di-provinsi-itu

https://lokadata.id/artikel/banjir-di-kalsel-antara-degradasi-hutan-dan-curah-hujan-tinggi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image