Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sintya Amanda

Proses Afiksasi dalam Cerpen Jemari Kiri Karya Djenar Maesa Ayu

Sastra | Wednesday, 14 Dec 2022, 10:12 WIB
sumber gambar: https://www.istockphoto.com/id/foto (sebagai ilustrasi cerita)

"Nayla kembali menatap cincin di jari manisnya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu tetap cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya", (kutipan cerpen paragraf 16).

Cerpen dengan judul “Jemari Kiri” karya Djenar Maesa Ayu menceritakan kisah perempuan yang gagal dalam memupuk keharmonisan berumah tangga namun hanyut dalam belenggu perkawinan. Cerpen tersebut menggambarkan karakter perempuan bernama Nayla yang nyaris putus asa dan tak berdaya menjalani hidupnya.

Dalam dunia fiksi maupun nyata perempuan sering menjadi objek perbincangan sosial, baik dalam bentuk karya sastra, kaya ilmiah maupun bentuk lainnya. Sehingga, dalam Cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu pengarang menghadirkan proses pembentukan kata atau afiksasi dalam menuangkan karyanya.

Afiksasi merupakan proses pembentukan kata dengan cara penambahan morfem afiks atau imbuhan pada sebuah dasar atau suatu bentuk dasar. Proses afiksasi berpengaruh terhadap terciptanya suatu karya sastra dalam bentuk tulisan agar lebih menarik minat pembaca baik itu cerpen maupun novel. Selain itu, afiksasi atau proses pembentukan kata juga mampu mengasah pengarang untuk menuangkan ide atau karyanya lebih kreatif dan inovatif.

Jenis-jenis afiksasi tersebut terbagi lagi menjadi beberapa imbuhan seperti prefiks terdiri dari imbuhan ber-, me(N)-, di-, ter-, ke-, dan se-. Sufiks terdiri dari imbuhan -an, -kan, -nya dan -i. Infiks terdiri dari imbuhan -el-, -em- dan -er. Konfiks terdiri dari imbuhan pe-an, per-an, ke-an, se-nya, dan ber-an. Serta klofiks terdiri dari imbuhan me-kan, me-i, memper-kan, memper-i, ber-kan, di-kan, di-i, diper-i, dan diper-kan.

Prefiks sebagai imbuhan di awal kata, memperoleh proses prefiks dalam cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu. Contohnya terdapat pada kata: {me}+lingkar, {ter}+paksa, {ber}+gerak, {ke}+lima, {ber}+fungsi, {me}+runduk, {ter}+lihat, {men}+coba, {ber}+bagai, {ber}+ubah, {mem}+bengkak, {se}+bentar, {di}+lakukan, {mem}+buat, {ter}+kulai, {ter}+tanam, {ter}+semat, {ter}+kuak, {ter}+biasa, {ber}+balik dan {men}+jinjing.

Sufiks merupakan imbuhan di akhir kata, memperoleh proses sufiks dalam cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu. Contohnya terdapat pada kata: rasa+{nya}, diri+{nya}, sadar+{i}, manis+{nya}, usaha+{nya}, hirau+{kan}, kepala+{nya}, abai+{kan}, singkir+{kan}, bagai+{kan}, kerja+{nya}, suami+{nya}, telinga+{nya}, rencana+{nya} dan cerai+{kan}. Sedangkan infiks sebagai imbuhan sisipan atau yang terletak di tengah-tengah, hanya memperoleh 1 proses infiks yaitu terdapat pada kata: j+{em}+ari.

Konfiks ialah imbuhan gabungan dari prefiks dan sufiks, memperoleh proses konfiks dalam cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu. Contohnya terdapat pada kata: {ke}+seluruh+{an}, {se}+mesti+{nya}, {ke}+datang+{an}, {pe}+leceh+{an}, {ke}+benar+{an} dan {per}+cerai+{an}. Sedangkan klofiks sebagai imbuhan yang dibubuhi afiks pada kiri dan kanannya, memperoleh proses klofiks dalam cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu. Contohnya terdapat pada kata: {meng}+guncang+{kan}, {meng}+akibat+{kan}, {ber}+tatah+{kan}, {meng}+hantu+{i}, {meng}+ikut+{i}, {men}+cerita+{kan} dan {mem}+belakang+{i}.

Cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu dalam proses afiksasi dengan imbuhan prefiks lebih banyak daripada proses afiksasi dengan imbuhan lainnya, sebaliknya proses afiksasi dengan imbuhan infiks pada cerpen tersebut lebih sedikit daripada proses afiksasi dengan imbuhan lainnya.

***

Berikut naskah cerpen "Jemari Kiri" karya Djenar Maesa Ayu.

sumber gambar : https://www.istockphoto.com/id/foto/dua-cincin-kawin (sebagai ilustrasi cerita)

Beberapa waktu setelah cincin itu melingkar di jari manis tangan kanannya, sulit bagi Nayla untuk menggerakkan jari-jemari di tangan kirinya. Tiba-tiba seluruh jemari tangan kirinya layu. Sehingga mengerjakan apapun ia terpaksa hanya menggunakan jari-jemari di tangan yang satu.


Kesal sekali Nayla dibuatnya. Bukan hanya karena ia sudah tak mampu lagi mengerjakan hal-hal besar dengan keseluruhan jemari di kedua tangannya saja. Tapi membersihkan kotoran yang menempel di duburnya setelah buang air besar pun ia tidak bisa. Walaupun tangan kirinya bisa bergerak seperti biasa, tapi diam saja kelima jarinya.

Telapak tangannya seolah cuma berfungsi sebagai penyanggah jari-jemari yang kesemuanya merunduk ke bawah. Semakin besar upaya Nayla untuk mengguncangkan tangan kirinya, maka jejemari itu justru semakin terlihat lemah.

Nayla sudah mencoba berbagai cara agar jari-jemari di tangan kirinya berfungsi normal kembali. Di luar tindakan yang dilakukannya sendiri, ia pun mencoba berbagai macam jenis terapi. Mulai dari dokter spesialis tulang, sampai cenayang. Mulai dari ahli nujum, sampai spesialis tusuk jarum. Tapi tetap saja jari-jemari di tangan kirinya tak berfungsi seperti biasanya. Bahkan tak jarang beberapa terapi mengakibatkan jari-jemari di tangan kirinya itu berubah dari ukuran yang semestinya. Membengkak mereka. Kadang sebentar, kadang cukup lama. Terapi yang harus dilakukan pun jadi ekstra. Membuat Nayla semakin putus asa.


Nayla menatap jari-jemari tangan kirinya yang terkulai. Lalu dengan jari-jemari tangan kanannya ia belai. Pada saat itulah ia memerhatikan cincin di jari manis tangan kanannya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu masih cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya.

Masih jelas di ingatan Nayla betapa rikuh pacarnya saat itu. Di sebuah restoran yang menghadap hamparan laut, pacarnya menggenggam kedua tangan Nayla dengan wajah bersemu. Diucapkannya satu kata demi kata dengan terbata-bata seperti orang yang lidahnya kelu. Tak berapa lama kemudian ia mengeluarkan cincin itu. Bahagia yang Nayla rasakan membuatnya tak lagi bisa mendengar saat mulutnya mengucap “I do”.

Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada apa yang merisaukannya setiap hari. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada mimpi buruk yang tiap malam selalu menghantui. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada apa yang sangat ia hindari. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa diri!

Segala petuah yang dulu orang tuanya katakan, Nayla hiraukan. Segala logika yang tertanam di kepalanya, Nayla abaikan. Segala peristiwa di masa lalunya, Nayla singkirkan. Cincin emas putih bertatahkan permata yang sudah tersemat di jari manis tangan kanannya bagaikan jendela yang terkuak lebar menatap masa depan.

“NGELAMUN aja kerjanya setiap hari. Perempuan ga ada gunanya sama sekali!”


Bukan karena Nayla sedemikian larut ke dalam lamunanlah yang membuatnya tak sadar akan kedatangan suaminya. Tapi karena ia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya di rumahlah penyebabnya. Apalagi saat itu hari belum juga petang. Kenapa suaminya sudah pulang?

Nayla mengikuti langkah suaminya yang bergegas menuju kamar tidur. Tapi baru beberapa langkah, suaminya sudah langsung menegur. “Gausah ngikutin saya. Mending kamu beresin rumah sana!”

Langkah Nayla segera terhenti. Terasa sembilu mengerat lubuk hati. Dengan langkah gontai ia berbalik arah. Sambil telinganya terus merekam suara derit koper yang ditarik dari dalam lemari oleh suami yang mulutnya belum juga berhenti mengeluarkan sumpah-serapah. Tak berapa lama kemudian suaminya keluar kamar dengan menjinjing satu koper besar. Dan secepat datangnya, secepat itu pulalah ia melangkah keluar. Meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap nanar. Menonjok hati Nayla hingga memar.

Andai dulu Nayla tidak silau karena cincin emas putih bertatahkan permata yang meringkuk manis di dalam kotak beludru warna merah muda, andai dulu Nayla tetap pada rencananya untuk tidak menikah selamanya, apakah hidupnya akan terasa jauh lebih baik? Andai orangtuanya tidak melarang Nayla bercerita pada siapa-siapa tentang pelecehan seksual yang pernah dilakukan oleh guru sekolah dasarnya, lantas Nayla menceritakan kebenaran itu pada suaminya, apakah suaminya akan bisa menerima dengan baik? Bulu kuduk Nayla bergidik. Teringat kedua mata suaminya di malam pertama yang menatap Nayla dengan jijik.

“Kalau saja perceraian bukan aib buat keluarga besar saya yang terpandang, sudah pasti saya ceraikan kamu, perempuan jalang!”


Mulut Nayla serasa tercekat. Sekujur tubuhnya dingin bagaikan mayat. Apa yang selama ini ia takuti akhirnya terjadi. Dan ternyata rasanya jauh lebih menakutkan dari mimpi-mimpi buruk yang setiap malam tak pernah berhenti menghantui. Bagaimana pun, Nayla masih berusaha percaya bahwa itu semua tak terjadi. Ia berusaha percaya jika itu semua hanya mimpi. Ia pun berusaha menyubit dirinya dengan jari tangan kiri. Dan pada saat itulah baru Nayla sadari jika jari-jemari tangan kirinya sudah tak bisa digerakkan lagi.

Nayla kembali menatap cincin di jari manisnya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu tetap cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya.


Tiba-tiba betapa ingin Nayla melepas cincin itu. Tapi bagaimana mampu jika jari-jemari tangan kirinya terkulai layu? Dengan sabar Nayla mendorong cincin di jari manisnya dengan ibu jari tangan kanannya. Tapi usahanya itu sia-sia belaka. Dan setiap kali ia gagal, semakin serasa gila Nayla dibuatnya. Ia guncang-guncangkan jari-jemari tangan kirinya yang layu. Dihantam-hantamkannya ke atas meja kayu. Tapi tetap saja tak ada reaksi. Jari-jemari tangan kirinya benar-benar sudah mati.

Nayla pun segera berlari ke dapur untuk mengambil pisau lalu memotong jari-jemari tangan kirinya satu persatu. Betapa puasnya ia melihat jari-jemari itu jatuh menimpa lantai batu. Darah bercucuran seperti anak panah hujan. Mengubur jari-jemari kirinya yang berceceran.
“Nay, Nay, bangun, Nay!”

Tubuh Nayla berguncang-guncang. Saat matanya terbuka, yang paling pertama dilihatnya adalah siluet ibunya yang tengah membelakangi lampu di luar kamar yang menyala terang.
“Nay, tenang, Nay. Kamu cuma mimpi buruk lagi. Ada ibu di sini.”

Ibu membelai mesra rambut Nayla yang tak mengatakan sepatah pun kata. Ibu segera merebahkan tubuhnya di sebelah Nayla. Diciumnya kening Nayla dengan mesra. Namun Nayla malah membuang muka dan membalikkan tubuhnya.

“Besok kita ke dokter lagi ya, Nay.”

Nay tetap tak mengatakan sepatah pun kata. Tak juga membalikkan tubuhnya. Tak juga melihat mata ibunya yang sedang berkaca-kaca. Seperti matanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image