Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image UCare Indonesia

Pendayagunaan Zakat: Orientasi Penanggulangan Kemiskinan

Filantropi | Friday, 09 Dec 2022, 14:38 WIB
sumber gambar: freepik.com

Pada dasarnya kemiskinan di Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh keterbatasan kemampuan masyarakat miskin dalam menjangkau sumber-sumber ekonomi, atau ketidaktersediaan lapangan kerja yang memadai. Kemiskinan juga disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya: belum maksimalnya prioritas program penanggulangan kemiskinan, belum optimalnya penggunaan solusi alteratif pendayagunaan sumber ekonomi, dan masih kuatnya budaya kemiskinan.

Program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan oleh pemerintah sudah cukup banyak dengan jumlah anggaran dana yang tidak sedikit. Tahun 2012 misalnya, alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial mencapai 47,8 triliun yang terdiri atas alokasi anggaran bantuan sosial yang disalurkan melalui berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar RP 43,8 triliun, alokasi dana cadangan penanggulangan bencana alam sebesar Rp 4 triliun, dan alokasi dana dalam rangka menjaga keberlanjutan berbagai program penanggulangan kemiskinan, seperti program PNPM adalah sebesar Rp 10 triliun. Anggaran tersebut diambil dari pendapatan negara dengan porsi terbesar dari pendapatan pajak. Harus diakui bahwa sejumlah anggaran dana penanggulangan kemiskinan tersebut belum sepenuhnya mampu untuk mendorong suksesnya program penanggulangan kemiskinan.

Disamping itu, belum optimalnya program penanggulangan kemiskinan juga diakibatkan oleh minimnya solusi alternatif pendayagunaan sumber ekonomi nonpajak atau sumber dana lainnya. Sumber ekonomi seperti zakat yang potensinya mencapai ratusan triliun rupiah belum didayagunakan secara maksimal sehingga belum dapat membantu program penanggulangan kemiskinan di Indonesia secara memadai.

Sementara itu, kemiskinan juga berkembang menjadi budaya masyarakat. Artinya, budaya kemiskinan cenderung 'mewaris' dalam kehidupan masyarakat miskin dari generasi ke generasi berikutnya.

Oscar Lewis (1984) menjelaskan bahwa budaya kemiskinan dapat dilihat dengan ciri-ciri:

1. Kurang atau tidak efektifnya partisipasi dan integrasi golongan miskin dalam pranata-pranata utama yang ada dalam masyarakat luas. Sebabnya adalah karena lingkungan kemiskinan dan kekumuhan yang disebabkan oleh langkanya sumberdaya ekonomi, menghasilkan adanya segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan dan apatis. Ini semua menghasilkan adanya jarak sosial antara mereka dengan masyarakat luas.

2. Muncul dan berkembangnya hutang pranata-pranata menghutang, gadai-menggadai, tolong bantu di antara sesama tetangga secara spontan maupun melalui arisan ataupun perkumpulan-perkumpulan sejenis, tidak adanya kesetiaan kerja terhadap satu jenis pekerjaan yang ditekuni atau dengan kata lain cenderung untuk mudah pindah pekerjaan mengerjakan pekerjaan rangkap asal menguntungkan.

Spekulasi atau untung-untungan juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan miskin. Karena itujenis pekerjaan yang biasanya mereka tekuni adalah di sektor informal. Sektor ini memudahkan mereka untuk berganti bidang kegiatan yang tidak harus mendapat pengesahan hukum untuk melakukannya dan yang tidak harus memanfaatkan pranata-pranata atau fasilitas- fasilitas yang berlaku dalam masyarakat luas, dan yang pada hakekatnya bersifat untung-untungan yang keuntungannya langsung dapat dihitung seketika itu juga.

3. Adanya semacam pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak juga ada sikap-sikap pasrah dan masa bodoh terhadap nasib yang mereka jalani maupun terhadap mereka yang dianggap mempunyai kekuasaan sosial dan ekonomi. Karena itu dengan mudah mereka itu menjadi penurut dan tunduk kepada petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah tetapi dengan mudah mereka itu juga lupa atau melupakannya bila dianggap terlalu ruwet dan hanya menyulitkan diri serta tidak ada keuntungannya untuk diikuti. Sikap seperti ini juga menghasilkan sikap tidak peduli atau masa bodoh kepada orang lainnya, termasuk tetangganya, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

4. Wanita, lebih khusus lagi, diperlakukan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai penghasil nafkah bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Anak bukan hanya sebagai besaran ego yang diperlakukan sebagai mainan untuk disayangi tetapi juga membantu atau tenaga kerja pencari nafkah orang tua.

Anak juga diperlakukan sebagai rasa amandan keyakinan diri serta sebagai sandaran masa depan kesejahteraan hidup mereka di hari tua. Tetapi, bersamaan dengan itu anak juga dijadikan sasaran pelampiasan frustasi dan keputusasaan. Karena itu anak juga cepat menjadi dewasa baik secara mental maupun seksual.

Kondisi kemiskinan tersebut harus ditanggulangi secara cermat dan efektif agar dapat terwujud kehidupan masyarakat yang bermartabat. Pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat harus dirumuskan dalam program- program untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut juga secara tegas dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Pasal 27 menyebutkan:

(1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.

(2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.

Oleh karenanya, penting bagi setiap masyarakat terhadap kedudukannya untuk lingkaran pengelolaan zakat. Karena dengan memahami konsep dan kewajiban zakat tidak hanya menjalankan Sebagian syariat namun juga mengokohkan elemen sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Mari tunaikan zakat untuk kemaslahatan umat.

Sumber: Direktorat Pemberdayaan Zakat. 2013. Standarisasi Amil Zakat di Indonesia. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Jakarta. 124 hal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image