Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nurholisa Salis

Hambatan Pertumbuhan Wisata Halal di Indonesia

Wisata | Wednesday, 07 Dec 2022, 19:56 WIB
Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Pengembangan wisata halal atau wisata ramah muslim di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Tantangan muncul dari pola pemahaman masyarakat akan ketersediaan infrastruktur yang memadai.

Tahun 2022 Lembaga pemeringkat Mastercard-Crescent menempatkan Indonesia pada peringkat kedua standar GMTI dengan skor 70 bersama dengan Malaysia yang berada di ranking teratas. Sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia, Indonesia tercatat mengalami peningkatan secara berjenjang dari ranking 6 di tahun 2015, ranking 4 di tahun 2016, ranking 3 di tahun 2017, ranking 2 di tahun 2018, ranking 1 di tahun 2019 dan ranking 4 di tahun 2021

Upaya Indonesia untuk mencapai posisi terbaik dilakukan secara serius di antaranya dengan membuat Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) yang mengacu pada standar GMTI. Laporan GMTI menganalisis berdasarkan 4 kriteria penilaian strategis, yaitu Akses, Komunikasi, Lingkungan, dan Layanan.

Naiknya peringkat Indonesia berdasarkan versi riset MasterCard & CrescentRating, menunjukkan bahwa pengelolaan wisata halal di Indonesia telah berubah secara signifikan. Kementerian Pariwisata telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menarik wisatawan muslim mancanegara ke Indonesia. Sepuluh kemungkinan provinsi yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan telah menyiapkan secara khusus destinasi wisata halal yang layak dikunjungi. .

Menurut Riyanto Sofyan, Ketua Tim Percepatan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama pariwisata halal. Menurutnya, Indonesia kini menjadi salah satu destinasi wisata halal yang menjadi perhatian wisatawan muslim mancanegara, karena Indonesia tidak hanya memiliki tempat yang indah, tetapi juga memiliki populasi muslim terbesar di dunia.

Dengan budaya masyarakat Indonesia yang sejalan dengan karakteristik wisata halal, kesadaran akan pentingnya wisata halal di kalangan pemangku kepentingan mulai meningkat.

Namun, menurut Sofyan, ada juga beberapa tantangan dalam mengembangkan wisata halal di Indonesia yang perlu diperhatikan secara matang. Tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan wisata halal antara lain : (1) masih adanya anggapan bahwa wisata halal bukan pangsa pasar yang besar sehingga upaya untuk meningkatkan wisata halal tidak maksimal, (2) dengan alasan sudah halal, maka tidak mau lagi belajar secara rinci (Republika/29/08/17).

Dengan kata lain, karena Indonesia mayoritas beragama Islam, infrastruktur yang ada juga dianggap halal sehingga tidak perlu ada inovasi. Beberapa asumsi di atas sengaja bisa memperlambat perkembangan wisata halal di Indonesia. Berbeda halnya dengan negara tetangga, Malaysia, meski mayoritas penduduknya beragama Islam, upaya untuk meningkatkan wisata halal tetap dilakukan dengan menyediakan berbagai macam fasilitas yang nyaman untuk memikat wisatawan muslim mancanegara. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya Malaysia menjadi destinasi utama wisatawan muslim dunia.

Di samping beberapa tantangan yang disebutkan di atas, ada beberapa tantangan lain yang menyebabkan lambatnya perkembangan pariwisata halal di Indonesia. Tantangan yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: pertama, saat ini belum ada regulasi yang mengatur secara komprehensif tentang wisata halal di Indonesia. Dasar hukum aktivitas wisata halal berdasarkan pada Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Padahal sebelumnya ada Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah, namun Peraturan tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun 2016. Pada tahun 2016 lalu, Dewan Syariah Indonesaia Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Syariah. Aspek pariwisata yang diatur di dalamnya antara lain: hotel, spa, sauna, dan massage, objek wisata, dan biro perjalanan. Namun demikian fatwa tersebut tidak akan berlaku secara efektif apabila tidak dipositifkan ke dalam bentuk peraturan menteri pariwisata. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan untuk segera membuat standar peraturan terkait dengan hotel, spa , sauna dan message, objek wisata dan biro perjalanan berdasarkan fatwa DSN-MUI tersebut.

Kedua, Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang baik untuk wisata halal. Misalnya, saat ini belum banyak hotel atau restoran bersertifikat halal yang beroperasi sesuai prinsip syariah.. Hal ini berbeda jika kita bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang sudah memiliki banyak hotel syariah dan restoran bersertifikat Halal dari Indonesia. Minimnya dua layanan di atas tentu menjadi tantangan bagi pengembangan wisata halal di Indonesia. Oleh karena itu, baik pemerintah pusat maupun daerah harus bersinergi menyediakan sarana dan prasarana yang baik sesuai syariah untuk meningkatkan minat wisatawan muslim mancanegara di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas, jelas dan tidak dapat dipungkiri bahwa wisata halal di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki beberapa destinasi wisata yang indah dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa potensi Indonesia tidak dapat terealisasi secara optimal jika tidak dikelola dengan baik. Dukungan penuh pemerintah, bukan setengah-setengah, jelas sangat dibutuhkan. Berbagai tantangan tersebut di atas harus segera diselesaikan agar wisata halal dapat berkembang dan bersaing dengan negara lain

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image