Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Abdul Ghaniy Morie

Tafsir Kontekstual, Kebutuhan Kekinian

Khazanah | Tuesday, 06 Dec 2022, 16:40 WIB
Ilustrasi mushaf Al-Qur'an, sumber: Republika.co.id

Al‐Qur’an sebagai kitab suci memiliki daya tarik tersendiri sehingga mengkajinya menjadi sebuah dinamika yang terus berkembang. Perkembangan dinamika penafsiran Al‐Qur’an pada era kontemporer (abad 18‐21) cenderung mengemukakan ide‐ide rasional kritis dalam memandang penafsiran Al‐Qur’an.

Tafsir pada era kontemporer bersifat fungsional untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang kontekstual. Abdul Mustaqim dalam Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, menjelaskan bahwa paradigma tafsir kontemporer merupakan paradigma fungsional. Hal ini berbeda dengan penafsiran klasik yang dianggapnya lebih cenderung deduktif yang diistilahkan dengan paradigma struktural.

Tafsir kontekstual adalah menafsirkan teks‐teks Al‐Qur’an dengan mempertimbangkan unsur‐unsur yang ada di luar teks atau melingkupi teks. Tafsir kontekstual sudah mulai tampak pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra. (w. 644) seperti: Pertama, ketika Umar membuat kebijakan hukum pencuri dari Baitul Mal. Umar ra. (w. 644) tidak memotog tangan pencuri tersebut. Saat Ibnu Mas’ud ra. (w. 650) menanyakan, Umar menjawab; “Bebaskanlah ia, karena semua orang memiliki hak dari harta yang berada di Baitul Mal.” Kemudian Umar menghukum pencuri tersebut dengan ta’dzir berupa cambukan. Kedua, pencurian pada musim paceklik dengan membatalkan hukum potong tangan.

Al‐Qur’an merupakan respon terhadap situasi saat ia diturunkan, perbaikan moral dan menanggapi permasalahan yang spesifik dengan situasi yang kongkrit. Namun, terdapat hukum‐hukum yang dikatakan sebagai hukum‐hukum umum yang dijelaskan oleh Al‐Qur’an secara sederhana. Sehingga ketika hukum tersebut dihadapkan pada realitas dari waktu ke waktu, maka diperlukan sebuah pengkajian dengan melihat kembali latar belakang historis, atau dengan kata lain mempertimbangkan pemahaman konteks pewahyuan dan konteks pengkajinya.

Misalnya jika kita membahas ayat mengenai poligami. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’/4: 3)

Menurut Fazlur Rahman (w. 1988), ayat ini turun merespon konteks masyarakat Arab pada saat itu di mana praktek pernikahan tidak membatasi seorang laki-laki menikahi banyak wanita. Sehingga jika ditarik ke masa sekarang, konteks itu sudah berbeda, oleh karena itu, perlu pertimbangan penafsiran yang berbeda pula. Maka dalam hal ini setidaknya terdapat dua pesan yang ingin disampaikan oleh ayat:

Pertama, yaitu “pembatasan”, oleh karena konteks saat ini sudah berbeda dengan budaya pernikahan masyarakat Arab pada waktu ayat diturunkan, maka ayat ini membatasi poligami, sehingga pernikahan lebih kepada monogami. Pesan kedua, mengenai “keadilan”, mengutip Nashr Hamid (w. 2010) dalam Mafhum al-Nash, bahwa laki-laki yang menikahi lebih dari satu wanita tidak akan mampu berlaku adil, bahkan disebutkan dalam ayat lain: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu).” (QS. an-Nisa’/4: 129). Maka jelas, pesan mengenai keadilan yang disampaikan pada konteks ayat ini menegaskan bahwa poligami dibatalkan oleh pernikahan monogami.

Al‐Qur’an mesti ditafsirkan secara kontekstual agar senantiasa relevan. Atas dasar pemahaman tersebut, Fazlur Rahman (w. 1988) mengaplikasikan motode 'gerak ganda' atau double movement dalam penafsiran kontekstual pada masalah hukum, politik, ekonomi dan sosial budaya. Metode 'gerak ganda' dalam penafsiran merupakan metode induktif‐integratif yang menekankan akan pentingnya pendekatan sejarah dalam memahami konteks ayat, yaitu dengan kata lain; berangkat dari situasi saat ini ke masa Al‐Qur’an diturunkan dan kembali ke masa kini. Metode ini menarik untuk digunakan dalam rangka menghasilkan penafsiran yang lebih fungsional dan relevan.

Tafsir kontekstual tentu berbeda dengan tafsir tekstual yang hanya menekankan pada teks, Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an (munasabah ayat) dan dengan Hadits, hal ini menegaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas bagi dirinya. Namun tafsir bentuk ini terkesan hanya berkutat pada teks yang sifatnya statis, padahal realitas itu dinamis.

Aspek sosio historis merupakan pertimbangan utama dalam tafsir kontekstual. Inilah karakteristik utama yang membedakan tafsir kontekstual dengan tafsir-tafsir yang lain. Karena itu, para pakar menenkankan bahwa jangan sampai keterbatasan dalam memahami teks yang statis ketika dihadapkan pada konteks yang dinamis menjadikan hasil penafsiran tidak sesuai dengan tujuan Al-Qur’an itu sendiri.

Tak bisa dipungkiri memang, penafsiran tak sesempurna Al-Qur’an itu sendiri. Namun usaha memahami dan menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an harus terus dilakukan sebagai upaya berkelanjutan melintasi zaman sebagaimana tujuan Al-Qur’an. Untuk itu, dewasa ini, tafsir kontekstual sangat diperlukan mengingat kebutuhan masyarakat terhadap Al-Qur’an makin aplikatif seiring dinamika perkembangan zaman. Pada akhirnya, jargon shalih li kulli zaman wa makan menjadi semakin nyata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image