Sejarah Pembukuan Tafsir Al-Quran
Khazanah | 2024-01-01 19:19:21Dalam sejarah pembukuan tafsir, peran hadis sangat signifikan. Fase setelah sahabat dan tabi‘in adalah fase pembukuan hadis. Pada fase ini, tafsir masih menjadi bagian daripada bab-bab yang ada dalam kitab hadis. Seorang perawi terkadang meriwayatkan suatu hadis mengenai tafsir, terkadang mengenai fikih, dan terkadang mengenai ghazwah, dan lain-lain.
Keberadaan Tafsir dalam Kitab Hadis
Pada tahap ini, tafsir masih belum dibukukan sacara sistematis, tetapi hanya merupakan sebagian usaha dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah.
Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadis (M. Nor Ichwan: 2005, 225).
Pada masa permulaan Bani Abbasiyah timbullah usaha untuk mengumpulkan hadis yang sama objeknya serta menertibkan babnya, seperti yang dilakukan Malik bin Anas (w. 174 H) dalam Muwaththa’ (Muhammad Hasbi as-Siddieqy: 2009, 191).
Para ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in di samping perhatiannya terhadap pengumpulan hadis adalah: Yazid bin Harun as-Salmi (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Ruh bin Ubadah al-Bashri (w. 205 H), Abdur Razaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abi Iyas (w. 220 H), Abd bin Humaid (w. 249 H); dan lain-lain.
Mereka ini dari imam-imam hadis, maka pengumpulan tafsir itu termasuk dalam bab hadis, tafsir belum dihimpun dengan mandiri. Hanya saja tafsir-tafsir mereka tidak sampai kepada kita sedikit pun, namun riwayat yang dinukil disandarkan kepada mereka dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur.
Dalam sejarah tafsir, masa tersebut dinamakan sebagai zaman mutaqaddimin. Zaman mutaqaddimin ialah zaman para penulis tafsir al-Qur’an gelombang pertama, generasi ini telah bisa memisahkan tafsir dan hadis daripada zaman sebelumnya sebagaimana dalam Shahih Bukhari (w. 256 H) dan Shahih Muslim (w. 261 H) yang terdapat bagian khusus pembahasan tafsir (Imam Muchlas: 2003, 5).
Pemisahan Tafsir dari Kitab Hadis
Pada fase selanjutnya, para ulama mulai melakukan pemisahan tafsir dari kitab hadis yang merupakan fase untuk menjadikan tafsir sebagai disiplin ilmu yang matang dan mandiri. Dengan demikian, tafsir tidak lagi menyatu dengan kitab hadis yang menandakan bahwa tafsir menuju babak baru perkembangannya.
Fase ini dinamakan fase tashnif. Jadi, secara garis besar, para mufassir pada fase ini menggunakan tafsir bi al-ma’tsur sehingga tafsir ini menjadi ciri khas tersendiri (Samsurrohman: 2014, 79).
Pada perkembangannya, para ulama semakin konsen mengumpulkan hadis-hadis tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut suatu ayat, lalu menyebut nukilan-nukilan riwayat mengenai tafsir ayat tersebut, baik dari sahabat maupun tabi’in. Meski demikian, tafsir pada saat itu belum dapat dikatakan memiliki bentuk tertentu, juga belum sesuai susunan mushaf yang sebenarnya.
Pembukuan Tafsir
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis-hadis yang lain, ulama hadis berusaha mengumpulkan hadis-hadis yang menjelaskan mengenai tafsir saja. Setelah itu barulah terpisah benar-benar hadis tafsir. Mula-mula ayat-ayat tidak ditafsirkan menurut tertib (susunan) mushaf, kemudian barulah dibuat tafsir untuk masing-masing ayat menurut susunan mushaf al-Qur'an (tafsir tahlili). Dan hal tersebut terwujud pada akhir-akhir abad ke-2 Hijriyah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pembukuan (tadwin) tafsir terjadi pada masa akhir-akhir abad ke-2 H. Saat itu memang adalah masa lahir dan terbentuknya embrio berbagai disiplin ilmu. Sejak itu pula, tafsir kemudian berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadis.
Pada fase pembukuan ini, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis, sehingga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf.
Di antara ulama tafsir yang berjasa pada masa pembukuan (tadwin) adalah: al-Farra’ (w. 207 H), Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarir at-Thabari (w. 310 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hiban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H) (al-Qaththan: 1994, 241).
Setelah meluasnya Islam, pembukuan tafsir pun mengalami peningkatan yang berarti dalam khazanah disiplin ilmu tafsir. Pada permulaan fase ini, tafsir mulai melebarkan sayap sehingga kegiatan penafsiran tidak hanya berorientasi pada tafsir bi al-ma’tsur, tetapi juga tafsir bi al-ra’yi.
Tafsir pada fase ini lebih banyak menggunakan rasio atau dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu dari para mufassir. Hal itu karena banyaknya disiplin ilmu yang telah mengalami kemapanan, seperti ilmu fikih, ilmu hadis, dan ilmu kalam (Samsurrohman: 2014, 86). Sampai pada akhirnya adalah masa sekarang atau fase kontemporer. Pada masa ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat ini dan masa yang akan datang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.