Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Setelah Berkelana Menjadi Pribadi yang Lain, Aku Ingin Kembali Menjadi Pemecah Batu Saja

Agama | Sunday, 27 Nov 2022, 05:14 WIB

Ceritanya ada seseorang yang berprofesi sebagai tukang pemecah batu. Setiap hari ia bergelut dengan palu dan pahat tua yang setia menemaninya. Berbagai jenis ukuran batu pernah ia pecahkan. Namun demikian, meskipun profesional dalam memecahkan berbagai jenis batu, jangan tanya penghasilannya, super minimalis. Serba kekurangan sudah menjadi aksesoris kehidupannya.

Suatu ketika, ia begitu lelah selepas memecahkan batu seraya perut keroncongan meminta isi. Maklum, sudah dua hari hanya makan rebus singkong, itu pun tidak kenyang karena harus berbagi dengan istri dan kedua anaknya yang masih kecil.

Meskipun lelah, ia paksakan berjalan untuk pulang ke gubuknya. Satu-satunya jalan terdekat menuju rumahnya adalah melalui sebuah bukit yang diatasnya terdapat sebuah villa milik seorang saudagar kaya. Kebetulan pada hari tersebut pemiliknya sedang mengadakan acara bersama rekan-rekan pengusaha lainnya. Ia menengok sebentar dari balik pagar villa sambil membayangkan betapa enaknya jika dirinya menjadi saudagar kaya, disegani orang, banyak uang, dan tanpa keluh dalam menjalani kehidupan.

Karena begitu panas terik pada hari tersebut, ia tak lama memperhatikan orang-orang di sekitar villa. Ia melanjutkan perjalanan pulang. Namun karena kelelahan, ia berhenti dulu di bawah sebuah pohon rindang yang berada di atas sebuah bukit tersebut sehingga ia bisa melihat keindahan bangunan villa.

Angin sepoy-sepoy yang menerpa tubuhnya membuat dirinya ngantuk dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi menjadi seorang saudagar seperti yang dibayangkannya sebelum tidur. Ia berlimpah harta dan dihormati semua orang.

Dalam mimpinya, ketika ia sedang berjalan-jalan, ia melihat seseorang yang dikawal para prajurit. Semua orang yang melihatnya membungkuk, memberi hormat. Rupanya orang yang dikawal tersebut seorang pejabat negara.

Sang pemecah batu yang sudah menjelma menjadi saudagar kaya pun berkhayal, betapa enaknya jika ia menjadi pejabat negara. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu memberi hormat. Kemanapun ia pergi, selalu diberi berbagai fasilitas, termasuk fasilitas keamanan.

Entah bagaimana ceritanya, ia pun menjelma menjadi seorang pejabat negara. Namun tatkala dirinya sedang menjelma menjadi seorang pejabat negara, meskipun ia merasa aman dari berbagai tindak kejahatan karena banyak pengawal, ia tak merasa aman dari panas terik matahari. Para pengawalnya tak bisa mengenyahkan panas terik matahari dari dirinya. Ia pun berkhayal menjadi matahari. Ia pun menjelma menjadi matahari.

Ketika sudah menjadi matahari, ia tak begitu kerasan, sebab ternyata sinar matahari bisa terhalangi dengan awan hitam. Sehebat apapun sinar matahari, kalau sudah datang awan hitam, sinarnya tak bisa sampai ke permukaan bumi. Ternyata awan hitam lebih kuat daripada matahari. Ia pun berkhayal ingin menjadi awan hitam. Tak lama kemudian, ia pun menjelma menjadi awan hitam.

Belum lama menikmati posisinya sebagai awan hitam, tiba-tiba datang angin yang memecahkan dirinya menjadi hujan. Awan hitam yang dianggapnya kuat, tiba-tiba hilang menjadi air hujan. Ia pun berkhayal ingin menjadi angin, akhirnya ia menjelma menjadi angin,

Ketika menjelma menjadi angin ia berkuasa menerbangkan apapun, apalagi ketika ia berubah menjadi angin puting beliung, apapun ia sapu, dan terhempas dari tempatnya. Dari sekian banyak barang yang ia hempaskan, ada satu benda yang sulit ia hempaskan, sulit bergeser, apalagi terbang. Benda tersebut tiada lain adalah batu. Ia pun berkhayal menjadi batu besar yang kokoh. Ia pun berubah menjadi batu.

Belum lama menikmati posisinya sebagai batu yang kokoh, tiba-tiba di atas tubuhnya ia mendengar suara pahat besi yang memukul-mukul dirinya. Rupanya seorang pemecah batu sedang berusaha memecahkan tubuhnya agar berkeping-keping menjadi batu-batu berukuran kecil. Benar sekali, tak lama kemudian tubuhnya hancur menjadi batu-batu berukuran kecil.

Sang pemecah batu yang tertidur segera bangun. Mimpinya berakhir. Sambil menggosok-gosok matanya, ia merenung. “Dalam mimpi aku telah berkelana menjadi pribadi-pribadi lain yang aku anggap lebih kuat, tapi ternyata yang terkuat adalah pemecah batu. Mulai hari ini, aku lebih baik menikmati keadaan diriku sebagai pemecah batu daripada harus menjadi pribadi-pribadi lain. Aku lebih baik menjadi diri sendiri, mensyukuri dan menikmati apa yang aku miliki.”

Tentu saja cerita dalam tulisan ini fiksi belaka, namun insya Allah terdapat hikmah yang patut kita renungkan. Kemungkinan besar kita pernah mengalami atau berkelana menjadi pribadi lain, melupakan pribadi yang sebenarnya. Kita menginginkan kondisi dan posisi terbaik yang dimiliki orang lain, dan melupakan kondisi dan posisi kita pada saat ini. Kita lebih sering iri dan membanggakan hijaunya rumput di halaman rumah tetangga seraya meremehkan hijaunya rumput di halaman rumah kita.

Kita sering berperilaku seperti pemecah batu dalam cerita tersebut. Kita sering tidak mau menerima kondisi dan posisi pribadi kita yang sebenarnya, kita ingin menjadi pribadi yang lain. Kita sering membayangkan menjadi orang lain yang nasibnya lebih baik daripada kita, sampai-sampai kita lupa akan kondisi dan posisi kita yang sebenarnya.

Padahal sikap hidup yang terbaik adalah menerima kondisi dan posisi pribadi kita apa adanya. Menikmati dan mensyukuri apa-apa yang telah menjadi bagian dari hidup kita tanpa merasa iri dengan apa-apa yang dimiliki pribadi atau orang lain. Dengan cara seperti ini, kita akan menjadi orang bijaksana dan merasakan kebahagiaan meskipun tak memiliki harta dan jabatan seperti orang lain.

Epictetus seorang filosof Yunani mengatakan, “Kebahagiaan sejati terlahir dari sikap menikmati apa yang dimiliki dan tidak bersedih atas apa yang tidak dimiliki.”

Jauh sebelum Epictetus berpendapat tentang kebahagiaan, Rasulullah saw memberikan wejangan tentang hidup bahagia melalui mensyukuri atas apapun yang kita miliki, dan sering melihat kepada orang-orang yang derajat kehidupannya lebih rendah daripada kita.

Menerima dengan rela apa yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita dan mensyukurinya disebut qanaah. Kita diperingatkan Rasulullah saw untuk tidak selalu mendongak kepada orang-orang yang harta, kedudukan, dan jabatannya lebih tinggi daripada kita, kecuali dalam hal ibadah kepada Allah. Dalam hal ketaatan kepada Allah, kita harus melihat dan meneladani orang-orang yang ibadahnya lebih baik daripada kita.

“Pandanglah orang-orang yang lebih rendah kedudukanmu (dalam masalah harta dan dunia), dan janganlah kalian memandang orang-orang yang ada di atas kedudukanmu (dalam masalah harta dan dunia). Dengan cara seperti itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian” (H. R. Bukhari – Muslim).

Ilustrasi : tukang pemecah batu (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image