Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Abdul Ghaniy Morie

Al Quran dan Ilmu Pengetahuan

Khazanah | 2022-11-10 22:42:41
Foto: Dokpri Penulis

Al-Qur’an menjadi titik sentral peradaban umat manusia khususnya bangsa Arab pada masa awal-awal diturunkannya. Dalam posisinya sebagai kitab sentral, meminjam ungkapan Komaruddin Hidayat, tak ada satu pun kitab suci selain Al-Qur’an yang daya gravitasi dan kemampuan akomodatifnya dirasakan begitu kuat, sehingga sekian banyak persilangan pendapat di kalangan umat Islam, selalau ada rasa memiliki tempat dan pembenaran dari Al-Qur’an.

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt yang diturunkan dalam bentuk teks yang otentik. Dari kenyataan itu, Nashr Hamid (w. 2010) mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sakral karena berasal dari wahyu Allah Swt, tetapi pada saat yang bersamaan Al-Qur’an juga merupakan kitab profan karena berisi teks sebagaimana teks-teks pada umumnya. Kenyataan ini menjadikan kandungan Al-Qur’an tidak bertentangan antara wahyu dan akal manusia, bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu yang rasional, dan akal merupakan sarana dalam rangka memahami wahyu.

Berangkat dari uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa tak ada pertentangan atau dikotomi antara wahyu dalam hal ini Al-Qur’an dan akal dalam hal ini ilmu pengetahuan. Pernyataan ini bukan tanpa latar belakang; pertama karena realitas kehidupan manusia dewasa ini khususnya umat Islam yang terjebak dalam kerangka berpikir positivisme epistemologis yang mengarahkan pada dikotomi antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, kedua karena umat Islam terjebak pada pengkultusan bahwa hanya ilmu agama yang penting, sedangkan ilmu umum (sains) atau selain daripada ilmu agama itu tidak penting, karena menganggap hanya dengan ilmu agamalah umat Islam bisa masuk surga. Alasan ini menjadikan umat Islam hanya berkutat pada perselisihan dan perpecahan yang kemudian melahirkan kejumudan berpikir, dan menghambat kemajuan umat itu sendiri.

Sesungguhnya Al-Qur’an tidak pernah mengajarkan kepada manusia khususnya kita sebagai umat Islam tentang dikotomi ilmu, karena pada dasarnya semua ilmu itu bersumber dari Allah Swt. Dan inilah yang diajarkan sejak awal oleh Rasulullah Saw bersama para sahabatnya yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim sampai pada saat ini. Bisa dilihat misalnya pada ayat pertama yang diturunkan kepada Rasullah Saw yakni iqra’. Perintah ‘membaca’ dalam hal ini bukan bersifat parsial, tetapi membaca secara universal dan transenden, dan tentu mesti dilandasi dengan nilai ke-Tauhid-an. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt meyebutkan bagaimana universalitas atau keluasan ilmu-Nya:

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahlan kepadanya tujuh lautan (lagi) stelah (kering)nya, niscaya tidaka akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah”. (QS. Luqman/31: 27).

Senada juga disebutkan dalam ayat lain:

“Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. al-Kahfi/18: 109).

Al-Qur’an sendiri merupakan bagian kecil dari ilmu-ilmu Allah Swt. Itulah mengapa kita mengenal ayat qauliah yang merupakan Al-Qur’an itu sendiri, dan ayat kauniah yang diartikan sebagai alam raya beserta semua makhluk yang ada di dalamnya tak terkecuali manusia. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah Swt menyebut manusia dengan istilah ulil albab, para pakar mendefinisikan istilah tersebut sebagai manusia yang memiliki pemikiran yang mendalam. Allah Swt menciptakan alam raya beserta isinya untuk diteliti, dipelajari dan dipikirkan secara serius dan mendalam, bahwa di balik semua penciptaan itu terdapat kebesaraan Allah Swt. Sehingga dengan kesadaran tersebut membawa manusia pada puncak keyakinannya kepada Allah Swt.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran/3: 190).

Pada akhirnya, kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah umat seharusnya membangkitkan semangat pengkajian dan pengembaraan intelektual yang kemudian bisa dijadikan dasar untuk menemukan hakikat-hakikat ilmiah dari aneka ragam disiplin ilmu pengetahuan.

Bacaan:

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.

Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image