Memiliki Kemampuan Menulis itu Bagian dari Nikmat Allah
Agama | 2022-11-09 14:12:33Selain dibekali kemampuan bicara dan bentuk jasmani yang paling sempurna, secara qadrati manusiapun diberi kemampuan membaca dan menulis. “Dialah Zat yang telah mengajarkan menulis dengan pena” (Q. S. al-‘Alaq : 4).
Dengan demikian, menulis merupakan bagian dari nikmat yang wajib kita syukuri. Sebagai wujud syukur atas kemampuan dan keterampilan menulis kita harus menjadikannya sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran, menyebarkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, aktifitas menulis harus dijadikan sarana dakwah.
Meskipun pada perjalanan dakwah Rasulullah saw penyebaran Islam lebih sering dilakukan secara lisan, namun Rasulullah saw telah memberikan isyarat, umat Islam harus memiliki keterampilan menulis yang kelak dapat dipergunakan sebagai sarana dakwah.
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah mendirikan kuttab sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak. Pada waktu itu hanya terdapat 17 orang Quraisy yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Hal ini disebabkan bangsa Arab pada waktu itu kurang memberikan perhatian terhadap kemampuan membaca dan menulis.
Ketika perang Badar usai, Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabat untuk memilah dan memilih para tawanan perang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Setelah didapatkan para tawanan perang yang memiliki kemampuan tersebut, mereka boleh bebas dari tawanan perang dengan syarat masing-masing tawanan harus mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 orang anak-anak muslim sampai anak-anak tersebut mampu membaca dan menulis (Muhammad Syafi’i Antonio, Muhammad saw The Super Leader, Supemanager, 2007 : 186).
Ibnu Qayyim al Jauziyah menegaskan, nikmat Allah dengan mengajarkan pena setelah Al-Qur'an merupakan nikmat yang paling besar, dan juga pengajarannya. Meskipun tulisan itu merupakan sesuatu yang dicapai manusia dengan kecerdasan dan kepintaran mereka, akan tetapi yang membuatnya dapat mencapai dan menghantarkannya kepada keberhasilan merupakan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya, dan anugerah yang dilimpahkan Allah kepadanya.
Karenanya, merupakan satu hal yang sangat tidak pantas jika kita menggunakan kemampuan membaca dan menulis yang kita miliki pada hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebab hal ini bertentangan dengan hakikat dan makna tasyakur akan nikmat Allah. Hakikat dari tasyakur atas nikmat-nikmat Allah adalah menggunakan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita di jalan atau perbuatan yang diridai-Nya.Sejatinya kita tidak menggunakan kemampuan membaca dan menulis pada hal-hal munkar dan maksiat.
Jika kita sering mendengar jargon “mulutmu, harimaumu”, demikian pula dengan tulisan. Apa-apa yang kita tulis bisa menjadi pedang tajam yang mematahkan argumen orang lain, bisa pula menjadi harimau yang menerkam diri sang penulis. Karena itu, wawasan keilmuan, kehati-hatian dalam menulis seraya tidak mengikuti keinginan hawa nafsu, mutlak harus kita perhatikan. Dengan kata lain, tulisan yang kita hasilkan bisa berbuah dosa, bisa pula berbuah siksa.
Berkenaan dengan tulisan, Imam Ghazali mengatakan, “Hendaklah engkau menjaga kedua tanganmu dari memukul sesama muslim, mendapatkan sesuatu yang diharamkan, menyakiti sesama makhluk Allah, mengkhianati amanah atau titipan orang lain, atau menulis sesuatu yang tidak boleh diucapkan. Karena qalam (pena) itu salah satu dari dua lidahmu, maka jagalah penamu dari menulis sesuatu yang dilarang untuk diungkapkan.” (Bidayatul-Hidayah, hal 206. Penerbit Daarul Minhaj, Beirut, Libanon).
Pada saat ini, meskipun secara formal masih terbilang sedikit orang yang melakukan kegiatan menulis seperti menulis artikel ilmiah, jurnal, atau buku jika dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang sudah memiliki kemampuan membaca dan menulis, namun dari persfektif menulis nonformal kini hampir semua orang sudah terbiasa menulis. Kegiatan posting tulisan terutama di media sosial sudah menjadi kegiatan yang tak bisa lepas dari hidup keseharian orang-orang pada saat ini.
Sayangnya, tulisan atau komentar di media sosial terkadang terjerumus kepada melecehkan, menghina, bahkan merendahkan martabat orang lain. Tentu saja perbuatan ini bukan merupakan terpuji, malahan jika berkaca kepada nasihat Imam Ghazali tadi perbuatan tersebut sudah terjebak dalam perbuatan haram, perbuatan dosa.
Sebagai wujud syukur atas kemampuan menulis yang kita miliki, sudah selayaknya kita menggunakan kemampuan menulis tersebut demi kebaikan semua orang. Kita harus memperhatikan kode etik menulis dan memperhatikan rambu-rambu menulis dari sudut pandang aturan Allah dan Rasul-Nya. Selayaknya kita tidak merasa bangga ketika tulisan kita banyak dibaca dan disenangi banyak orang, namun mendapatkan murka Allah, karena isinya bertentangan dengan hukum atau ketentuan Allah.
Meminjam istilah Syaikh Jalaluddin Rumi, seorang ulama sufi, kita harus melakukan aktifitas menulis dengan penuh rasa cinta. Kita melakukan menulis dengan didasari kecintaan kita akan anugerah Allah berupa kemampuan menulis, dengan rasa cinta pula kita menuangkan gagasan atau ide-ide dalam menyampaikan nilai-nilai kebenaran.
Hanya dengan rasa cinta, inspirasi, dan gagasan menulis akan mengalir dari hati menggerakkan tangan kita untuk menuangkannya dalam untaian kata-kata. Tanpa rasa cinta akan anugerah Allah, jangan harap kita akan mampu menuangkan gagasan, ide, atau inspirasi menjadi kalimat-kalimat bernas, enak dibaca, dan bermanfaat.
“Aku tak tulis apa-apa dari cinta. Aku hanya menulis sesuatu dari keindahanmu. Cinta hanya akan mengalirkan kata-kata.” Demikian kata Syaikh Jalaluddin Rumi dalam salah satu sya’irnya
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.