Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firdilla Kurnia

Belajar dari Tragedi Halloween di Itaewon

Info Terkini | 2022-10-31 20:43:43
Photo by Pixabay

Di malam di tanggal (29/10/2022) bertepatan perayaan festival Halloween di distrik Itaewon, Seoul, terjadi tragedi maut. Sekitar 153 orang tewas dan 355 laporan orang hilang. Hal ini memberi luka dalam bagi masyarakat Korea Selatan. Begitu pun juga seluruh dunia tak hentinya memberikan belasungkawa atas tragedi tersebut.

Bencana mengerikan ini terjadi pasca dibukanya kembali pembatasan dan jarak sosial setelah 3 tahun wabah Covid 19 melanda. Euphoria Halloween tak dapat dibendung. Puluhan ribu orang turun ke jalan lalu memadati sekitaran Itaewon, terlebih di gang sempit yang menghubungkan banyak bar dan klub dari jalan utama, menjadi titik utama tragedi maut itu terjadi. Mereka berdesak-desakan lalu diantaranya ada yang terinjak, kehabisan nafas, dan henti jantung.

Tragedi Itaewon pun disorot sebagai bencana terburuk yang pernah dialami Korea Selatan selama bertahun-tahun. Sehingga banyak menimbulkan persepsi, menduga-duga penyebab awal peristiwa ini. Namun, yang lebih mencengangkan dibalik itu semua ada orang-orang yang “having fun”, seakan tidak peduli dengan kejadian besar yang ada di sana. Dibuktikan dari unggahan seseorang, melalui videonya, menampilkan belasan pemuda yang menyanyi sembari menari gembira.

Penulis yang mendapatkan kabar duka ini tak mampu mengendalikan rasa sedih sekaligus kecewa. Kenapa? Korea Selatan memang tidak menetapkan Halloween sebagai hari libur tradisional Korea namun festival ini telah menjadi tradisi perayaan tahunan. Meskipun begitu memang budaya yang berasal dari Barat ini telah lumrah dimeriahkan di seluruh dunia. Nah, ketika tragedi Itaewon yang menelan korban jiwa karena hendak kembali merayakan Halloween ini tidak dijadikan pelajaran bagi orang-orang.

Respon yang diberikan hanyalah bela sungkawa. Dimana-mana menampakkan kesedihan. Bukan berarti penulis tidak sedih dengan berita ini. Kesedihan itu ada tapi tak berlarut. Akan lebih baik mengambil pelajaran dan hikmahnya. Seperti, fakta yang ada bahwa tidak ada yang menyoroti perayaan Halloween-nya dan fenomena apa yang menarik puluhan ribu orang ke distrik Itaewon tersebut..

Bahkan tidak ada yang menyadari kalau peristiwa Itaewon begitu sama dengan tragedi di Kanjuruhan. Tampaknya perbedaanya terletak pada reaksi orang-orang. Pasca insiden Kanjuruhan, dunia dan tak terlepas juga masyarakat Indonesia menilai tragedi tersebut memalukan bagi negara; menampilkan fanatisme berlebihan suporter sepak bola dan pihak berwenang negara yang tidak bertanggung jawab.

Berbeda dengan tragedi yang di Itaewon, dunia menyoroti kalau apa yang melanda Korea hanyalah bentuk kemalangan semata.Tidak ada bentuk kekeliruan dari pihak manapun sehingga tidak ada yang peduli untuk menguak fakta dari segi mana pun untuk insiden ini. Padahal itu akan menjadi faktor penting kalau Kanjuruhan dan Itaewon pun tidak jauh berbeda sama sekali.

Bukankah Kanjuruhan merupakan tanggung jawab negara dan Itaewon pun sama. Negara yang harus menjaga dan memastikan keamanan masyarakatnya. Meski keramaian yang tidak terkendali tidak bisa dihentikan tapi pencegahan di awal bisa disikapi dengan baik dan terencana. Di saat media berkerumunan menyoroti perihal Kanjuruhan karena kelalaian dari banyak pihak, kenapa media tidak menyoroti juga tragedi Itaewon sebagai kelalaian dari biro keamanan dan penertiban setempat yang digerakkan oleh negara?

Penulis bukan merasakan ketidakadilan yang diterima namun hanya tidak menempatkan diri di pihak mana pun. Kanjuruhan juga meninggalkan luka yang sangat mendalam begitu pun Itaewon. Tapi hal yang serupa harus bisa dicegah di masa depan. Dan, fakta yang ada menunjukkan ada perbedaan Indonesia dengan Korea Selatan.

Korea Selatan merupakan negara maju dengan tingkat industri yang begitu pesat dari entertainment hingga teknologi yang mutakhir sehingga berhasil menempatkan posisi yang disegani di mata dunia. Mereka bangkit dengan begitu melesat setelah berusaha sekuat mungkin keluar dari keterpurukan dengan industri hiburannya. Dan negara ini juga mengambil ideologi kapitalisme sebagai penggerak roda perekonomian negara. Oleh karena itu kita tidak bisa mengelak kalau sekarang produk-produk Korea banyak bertebaran dimana-mana dan budaya Korea yang semakin diminati oleh kalangan pecinta hiburan Korea.

Lalu letak masalahnya dimana? Jadi, kalau kita perhatikan Indonesia yang masih dalam tahap negara berkembang dengan Korea yang begitu maju laksana bumi dengan langit. Ngomong-ngomong bukankah diskriminasi antara si kaya dan si miskin ada di tengah-tengah masyarakat kita? Orang-orang akan lebih menaruh perhatian pada pejabat yang berbicara meski topik yang dibawa tidaklah berbobot dibandingkan seorang anak petani yang jelas menemukan fakta terkait pencemaran lingkungan oleh perusahan A atau B? Begitu pun juga perhatian yang berbeda antara Indonesia dengan Korea Selatan. Penulis bermaksud mengarahkan kalau tingkat diskriminasi pun juga bisa diterima antar dua negara yang berbeda.

Kenapa? Karena dunia hari ini tidaklah menunjukkan keadilan yang semestinya. Ideologi kapitalisme yang menjadi poros pergerakan di setiap multidimensi telah mengkotak-kotakkan golongan hanya berdasarkan materi. Sekali pun kebenaran yang kita yakini pasti akan mengalami pertentangan lalu memunculkan konflik. Konsepsi kebenaran ideologi kapitalisme cukup berdasarkan relativisme dengan kepentingan masing-masing. Seperti korupsi bagi masyarakat adalah bentuk perampokan kejam oleh aparatur negara namun bagi para koruptor korupsi adalah jalan yang dibenarkan untuk kepentingan mereka.

Sudut pandang orang-orang akhirnya tercermin dari dua tragedi ini; Kanjuruhan dan Itaewon. Sebenarnya wajar dunia tidak menyalahkan negara Korea atau melarang festival ini untuk dirayakan lagi. Karena posisi negara ini yang begitu kuat dan tragedi Halloween yang tidak dipermasalahkan esensinya oleh dunia.

Lucunya, sistem ini juga memandang ketika ada penyelenggaraan agama, yang paling dekat acara pengajian saja dihalang-halangi karena dapat menumbuhkan bibit terorisme bakal diboikot. Agama dinilai akan memunculkan bibit-bibit perusak kesatuan negara. Wajar karena ideologi kapitalis yang landasannya sekularisme yang menjadi cara pandang orang-orang menilai setiap kejadian di dunia. Sekuler yang memisahkan kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama. Tragedi Itaewon yang tidak berhubungan dengan agama akan cepat ditoleransi tanpa praduga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image