Mengenal Traumatic Bonding Pada Korban Kekerasan
Gaya Hidup | 2022-10-30 21:06:59Kekerasan Dalam rumah tangga (KDRT) banyak terjadi karena berbagai faktor, apakah itu perbedaan sudut pandang, atau masalah ekonomi, dan lain sebagainya. Pada umumnya KDRT ini terjadi pada pasangan wanita.
Secara konsepsi budaya, di Indonesia sendiri memiliki cara pandang budaya patriarki. Budaya yang lebih mengunggulkan nasab laki-laki dan laki-laki sebagai penentu kebijakan dalam rumah tangga.
Umumnya individu yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain cenderung mengembangkan perasaan marah, tidak suka, berontak, atau memilih pergi untuk menghindar dan meninggalkan. Namun, berbeda pada kasus individu yang mengalami trauma bonding atau ikatan trauma.
Apa itu Trauma Bonding?
Melalui artikel bertajuk, “Trauma Bonds, Why People Bond To Those That Hurt Them” Carnes menjelaskan mengenai teorinya mengenai trauma bonding. Secara sederhana, trauma bonding didefinisikan sebagai keterikatan disfungsional terhadap bahaya, eksploitasi, dan rasa malu. Carnes menganggap ketiganya sebagai reaksi terhadap situasi traumatis.
Trauma Bonding adalah hubungan antara orang yang kasar dan individu yang mereka aniaya. Ini biasanya terjadi ketika orang yang dilecehkan mulai mengembangkan simpati atau kasih sayang untuk si pelaku.
Bonding ini dapat berkembang selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan. Tidak semua orang yang mengalami pelecehan mengembangkan trauma bonding.
Dampak terbesar dan terburuk dari trauma bonding ini adalah bahwa perasaan positif yang dikembangkan untuk pelaku dapat menyebabkan seseorang tetap berada dalam situasi yang kasar.
Itu dapat menyebabkan pelecehan terus-menerus, dan kematian paling buruk. Setelah terpisah dari pelaku, seseorang yang memiliki trauma yang melekat pada dirinya dapat mengalami segalanya mulai dari trauma lanjutan hingga harga diri yang rendah.
Satu studi mencatat bahwa dampak pada harga diri berlanjut bahkan enam bulan setelah perpisahan dari pelaku. Selain itu, efek setelah trauma bonding ini dapat mencakup depresi dan kecemasan. Mengalami trauma bonding juga dapat meningkatkan kemungkinan siklus pelecehan antargenerasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.