Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syamsul Rizal Ikhwan

MENANTI LAGU

Edukasi | Friday, 28 Oct 2022, 15:47 WIB

MENANTI LAGU "SUMPAH PEMUDA"

Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita

Tanah air pasti jaya untuk s’lama-lamanya

Dalam suatu kesempatan mengajarkan lagu itu di sebuah sekolah beberapa waktu silam, baru dua baris, ada interupsi yang cukup menarik dari seorang murid.

“Pak, kata Pak Fulan, kita nggak boleh bilang ‘pasti’ untuk sesuatu yang belum bisa kita pastikan !” kata si anak dengan menyebut nama guru agamanya.

“Mestinya ‘insyaAllah’, Pak !” lanjutnya, ditimpali ungkapan bernada setuju beberapa temannya.

Lha.. terus.. jadi lagunya gimana ?” pancing saya.

Tanah air insyaAllah jaya untuk s’lama-lamanya

Gitu, Pak !” katanya dengan lantang bernyanyi.

Mengagumkan dan patut diapresiasi bahwa analisis spontan, on the spot, dan butuh fokus tinggi, muncul dari benak seorang bocah SD. Lugu tapi brilian dan inspiratif, interupsi itu menuntun kami pada saat itu untuk mencoba menguak dan mendiskusikan sekelumit filosofi lagu tersebut.

Saya kembalikan kepada mereka, apa kira-kira yang dapat kita gali atau cermati sang pencipta lagu hendak sampaikan. Seorang temannya membantu memberi penjelasan.

“Kata ‘pasti’ di situ bukan berarti sok tahu atau seakan-akan mendahului Tuhan, tapi menunjukkan kebulatan tekad dan kesungguhan yang berkelanjutan untuk terus berjuang bersama membangun tanah air kita, sehingga timbul keyakinan yang teguh bahwa tanah air kita pasti jaya selama-lamanya.” Kalimat terakhir ini memang saya yang bantu menyusun, tapi seingat saya itulah inti dari penjelasan teman si anak tadi.

Kami pun kembali bernyanyi. Kali ini dari awal hingga akhir lagu, tanpa interupsi lagi.

Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita

Tanah air pasti jaya untuk slama-lamanya

Indonesia pusaka, Indonesia tercinta

Nusa, bangsa, dan bahasa, kita bela bersama

Beranjak dari situ, bangkit keterusikan tentang judul lagu ini yang sejak dulu saya bertanya-tanya, mengapa kebanyakan orang menyebut atau menulisnya hanya "Satu Nusa Satu Bangsa". Bahkan sering juga “Satu Nusa” saja. Ke mana pergi “Satu Bahasa”-nya ?

Dari tahun ke tahun kita nyanyikan di berbagai acara dan upacara ; di sekolah, RT/RW hingga provinsi ; di lapangan, gedung konser hingga gedung wakil rakyat dan istana negara ; bahkan kita search di perangkat sekelas google dan youtube sekalipun ; kita temukan hanya nol-koma-nol-nol-sekian persen saja lagu berjudul “Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa”. Lainnya : “Satu Nusa Satu Bangsa” atau “Satu Nusa”.

Ada apakah gerangan ? Tak pentingkah “Satu Bahasa” ; secara verbal, terlebih hakekat ? Di sisi lain kita tahu, BPPB (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) menetapkan bulan Oktober sebagai 'bulan bahasa'. Tepatnya Bulan Bahasa dan Sastra. Belum pernah kita (saya) dengar istilah ‘bulan nusa’ atau ‘bulan bangsa’. Bukankah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menyiratkan ketiganya (nusa, bangsa, bahasa) ? Sebuah simpul geografis-kultural, di mana bahasa menjadi salah satu unsur perekatnya, yang terikrar dalam kesakralan sumpah ; tak bolehlah dipisahkan. Begitu sulitkah mengucapkan atau menuliskannya ? Terlalu panjangkah ? Ribet ?

Dari pengamatan sekilas dan amatiran yang saya lakukan, plus prasangka baik dan feeling, nampaknya begitulah adanya. Kajian sederhana menyimpulkan, teramat jauh kalau hal ini dikaitkan dengan aspek politik maupun bisnis. Secara naluriah, manusia memang cenderung menyukai sesuatu yang mudah, praktis, dan sederhana. Kita lihat akhir-akhir ini, bahkan sejak lama dan di mana-mana, betapa tumbuh makin subur trend membuat singkatan dan akronim. Misalnya : NKRI, PPKM, covid, curhat, bete, gece, dan sebagainya.

Kalau demikian, supaya ringkas, sekaligus agar inti dan nilai-nilai luhur didalamnya tidak terdistorsi meski “hanya” pada penyebutan dan atau penulisan judul ; maka dengan segala hormat dan kerendahan hati, mungkin kita perlu mengusulkan kepada keluarga pencipta lagu tersebut (almarhum Bapak Dr. Liberty Manik) melalui pemerintah kita, untuk memadatkan judul lagu itu menjadi Satu Nusa Bangsa Bahasa (untuk memudahkan, tanpa koma) ; bisa disingkat menjadi SNBB atau Sansaba, atau silahkan akronim lain yang lebih menarik ; atau menjadi Sumpah Pemuda !

Setahu saya, sampai saat ini belum ada lagu yang memakai judul itu. Kalaupun perlu diciptakan – untuk tujuan terus menggaungkan semangat dari peristiwa dan momen bersejarah yang teramat monumental itu – saya pikir makna dan jiwa yang terkandung dalam lirik, melodi, dan irama lagu “Satu Nusa Bangsa Bahasa” sudah sangat cukup merepresentasikan itu. Apalagi lagu itu sudah terlanjur mengena dan melegenda di hati seluruh anak bangsa ini.

Hanya memang mungkin bisa timbul persoalan apabila suatu saat nanti ada komponis menciptakan lagu dengan judul yang sama (“Sumpah Pemuda”). Bolehlah kita diskusikan lebih lanjut.

Bagaimanapun, judul yang pas (baca: representatif) adalah iklan yang efektif. InsyaAllah pasti !

Cibinong, Oktober 2022

Syamsul Rizal Ikhwan

(Guru dan Praktisi Musik)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image