Apa itu Riba? kenapa diharamkan?
Ekonomi Syariah | Wednesday, 12 Oct 2022, 23:37 WIBSistem pinjam meminjam pada sistem riba ini banyak menguntungkan kaum pemilik modal karena banyak mendapat keuntungan yang lebih dari yang dipinjamkan. Dari adanya riba tersebut sehingga Islam melarang atau mengharamkan adanya riba karena menumbuhkan tradisi shadaqah agar tidak ada yang teraniaya karena adanya riba. Dalam kesamaan antara Bunga dan Riba yang dilarang di Al-Qur’an dan hadits tapi masih banyak umat muslim yang masih bergabung dengan bank konvensional yang menggunakan sistem bunga dalam kehidupan maka dari itu turunlah ayat Allah yang melarang adanya riba yang menyebabkan kemelaratan dan kerusakan dalam kehidupan manusia.
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),2 berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) 3 dan meningkat (al-irtifa'). Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Dikalangan masyarakat sering kita dengar dengan istilah rente, rente juga disamakan dengan “bunga” uang. Karena rente dan bunga sama-sama mempunyai pengertian dan sama-sama haram hukumnya di agama Islam.
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275 :
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.
a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard , yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.
c. Dan Riba Nasi'ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipat gandakan uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.