Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tri Wahyuningsih

Tragedi Kanjuruhan Nestapa Sepak Bola Indonesia

Eduaksi | 2022-10-07 21:53:36

Innalillahi wa inna ilahihi roji’un. Ratusan orang meninggal dunia saat kerusuhan paling berdarah membelah Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10). Ini menjadi catatan duka terbesar dalam sejarah sepakbola Indonesia, bahkan dunia.

Kepolisian Jawa Timur mengatakan, tragedi terjadi saat suporter Arema FC menyerbu turun ke lapangan setelah timnya kalah 3-2 dari Persebaya Surabaya. Kerusuhan tak terelakkan, ratusan petugas berusaha membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata. Padahal, penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan disertai tindak kekerasan kepada suporter yang dalam aturan FIFA tidak diperbolehkan.

Mereka yang panik bergegas mencari pintu keluar hingga berdesakan. Ratusan terinjak-injak bahkan tercekik.

Sebelumnya disebutkan jumlah korban tewas adalah 174 tetapi kemudian data terakhir hingga Minggu sore, korban tewas berjumlah 125, dua di antaranya adalah petugas polisi, dan ratusan lainnya luka-luka.

Peristiwa kelam tersebut bukan kali pertama terjadi di lapangan sepakbola. Kerusuhan demi kerusuhan telah merenggut banyak nyawa para suporter. Tragedi di Stadion Nasional Peru pada 1964, diyakini sebagai tragedy paling mematikan sepanjang sejarah. Insiden ini terjadi pada laga kualifikasi Olimpiade antara Peru melawan Argentina.

Para pendukung Peru memulai kericuhan setelah dua gol timnas mereka dianulir oleh wasit. Kericuhan tersebut membuat 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang lainnya mengalami cedera serius. Mengerikan

Sepakbola Industri Kapitalisme

Sepak bola adalah olahraga yang sangat populer di Dunia. Hampir semua kalangan menggemarinya, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki, perempuan, rakyat biasa hingga pejabat negeri. Mulai dari pelosok desa hingga kota besar ajang sepak bola menjadi hiburan tersendiri untuk masyarakat. Mereka rela berpanas-panasan menonton langsung pertandingan sepak bola, bergadang malam untuk menonton pertandingan melalui layar kaca, bahkan membeli tiket perjalanan dan tiket masuk untuk bisa menyaksikan secara langsung tim favorit mereka bertanding.

Seperti umumnya sebuah pertandingan akan ada yang kalah dan menang. Hal ini biasa, karena sepak bola dan cabang olahraga lainnya hanyalah sebuah permainan. Semangat sportivitas sangatlah dibutuhkan dalam hal ini. Tidak perlu ada sakit hati, dendam, ricuh, apalagi hingga berujung korban jiwa.

Namun pada realitanya, Olahraga sepak bola saat ini tidak bisa dilepaskan dari atmosfer penonton, terutama suporter fanatik yang hadir menyaksikan tim kesayangannya secara langsung. Kehadiran penonton menjadi aset tersendiri karena dari sakunya cuan didapatkan, belum lagi dari penjualan jersey dan merchandise yang tentu membuat permainan si kulit bundar kini menjadi industri yang menggiurkan bagi para konglomerat atau oligarki.

Kehadiran suporter fanatik sebenarnya hanya pemantik dari adanya kapitalisasi dalam dunia olahraga paling populer tersebut. Sebut saja kehadiran Ultras di Italia dan Holigan di Inggris yang ditengarai sebagai bentuk perlawanan atau invasi terhadap kapitalisme sepak bola di benua Eropa. Mereka menyebar ke berbagai negara untuk memberikan posisi tawar bahwa kehadiran penonton di setiap pertandingan tidak boleh diremehkan atau menjadi korban “pemerasan” kaum kapitalis.

Harus disadari bersama bahwa sepak bola saat ini sudah bukan lagi sekadar olahraga, namun telah dijadikan olahdana bagi para kapitalis sebagai lahan bisnis yang menggiurkan dan kadang juga menjadi alat politik kekuasaan untuk meraih popularitas. Tidak mengherankan banyak pejabat atau politisi jor-joran menghidupi dunia sepak bola. Semisal Erick Thohir yang pernah menjadi bosnya klub besar Internazionale Milan (Inter Milan), Italia dan sekarang sedang bermanuver ingin membeli klub League One Inggris, Oxford United, bersama Anindya Bakrie.

Fanatisme Membahayakan Peradaban

Kasus kanjuruhan semestinya cukup menjadi bahan muhasabah bagi masyarakat di negeri Muslim terbesar ini. Nyatanya, ada bahaya besar yang mengancam peradaban di balik industrialisasi perhelatan sepak bola dan bisnis hiburan lain yang lumrah di era sekarang.

Bayangkan saja, ratusan juta rakyat terutama generasi muda terobsesi pada permainan yang sia-sia. Waktu, tenaga, uang, pikiran bahkan nyawa siap dipertaruhkan demi membela klub yang dicintainya (Fanatisme).

Sikap Fanatisme terhadap tim kesayangannya memang sengaja dipelihara oleh kaum borjuis karena sebagai industri bidang olahraga harus bisa meraup cuan sebanyak mungkin. Sekali pun beberapa tim elite dunia sering mengadakan tour amal, namun kenyataannya tidak bisa dilepaskan sebagai iklan eksistensi dirinya sebagai klub profesional yang serba komersial. Maka, para suporter lagi-lagi yang dikeruk hartanya untuk membeli berbagai produk berupa jersey atau aneka aksesoris dengan hak cipta yang mahal harganya.

Alangkah buruknya dampak sekularisme dan liberalism pada fitrah manusia. Hingga para penguasa, mengorbankan rakyat, khususnya para pemuda, demi bisnis hiburan yang dipandang punya daya ungkit terhadap perekonomian negara. Lebih tepatnya, pada perekonomian sekelompok pemilik modal.

Pandangan Islam

Islam membolehkan berolahraga dalam rangka menjaga kesehatan, kebugaran, dan keterampilan bagi kaum muslim. Dalam Islam, tidak dibenarkan permainan yang menimbulkan kesia-siaan. Allah Swt. berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)

Bermain, berolahraga, dan bersenda gurau, sebenarnya tidak mengapa asalkan permainan tersebut tidak melalaikan tujuan hidup kita di dunia. Jangan sampai kita terjebak dalam lahwun munazhamun hingga terlena dan berbuat sia-sia.

Lahwun munazhamun ialah permainan atau hiburan yang diatur sedemikian rupa dengan berbagai jenis program dan waktu penyelenggaraannya. Ditunjuklah sejumlah pegawai, staf manager, dan penanggung jawab sehingga menjadi suatu misi yang penting di mata para perencana dan pengaturnya. Dalam hal ini, contoh lahwun munazhamun ialah sepak bola.

Imam Asy-Syathibi menyatakan, “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah atau boleh asal tidak terdapat suatu hal yang terlarang.” Selanjutnya beliau menambahkan, “Namun demikian, hal tersebut tercela dan tidak disukai oleh para ulama. Bahkan, mereka tidak menyukai seorang lelaki yang dipandang tidak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya di dunia dan tempat kembalinya di akhirat kelak karena ia telah menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan yang tidak mendatangkan suatu hasil duniawi dan ukhrawi.”

Islam mengarahkan umat terlibat dalam kegiatan produktif yang memberikan manfaat di dunia dan akhirat, seperti menimba ilmu pengetahuan, tsaqafah Islam, berdakwah, dan berjihad di jalan Allah. Negara juga menganjurkan olahraga yang memberi keterampilan bagi kaum muslim sebagai bekal jihad.

Namun, Islam melarang fanatik terhadap golongan. Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)

Islam tidak membedakan antara suku, kelompok, golongan, mazhab, dan bangsa. Islam melarang berbangga-bangga atas kesukuan atau golongan. Islam menghargai perbedaan. Berbeda bukanlah alasan untuk saling memusuhi, mencela, dan menghina. Andai tidak ada fanatisme, tentu tidak perlu ada harga atas nyawa manusia.

Dalam pelaksanaan setiap kegiatan olahraga, peran negara sangat penting untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi penikmatnya. Fungsi aparat keamanan ialah mengayomi dan memberi perlindungan kepada rakyat, bukan memberi rasa takut dan bertindak kasar lagi keras.

Tragedi Kanjuruhan memberi pesan penting bagi kita semua bahwa tidak layak nyawa melayang hanya karena permainan (sepak bola). Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dunia ini dan seisinya hancur lebur itu lebih ringan di sisi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai)

Wallahu’alam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image