Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kamaruddin

Perlindungan Sosial Masih Menjadi Strategi Pemerintah Dorong Ketahanan Sosial

Gaya Hidup | Thursday, 29 Sep 2022, 12:45 WIB
Webinar Regional Peran Pemerintah untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Warga Rentan (Pelaksanaan Bantuan Sosial di Situasi Pandemi Covid-19).

Banda Aceh - Bantuan sosial bisa dipandang dari berbagai perspektif, bantuan sosial secara umum sebagai hak dasar warga negara. Hal itu melekat, berlaku secara universal setiap warga negara berhak mendapatkan bantuan sosial baik dalam bentuk jaminan maupun bantuan sosial.

Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, menjelaskan jika melihat data pemerintah terkait dengan program pemulihan ekonomi nasional, perlindungan sosial termasuk porsi yang cukup besar. Di tahun 2020 porsinya paling besar dari sekitar Rp695,2 triliun, untuk perlindungan sosial Rp216,9 triliun. Tahun 2021 Rp744,7 triliun, untuk perlindungan sosial Rp186,6 triliun, dan di tahun 2022 Rp455,6 triliun, untuk perlindungan sosial Rp154,8 triliun.

"Jadi perlindungan sosial masih menjadi strategi pemerintah untuk mendorong ketahanan sosial maupun ekonomi masyarakat dari dampak pandemi Covid-19. Bukan rahasia umum bansos selalu bermasalah baik dari segi tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah dan tepat administrasi," kata Yunu dalam Webinar Regional Peran Pemerintah untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Warga Rentan (Pelaksanaan Bantuan Sosial di Situasi Pandemi Covid-19), Kamis, 15 September 2022.

Sebelumnya, kata Yunu, muncul di berita temuan sementara BPK bahwa bansos tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan potensi kerugian negara yang cukup besar hingga Rp6,93 triliun. Itu menjadi indikasi ada hal-hal yang secara administrasi masih belum tepat.

"Kemudian juga prakerja ada kemungkinan tidak tepat sasaran ada yang layak dan tidak layak. Bantuan subsidi upah juga ada yang tidak berhak menerima. Dana desa juga masih bermasalah," ungkap Yunu.

Ia mengatakan kebijakan dan program bansos di Indonesia program bansos ada yang bersifat lanjutan, modifikasi atau adaptasi dari program sebelum pandemi. seperti program PKH, kartu sembako, KIP sekolah KIP kuliah PBI dan BPJS. Itu dilanjutkan pemerintah dari sebelum pandemi sampai sesudah pandemi. Modifikasi terhadap jumlah penerimanya, durasinya dan nilai yang diberikan.

Tetapi, lanjutnya, dia juga melihat beberapa terobosan pemerintah untuk mengeluarkan program-program yang baru sifatnya ketika pandemi terjadi seperti BLT dana desa, bansos tunai, sembako, diskon listrik, kartu prakerja, bantuan internet guru dan siswa, bantuan subsidi upah untuk guru honorer, subsidi gaji dan BLT minyak goreng.

"Semuanya memiliki metode penyaluran yang tidak seragam meskipun berniat sama tetapi dilakukan secara perfakmentasi dan metode yang beragam," jelas Yunu.

Menurutnya, permasalahan klasik bansos di Indonesia yang belum tertuntaskan yaitu bansos terbukti tidak merata. Jadi pemerintah sudah menginisiasi program satu data, meta datanya bisa dipertukarkan, pengumpulan datanya bisa dikumpulkan, yang digunakan oleh kementerian atau lembaga.

"Masih dilakukan dengan metode metode yang masih begitu-begitu saja tidak ada perubahan dan permasalahannya akan terulang kembali saat penyaluran bansos," tegas Yunu.

Menurut kajian Yunu, dari dua puluh empat regulasi terkait kebijakan bansos apa sudah berspektif gender, pihaknya menemukan masih sangat jauh. Jadi, desain kebijakan bansos belum mengadopsi dan sensitif gender maka implementasi di lapangan bansos yang non tunai itu akan netral gender dan belum mengakomodir kebutuhan dan kepentingan gender itu sendiri.

"Perempuan dan anak sering menjadi sasaran bansos, tapi banyak bansos yang tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan jika itu berbentuk barang. Lansia menjadi masalah besar yang masih diabaikan, karena lansia terus bertambah jumlahnya," ungkap Yunu.

Untuk itu, Yunu berharap ada peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam mengawal bansos di Indonesia. Dimulai dari desain kebijakan regulasi dan penyaluran di lapangan. Bagaimana ke depan CSO bisa berkontribusi dan memperbaiki bantuan sosial atau mendorong pemerintah agar menjalankan skema bansos yang lebih kondusif lebih tepat bagi kelompok rentan.

"Kita belajar dari pandemi bahwasanya menu bansos mulai beragam tapi masih berorientasi pada tingkat kemiskinan belum pada sisi kerentanan," tuturnya.

Penanggap, Icsan Arifin Siregar, mengatakan kendala bansos saat ini adalah di data yang, database belum komprehensif. Aplikasi yang ada juga belum optimal, sehingga pemanfaatannya juga belum optimal.

"Inilah yang menjadi masalah besar. Dinas sosial didorong oleh Kemensos, bagaimana kita mengaktifkan dan mengupgrade operator, supaya solusi data jelas, karena kita tau mana yang benar miskin dan tidak renta atau tidak," ungkap Icsan.

Icsan menyampaikan Kadis dan tim di Dinas Sosial (Dinsos) terus melakukan evaluasi, apa yang menjadi persoalan-persoalan. Strategi pertama adalah data, karena data sumber pengambilan kebijakan, ke depan apa yang mau dilakukan tentunya dari data baik dari kebijakan dan keuangan.

Demisioner Dewan Pengurus Flower Aceh, Khairani Arifin, mengatakan hasil kajian ini sangat komprehensif bisa menggambarkan berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan program-program bantuan sosial yang telah diperoleh oleh pemerintah.

"Bantuan sosial dari berbagai skema kita lihat belum mampu untuk merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik misalnya apakah memungkinkan untuk mengurangi angka kemiskinan kemudian membuat masyarakat desa bertahan dan sebagainya," ujar Khairani.

Khairan menegaskan selain data, sebenarnya perlu juga data terpilah gender. Karena di Indonesia diketahui persoalan ketidakadilan gender itu memang menjadi persoalan utama dan besar. Jadi, penduduk perempuan miskin di indonesia di tahun 2020 ada disekitar 9,96% jumlah penduduk miskin, dan diketahui ada banyak rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan.

"Kerentanan perempuan semakin besar baik karena pandemi kemudian dampaknya sampai sekarang. Dengan persoalan yang begitu banyak angka perempuan miskin yang ada di Indonesia. Pemerintah tidak bisa melihat bansos secara general, harus ada upaya yang bentuknya afirmasi dan bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan, kelompok khusus yang tidak bisa digeneralkan," tegasnya.

Direktur Eksekutif JARAK Indonesia, Misran Lubis, menyebutkan ada beberapa yang menjadi catatannya dalam konteks kajian ini sebagai penggiat perlindungan anak. Ia mengapresiasi untuk kajian ini yang komprehensif tetapi menjadi pertanyaan bagi kita sejauh mana pemerintah mau memperbaiki diri dari kajiannya.

"Saya sepakat kajian ini mengubah paradigma bahwa sejauh mana kita melihat kesejahteraan rakyat. Ada kelemahan kita dalam melihat skema bantuan sosial ini yang tidak mainstream anak gender," ucapnya.

Kemiskinan yang dialami anak, kata dia, lebih tinggi daripada kemiskinan orang dewasa dan ini harus spesifik karena dalam satu keluarga populasi anak bisa lebih banyak daripada orang dewasa. Kemiskinan anak juga pada label tertentu berbeda sehingga harus dilihat kebutuhan untuk mengatasi ketahan sosial anak pada usia 0-5 tahun kemiskinan yang dialami anak adalah kesehatan dan tempat tinggal. Kemudian pada usia 6-17 tahun kerentananan anak ada di pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal.

"Semakin tinggi usia anak maka akan banyak variasi yang dialaminya. Dan hal ini masih dilihat oleh skema-skema bantuan sosial. Itu konteks anak yang harus dilihat oleh penyalur bansos," tutur Misran.

Kemudian, lanjutnya, ia melihat penyalahgunaan wewenang pemberi bantuan. Harus dimaklumi jika bantuan dijadikan transaksional politik. Inilah yang harus diperbaiki juga, skema bantuan sosial.

Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan berbagai pandangan ini disampaikan pada webinar regional barat kerjasama O-EVOLVE bersama Impact Plus, Flower Aceh dan Jejaring Lokadaya tentang Peran Pemerintah untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Warga Rentan: Pelaksanaan Bantuan Sosial di Situasi Pandemi Covid19 yang dimoderasi oleh Direktur Eksekutif Flower Aceh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image