Delik Pers: Ranjau bagi Pers
Politik | 2022-09-25 15:59:59Seorang wartawan, yang mana merupakan seorang praktisi pers, tentunya wajib melaksanakan tugasnya sebagai “kepercayaan masyarakat”, sehingga apa yang ia beritakan haruslah sesuai dengan kode etik jurnalistik. Maka dari itu, seorang wartawan haruslah mengetahui dan menaati kaidah-kaidah etika jurnalistik tersebut. Wartawan sebagai praktisi pers wajib melaksanakan tugasnya tidak hanya secara benar, tetapi juga secara baik.
Wartawan yang melaksanakan tugasnya secara benar adalah wartawan yang mengutamakan ketepatan, keadilan, dan menggunakan sumber-sumber terpercaya dan kompeten, serta menghormati asas praduga tak bersalah dan hak privasi orang lain. Sedangkan wartawan yang baik adalah wartawan yang selalu menyiapkan dirinya sebelum terjun ke lapangan.
Jika saja seorang wartawan melanggar kode etik dan tidak mempertimbangkan kaidah etika dalam menjalankan tugasnya, maka tindakan wartawan tersebut dapat dikenakan pidana. Hal ini biasanya disebut sebagai delik pers. Delik pers merupakan tindakan atau perbuatan terlarang dan melanggar hukum yang dilakukan oleh praktisi pers dan dapat dikenakan hukum pidana. Perbuatan pers digolongkan sebagai delik pers adalah ketika:
1. Adanya penyebarluasan gagasan melalui barang cetakan.
2. Gagasan yang disebarluaskan harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
3. Gagasan yang disebarluaskan dan dapat dipidanakan, harus dapat dibuktikan telah dipublikasikan.
Delik pers ini dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yakni:
1. Delik Biasa
Delik biasa merupakan tindak pidana pers yang muncul tanpa adanya pengaduan atau laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Delik biasa ini muncul biasanya berkaitan dengan lembaga kepresidenan atau pemberitaan yang dianggap menghina presiden atau wakilnya.
2. Delik Aduan
Delik aduan merupakan tindak pidana pers yang muncul karena adanya aduan kepada pihak kepolisian. Selama tidak ada pihak yang mengadu, pers atau wartawan tidak bisa digugat, dituntut, atau diadili. Jadi, delik aduan adalah tindak pidana yang diproses berdasarkan adanya laporan.
Bentuk dari delik pers ini dapat berupa pencemaran dan penghinaan nama baik. Hal ini yang kerap dijadikan sebagai senjata untuk melawan media massa. Seseorang bisa dengan mudahnya menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baik hanya karena ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Kasus seperti ini sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers.
Pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dimuat dalam KUHP dengan ancaman hukuman bervariasi, yakni:
1. Pasal 134, 136, 137
Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden : Pidana 6 tahun penjara.
2. Pasal 142
Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara : pidana 5 tahun penjara.
3. Pasal 143, 144
Penghinaan terhadap wakil negara asing : pidana 5 tahun penjara.
4. Pasal 207, 208, 209
Penghinaan terhadap Pengusaha dan Badan Umum : pidana 6 bulan penjara.
5. Pasal 310, 311, 315,316
Pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan dengan tulisan : pidana 9 dan 16 bulam penjara.
6. Pasal 317
Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu : pidana 4 tahun penjara.
7. Pasal 320, 321
Penghinaan atau pencemaran nama orang mati : pidana 4 bulan penjara.
Sedangkan, dalam pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat disebarkannya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.” Hal ini dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal 1 miliar rupiah.
Inilah yang dijuluki masyarakat sebagai “pasal karet” karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih lagi jika pelanggaran tersebut berkaitan dengan Presiden, wakil Presiden, dan instansi negara. Itulah mengapa pers sering berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.