Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ihsan

Televisi di Jakarta Wajib Menayangkan Konten Betawi

Teknologi | Saturday, 24 Sep 2022, 13:31 WIB

Masyarakat Betawi patut bergembira dengan hadirnya digitalisasi televisi. Lahirnya sejumlah stasiun televisi baru di Jakarta sebagai hasil digitalisasi televisi membuka peluang untuk konten-konten lokal Betawi semakin sering menghiasi layar kaca. Hal tersebut sesuai dengan regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran yang mewajibkan setiap stasiun televisi untuk menayangkan konten lokal dengan jumlah sekurang-kurangnya 10 persen dari seluruh waktu siaran per hari di setiap wilayah siarannya. “Dan untuk stasiun televisi yang bersiaran di wilayah Jakarta, maka konten lokal yang wajib disiarkan adalah konten-konten tentang kebetawian,” tegas Hamdani Masil dalam Seminar Penguatan Konten Lokal di Era Digitalisasi yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jakarta bekerja sama dengan Universitas Bunda Mulya, di Jakarta Jumat lalu.

Sayangnya, lanjut Hamdani, kewajiban menayangkan konten lokal tersebut masih banyak mengalami kendala di lapangan. Meskipun secara kuantitas hampir seluruh stasiun televisi yang bersiaran di Jakarta sudah melaksanakan kewajiban tersebut, namun menurutnya dari aspek kualitas masih banyak persoalan. “Banyak konten lokal Betawi yang masih menampilkan gambaran yang keliru tentang orang Betawi,” ujar mantan Ketua KPID Jakarta tersebut. Ia memberi contoh masih seringnya sinetron bernuansa Betawi yang menggambarkan karakteristik orang Betawi secara stereotip seperti kurang berpendidikan, tukang kawin dan bicara kasar.

Menurutnya, hal tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat Betawi, dan merugikan penonton televisi secara umum karena mendapatkan informasi yang salah. Hamdani menjelaskan kenyataan tersebut disebabkan karena konten-konten Betawi pada umumnya digarap oleh orang-orang yang memang bukan Betawi dan kurang memahami sepenuhnya tentang aspek sosial, budaya, sejarah dan psikologis Betawi. Padahal, dalam rumusan pengertian tentang konten lokal yang dimuat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP/SPS) oleh Komisi Penyiaran Indonesia, disebutkan bahwa konten lokal haruslah dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran lokal. Beleid ini mengisyaratkan perlunya keterlibatan orang Betawi dalam setiap produksi program yang bernuansa Betawi.

Sayangnya beleid ini sulit untuk terwujud karena hampir semua TV Berjaringan di Indonesia menjadikan stasiun di Jakarta sebagai induk jaringan yang harus “melayani” penonton nasional. Akibatnya, batasan tentang konten lokal dan SDM lokal menjadi kabur. Namun demikian, menurut Hamdani, di sinilah peran KPID Jakarta dibutuhkan, agar kepentingan masyarakat Betawi terhadap konten lokalnya tetap dapat diakomodir oleh lembaga penyiaran. Misalnya saja dengan penandatanganan komitmen setiap penyelenggara penyiaran pada saat permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) atau Perpanjangan IPP untuk memenuhi kewajiban konten lokal Betawi yang digarap sesuai dengan kepentingan masyarakat Betawi. Selain itu KPID Jakarta juga dapat memberikan prioritas izin untuk pemohon yang memiliki komitmen kuat untuk mengisi siarannya dengan konten Betawi.

Hamdani juga menyatakan salah satu alasan kuat untuk mendorong konten lokal Betawi hadir di stasiun televisi adalah lahirnya Perda No.4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, yang diikuti keluarnya Pergub No.229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi dan Pergub No.11 Tahun 2017 tentang Ikon Betawi. Dalam peraturan tersebut antara lain dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai kewajiban untuk menjaga kelestarian budaya Betawi antara lain melalui sosialisasi dan publikasi nilai-nilai tradisi budaya Betawi. Salah satu media yang paling efektif untuk melakukan itu adalah melalui televisi. Selain itu, dalam peraturan tersebut, kata Hamdani, sudah sangat lengkap apa saja yang bisa digarap sebagai konten lokal Betawi, yaitu kesenian, kepurbakalaan, permuseuman, kesejarahan, kebahasaaan dan sastra, ada istiadat, kepustakaan, kuliner, ornamen dan arsitektur. “Sumber konten Betawi sangat melimpah dan sangat menarik untuk diangkat sebagai tontonan televisi,’ ujar Hamdani yang pernah malang melintang di industri televisi nasional tersebut.

Sementara itu Bambang Pamungkas, komisioner KPID Jakarta yang juga menjadi narasumber di acara yang sama menyatakan bahwa kewajiban menayangkan konten lokal minimal 10 persen sebenarnya sangat kurang. Berdasarkan pengamatannya stasiun televisi di Malaysia mengisi 80 persen siarannya dengan konten lokal. Sementara di Selandia Baru mencapai 55 persen dan di Italia konten lokal mencapai 40 persen. “Semua konten lokal di negara-negara tersebut ditayangkan pada jam tayang utama, sedangkan di Indonesia konten lokal cuma 10 persen dan ditayangkan umumnya pada dini hari alias jam hantu,” ujar Bambang.

Velantin Valiant, Kepala Departemen Produksi JakTV yang juga menjadi narasumber menyatakan salah satu kendala yang dihadapi stasiun TV untuk menayangkan konten lokal adalah sponsor. Banyak konten lokal yang penontonnya kurang sesuai dengan target market produk sponsor. Akibatnya banyak konten lokal yang sepi iklan dan pada gilirannya konten tersebut dihentikan penayangannya. Namun demikian, Velantin juga mengakui bahwa konten-konten lokal sebenarnya cukup memiliki potensi untuk meraih penonton karena faktor kedekatan atau proximity dengan penontonnya.

Sementara itu nara sumber lainnya, Teguh Hidayatul Rachmad, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia mencoba melibatkan mahasiswa untuk mengangkat konten lokal. Bersama mahasiswa bimbingannya, ia kini mencoba membuat film dokumenter tentang silat asli Betawi Rompes di kawasan Condet, Jakarta Timur. Melalui kegiatan ini ia berharap akan lahir konten Betawi yang nantinya bisa menghiasi layar kaca stasiun-stasiun televisi.

Acara seminar yang digagas KPID Jakarta ini bertujuan untuk menyambut digitalisasi televisi yang dicanangkan pemerintah. KPID Jakarta telah melakukan kegiatan serupa dengan berbagai perguruan tinggi di Jakarta. “Kami berkeliling dari kampus ke kampus karena mahasiswa merupakan elemen yang sangat strategis untuk keberhasilan program digitalisasi televisi, baik sebagai penonton maupun sebagai content creator yang nantinya akan menjadi pelaku utama di industri televisi nasional,” jelas Kawiyan, ketua KPID Jakarta. Seminar di UBM dibuka oleh Ibu Kandi Sofia Senastri Dahlan, MBA, Ph.D selaku Wakil Rektor bidang akademik Universitas Bunda Mulia, dan diikuti oleh mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi UBM. (HM)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image