Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Kamil

Gontor: Pendidikan Berbasis Kemanusian dan Keberagamaan

Kabar | Monday, 19 Sep 2022, 19:31 WIB

MUHAMMAD ABDUL GHONI; Alumni KMI Pondok Modern Gontor 2002, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern 2006

“Nak, kamu tetap di Gontor sampai lulus, engkau akan mendapatkan banyak keberkahan” pesan ibu.

Berbicara tentang Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) yang didirikan oleh Trimurti; K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie dan K.H. Imam Zarkasyi pada 20 September 1926 atau bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345 H, tidak dapat dipisahkan dari pengalaman seseorang yang menuntut Ilmu disana. Pengalaman tersebut, tentu akan berbeda-beda, pengalaman santri yang belajar 1 tahun atau 2 tahun akan berbeda dengan pengalaman santri yang sampai lulus pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Tidak semua pertanyaan dan pengalaman pendidikan di Gontor dapat dijelaskan dengan lisan atau tulisan. Maka tidak mengherankan, jika sekaliber Imam Al-Ghazali tidak dapat menjawab semua pertanyaan dan persoalan yang diajukan kepadanya. Hal ini tertulis dalam karyanya “Ayyuhal Walad” ( Wahai Anakku) Karya Imam Al Ghazali, ketika sang Imam di tanya tentang berbagai macam pertanyaan dan persoalan. Sang Imam hanya dapat menjawab sebagian pertanyaan dan tidak dapat sebagian lainnya. Adakalanya pertanyaan dan persoalan tersebut bersifat nilai rasa (dzauqiyah) yang hanya dimengerti oleh pelakunya, seperti tentang rasa manis atau pahit yang tidak bisa dimengerti, kecuali dengan merasakannya. Maka mustahil orang yang tidak sampai pada kondisi tersebut, dapat mengerti dan memahami.

Pendidikan di gontor tidak hanya transfer ilmu, namun transfer nilai-nilai kebaikan. Hubungan batin sang guru dengan murid terjalin seperti bapak dengan anaknya. Bagi Gontor jiwa (ruh) seorang guru lebih penting daripada materi, dan metode pembelajaran. Disiplin, administrasi adalah pendukung bagi keberlangsungan system Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG). Maka tidak mengherankan apabila salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), Kyai Imam Zarkasyi dalam Biografi K. H Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern yang diterbitkan oleh Gontor Press, mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, dengan kyai sebagai sentral figurnya, masjid sebagai titik pusat kejiwaannya. Suatu pendidikan dengan keteladanan, apa yang dilihat, di dengar, dan dirasakan adalah pendidikan untuk membuat seseorang menjadi insan kamil ( Manusia yang sempurna) yang baik dengan nilai-nilai panca jiwa pondok: Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa berdikari, Jiwa ukhuwah Islamiyyah, Jiwa kebebasan.

Aktivitas kehidupan gontorian ( sebutan untuk santri dan alumni gontor) yang padat dari bangun tidur sampai dengan tidur lagi, diisi dengan berbagai macam aktifitas yang bermanfaat. Kehidupan tanpa henti, tidak mengherankan apabila almarhum kyai Imam Badri selalu mengatakan bahwa pondok tidak pernah tidur. Tentu hal ini sangat benar, sebagai lembaga pendidikan yang mendidik pemuda bangsa tidak membiarkan santrinya menganggur sedikitpun. Karena Gontor, mengerti dengan benar bahwa masa muda, kekosongan, dan kekayaan adalah sumber kerusakan bagi seorang pemuda. Hakekat kehidupan adalah bergerak, ketika tidak bergerak maka berhenti, dan ketika berhenti, maka tanda kematian, ujar almarhur Ustaz Dr. Dihyatun Masqon. Pimpinan pondok Modern Darussalam Gontor almarhum Dr Abdullah Syukri Zarkasy sering menekankan akan pentingnya hidup progresif dan tidak boleh menganggur sedetikpun, bagi beliau keberkahan hidup ada dalam kegiatan yang bermanfaat bagi sendiri, keluarga, dan masyarakat.

“ Bergeraklah! karena di dalam pergerakan ada berkahnya, dan sesungguhnya berkah itu tentu dalam setiap gerakan, dan setiap gerakan tentu ada berkahnya”. Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasy, M.A

Gontor memberikan kebebasan bagi santrinya, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain dan aturan yang ada. Kedisiplinan di gontor merupakan batasan-batasan untuk santrinya agar tetap berkreasi, berinovasi namun tetap pada khittah Panca Jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor. Kebebasan yang terbatas dengan fondasi panca jiwalah yang membuat Gontor memiliki dimensi-dimensi pendidikan holistik yang unik, keseimbangan antara pendidikan intelektual dan spiritual, pendidikan kemanusiaan dan keberagamaan.

Sunah dan disiplin di Gontor untuk membuat kehidupan pondok teratur dan keberlangsungan pondok. Sunnah dan disiplin bukan hanya aktifitas keberagamaan, namun juga tingkah laku, sikap, integritas dan moralitas. Dalam pandangan gontor, semua aktifitas yang dibingkai dalam sunnah pondok dan disiplin adalah bagian dari Ibadah. Segala sesuatu yang membuat Allah ridha dan senang adalah Ibadah.

Disiplin merupakan kekuatan yang ditanamkan oleh para guru dalam jiwa santri agar terbiasa dalam kebaikan, tunduk, dan patuh terhadap aturan-aturan yang membawa keberhasilan santri dalam menuntut Ilmu. Disiplin di Gontor tidak bersifat kekerasan, namun sentuhan jiwa seorang guru atau senior kepada santri atau adik kelasnya. Teringat dibenak penulis, ketika suatu hari, almarhum kyai Imam Subakir Ahmad, M.A mencari santrinya diatas mimbar Masjid. “aina Abdul Ghoni hal huwa minal Ghoibin ( Dimana Abdul Ghoni, apakah dia tidak hadir), sang santri ternyata ghaib”. Kemudian beliau meminta santri tersebut untuk menghadap kepada beliau. Sang santripun mendapatkan kabar dari temannya, agar menghadap sang Kyai. Dengan rasa was-was, sungkan dan enggan sang santri datang menemui gurunya. Sebuah nasehat yang menyentuh jiwa, agar santri istiqamah dalam beribadah, dan mengingatkan akan pentingnya ujian dan sekolah, masa depan kamu ada dalam ujian. Jika kamu lulus dalam ujian, baik sekolah atau kehidupan, maka kamu akan menjadi orang mulia, namun sebaliknya jika kamu gagal, maka kehidupan kamu dapat menjadi tidak mulia. Selintas nasihat itu sederhana, namun nasihat yang keluar dari panca jiwa tersebut, membekas dalam relungan batin yang mengantarkan kepada kesuksesan menempuh program Doktoral. Benarlah kata ibnu Atha’illah assakandari dalam kitab “alhikam”

“Cahaya orang alim dan bijaksana mendahului kata-katanya. Jika batin orang alim dan bijaksana telah mendapatkan ma’rifat, maka kata-kata mereka akan sampai kedalam hati pendengarnya.”

Disiplin di gontor, tidak selalu punishment bagi yang melanggar, namun suatu proses pendidikan yang membuat santri lebih baik dan teratur dalam hidupnya. Misalkan, ada santri terlambat sholat subuh, tidak dihukum pukulan atau cambukan rotan, atau kekerasan fisik lainnya, karena hukuman tersebut haram bagi gontor dan semua santri mengetahui aturan tersebut. Namun penugasan tirakat berjamaah subuh bagi santri selama 40 hari.

Pendidikan Gontor adalah memanusiakan manusia agar lebih mengerti akan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dengan selalu optimis mejalankan pengabdiannya pada Allah. Disiplin dan aturan di Gontor tidak kaku, tetap menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan dan sunnah pondok pesantren modern. Adakalanya mendahulukan sisi-sisi kemanusia sebelum keberagamaan. Memberikan ruang kebebasan sesuai dengan kemampuan dan keadaan santri. Masih teringat ketika kami kelas 5 KMI, Ayah kami menjaminkan dirinya untuk kami, karena ayah tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar pendaftaran ulang dibulan syawwal, beliau menemui pengasuhan al-Ustadz Witoto menyampaikan kendala dan masalah yang kami dihadapi, beliau memahami dan memberikan tenggang waktu untuk melunasi pendaftaran ulang.

Kebiasaan pengasuhan pondok Modern Gontor, bertanya sebelum memberikan tindakan kepada santri yang melanggar, seperti layaknya seorang dokter bertanya tentang keluhan pasien atas sakitnya. Ada dielektika, penghormatan atas hak santri untuk memberikan pembelaan dan menjelaskan keadaan. Tidak semua pelanggaran dihukum dengan tindakan, namun adakalanya dimaafkan. Misalnya ketika seorang santri yang terlambat bangun subuh dipagi hari, setelah semalaman mempersiapkan acara pekan perkenalan pondok, dengan lembut sang pengasuh hanya membangunkan dan mengingatkan akan Ibadah dan program pondok yang wajib. Karena pengasuh memahami keterlambatan santri dipagi hari tanpa disengaja, dan teringat pada hadist nabi “ Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok : Orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah dan orang gila hingga berakal” [HR Ahmad, Addarimi dan Ibnu Khuzaimah]

Pendidikan Gontor memberikan optimisme bagi santrinya untuk mengukir prestasi, bukan prestige. Alumni gontor tidak boleh malu untuk mengajar iqra’ disurau atau masjid desa terpencil, karena indikator kesuksesan alumni gontor adalah kemanfaatan bagi manusia dan keikhlasan dalam berkarya untuk Allah, sang pencipta alam. Imam Abu Thalib Al Makki dalam kitabnya Qutu al-Qulub meriwayatkan tentang khabar masyhur “Niatnya seorang muslim lebih baik dari amal atau pekerjaannya” Abdul rahim bin Yahya al aswad menjelaskan bahwa” keikhlasan dalam bekerja lebih penting dari pada pekerjaan tersebut”.

Gontor tidak membedakan antara santri yang berasal dari keluarga kaya atau miskin, pintar dan tidak pintar. Teringat suatu pertanyaan kepada almarhum Ustaz Dr Dihyatun Masqon seorang guru di Gontor, apakah saya dapat menjadi Doktor, sedangkan ayah dan ibu saya orang kecil; hanya penjual jamu dan pedagang bakso.” Dengan senyumnya yang khas beliau menjawab: “Sangat bisa, bahkan mungkin dapat menjadi doktor muda di usia 30 an”

Pendidikan Gontor adalah menebarkan salam kedamaian bukan kekerasan, apalagi kematian, sesuai dengan namanya Darussalam (Kampung Damai), Memberikan Santri dan masyarakat, serta stakeholder agar tetap pada tali silaturrahim kemanusiaan dan kebangsaan, serta keberagamaan. Memberikan makan bagi mereka yang lapar akan keilmuwan, panca jiwa : Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa berdikari, Jiwa ukhuwah Islamiyyah, Jiwa kebebasan untuk menuju manusia yang baik dan sempurna. Tempat untuk bertirakat ( Belajar, berdisiplin, sholat malam, puasa, etc), Maka Gontorian akan mencapai suksesan atau keberuntungan ( falah), baik di dunia dan akherat.

Gontor selalu menjunjung hadist nabi, "Wahai manusia! Sebarkanlah salam, sambunglah silaturrahmi, berilah makanan, dan salatlah ketika orang-orang tidur, kalian pasti masuk surga dengan selamat." (H.R Ibnu Mājah) dan hadist ‘‘Amr bin Abasah al-Sulami sebelum memeluk agama Islam Islam ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw : siapa engkau? Nabi Saw menjawab; saya Nabi, kemudian ia (Amr) bertanya lagi; apa itu Nabi? kemudian Nabi Saw. menjawab; utusan Allah. Ia (amr) kembali bertanya lagi dengan apa kamu diutus? kemudian Nabi Saw menjawab; dengan menyambung silaturahmi, melindungi darah, mengamankan jalan, menyembah Allah Ta’ala dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. (HR. Ahmad)

Wallahu a’lam

Cibubur, 11 September 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image