Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Itsbatun Najih

Demi Konten, Biar Viral

Gaya Hidup | Monday, 19 Sep 2022, 00:09 WIB

Baru-baru ini, terdapat netizen bercuit satire ala dark jokes, bahwa dirinya setuju koruptor perlu dimiskinkan semiskin-miskinnya. Namun, dirinya khawatir, bila nantinya koruptor jatuh miskin, bakal ada seorang pesohor yang mendatangi untuk jadikannya bahan konten. Ya, si pesohor tersebut yang tadinya laris membintangi sinetron, kini beralih menjadi kreator konten. Lantas, siapa lagi sesungguhnya si netizen itu?

Hakikatnya netizen tersebut adalah kita –dalam arti luas. Representasi masyarakat riil yang punya ponsel pintar dan akun media sosial (medsos). Si netizen --yang sememangnya juga membuat konten-- lekas jadi “bintang” dalam hitungan menit dan jam. Cuitannya mendapat like puluhan ribu kali. Lantas, apa di balik fenomena bermedsos macam ini? Kita mafhum pada hari ini telah terjadi perubahan mendasar: semacam revolusi kebudayaan. Ponsel pintar adalah produk revolusi teknologi sekaligus mengubah perilaku sosial masyarakat global; di negara berkembang maupun maju; anak-anak hingga para sepuh.

Semua demi konten. Setali tiga uang memunculkan tabiat narsis. Keinginan untuk diakui, eksis, menarik, hebat, dan ujung-ujungnya berpamrih pundi-pundi uang lewat jalur adsense. Ketika sekelompok remaja mencoba menghentikan truk yang tengah melaju kencang, sungguh miris tentunya. Mereka sebenarnya sadar aksinya amat membahayakan jiwa. Namun, sekali lagi: demi konten.

Demi konten pula, lahirlah diksi prank. Seakan-akan apa yang ditampilkan merupakan riil; tanpa rekayasa/settingan. Hingga kemudian, tidak tahunya, yang berperan adalah temannya, saudaranya, atau siapa saja dengan imbalan materi. Semuanya telah diatur/terskenario. Ada tiga respons netizen: sebagian bilang riil-nyata; yang lain ucap rekayasa; dan banyak juga yang tahu bahwa hal itu settingan tetapi tetap ditonton sebagai bentuk hiburan.

Revolusi kebudayaan pengguna medsos mewujud pada generasi “rebahan” dan “merunduk. Berlama-lama men-scroll lini masa medsos dan bocah-bocah yang mestinya merunduk membaca buku tapi lebih asyik menatap layar gawai bermain gim. Anak-anak masa kini dan banyak remaja hari ini tidak lagi mencita-citakan dokter, arsitek, guru. Melainkan tegas ucap ingin jadi kreator konten: Youtuber, misal.

Apakah mereka juga generasi “bisu dan mengalami kesepian? Jawabnya: ya dan tidak. Ya, karena nyatanya telah menjauh dari aktivitas fisik-verbal. Saat acara kumpul-kumpul pun, masing-masing sibuk dengan gawai. Kemudian, tidak! Mereka tidak kesepian. Mereka merupakan generasi bising. Mereka menulis status galau dan senang, mengomentari posting-an, me-like, men-share apa saja.

Lantas pada dunia digital inilah, terjadi pembentukan karakter baru –yang boeh jadi manipulatif. Hingga hari ini, kita melihat dengan gamblang, percakapan di lini masa amat banal. Makian, celaan, ujaran kebencian, bak air bah yang menimbulkan gugatan reflektif: bukankah sedari lama kita justru masyhur akan perangai santun nan ramah? Mengapa kita berubah menjadi begitu kasar di dunia maya? Kondisi faktual ini rupanya mendapat legitimasi Microsoft di mana pada tahun 2021 merilis hasil riset bahwa netizen Indonesia paling tidak sopan.

Perkembangan percakapan di medsos juga memunculkan diktum clickbait. Ketika kondisi netizen malas membaca isi berita, judul berita yang terkesan bersayap/mengecoh menjadi acuan. Walhasil, membaca berita sekadar dari judul seperti itulah yang biasanya menghasilkan keributan antarnetizen. Sisi negatif berikutnya adalah kemunculan buzzer alias pedengung. Gerombolan buzzer dianggap benalu yang sifat kemunculannya kerap anonim. Provokasi dan berita palsu sengaja difabrikasi guna mencuatkan adu domba menjurus polarisasi sosial. Namun dari fenomena buzzer, kita boleh jadi skeptis terhadap laporan Microsoft tersebut; bahwa sikap kasar bermedsos tidaklah murni sikap kita sesungguhnya; lantaran terpancing polah buzzer.

Studi viral

Tidak selamanya medsos memperturutkan karakter negatif. Pembaca bisa menghitung akan ada banyak perbaikan/evaluasi dari kebijakan publik yang tadinya konyol/absurd/diskriminatif bersebab dobrakan jemari netizen. Pun, banyak kasus kriminalitas yang akhirnya lekas mendapat atensi aparat berwajib; orang hilang yang cepat ditemukan, orang susah yang luput dari perhatian dan kemudian lekas terbantu. Kesemuanya bersumber pada kekuatan suara netizen bersebut viral; atas nama viral.

Banyak kebaikan yang masih bisa dijumpa pada pengguna medsos. Hingga pada akhirnya, mengejar viral adalah kelaziman guna mendapat atensi sebanyak mungkin. Walaupun hal ini terkandung unsur ironi; bahwa suatu hal baru akan diubah, diproses, ditanggapi, bila telah menjadi viral terlebih dahulu.

Rupa-rupa tindak-tanduk netizen macam di atas itulah yang menjadi kajian di buku tebal bertajuk Metode Netnografi ini. Metode Netnografi merupakan siasat untuk mempelajari budaya pengguna internet, menukik pada netizen. Akronim dari Internet dan Etnografi, Netnografi sebagai perangkat keilmuan yang dinamis, ke depannya perlu meluaskan cakupan bahasan atas media/jurnalis --sebagai benteng terakhir penjernih karut marut percakapan di lini masa. Hal ini teranggap penting lantaran media/jurnalis berpunya fungsi utama guna menyampaikan informasi yang kredibel.

Selain itu, Netnografi mestinya juga menyorot kinerja penyedia platform medsos. Sejauh mana mereka cakap membuat pelbagai fitur sehingga platform-nya bisa meminimalkan hoaks dan memaksimalkan penciptaan aktivitas bermedsos yang sehat. Netnografi berkelindan dengan ritme kebudayaan riil yang dinamis. Mirip dengan kajian Etnografi itu sendiri ketika kebudayaan juga pada tataran faktual-nya terus bergerak dan bertransformasi.

Hanya saja, terdapat perbedaan mendasar: bahwa ranah Netnografi lebih kompleks karena kajiannya berupa objek yang sukar tervalidasi, bergerak cepat, dan berubah-ubah karakter. Karena itu, rampung membaca buku berjenis referensi ini, kiranya pembaca beroleh kesan bahwa sememangnya ada kekhasan atas penelitian terhadap aktivitas di dunia maya. Pun, bakal memafhumi atas bertolakbelakangnya dengan penelitian Etnografi yang menghasilkan simpulan, semisal orang Indonesia itu santun dan ramah.

Wedaran Netnografi pada buku ini menyajikan pendekatan baru, bermetode kualitatif, dan sejatinya perluasan dari studi Etnografi yang berbasiskan jutaan pengguna di ranah digital. Karena itu, ke depan, melalui kajian model Netnografi ini pula, bisa jadi menghasilkan simpulan anyar bahwa netizen Indonesia itu --sebagaimana pada kehidupan sehari-hari, (aslinya) memang-- santun dan ramah.

Data buku:

Judul: Metode Netnografi: Pendekatan Kualitatif dalam Memahami Budaya Pengguna Media Sosial

Penulis: Dr. Eriyanto

Penerbit: Rosda, Bandung

Cetakan: Desember, 2021

Tebal: 378 halaman

ISBN: 978-602-446-603-9

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image