Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhson Arifin

Mempertahankan Lahan Hijau di Ibukota Pulau Dewata Melalui Program UTARI CSR Pertamina DPPU Ngurah R

Lomba | Thursday, 15 Sep 2022, 01:04 WIB

Membicarakan mengenai program CSR, salah satu yang menarik perhatian saya adalah program UTARI yang dilaksanakan oleh PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai. Program ini merupakan sebuah program yang CSR aspek pemberdayaan masyarakat yang menjadi sebuah percontohan dalam upaya pencegahan alihfungsi lahan serta peningkatan pendapatan petani. Sebelum masuk ke dalam penjelasan program, pertama-tama saya akan menceritakan mengenai urgensinya pencegahan alih fungsi lahan yang menjadi alasan utama dibentuknya program UTARI.

Gambar1. Gerbang Masuk Pintu 2 Kawasan Ekowisata Subak Sembung, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Bali merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai destinasi wisata yang utama di Indonesia, bahkan Bali juga dikenal sebagai the last paradise in the world. Hal ini menyebabkan banyaknya kunjungan ke pulau Bali, baik dengan tujuan wisata maupun untuk mengadu nasib dalam mencari matapencaharian. Hal tersebut kemudian mendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan penduduk di Pulau Bali yang kemudian mengakibatkan peralihfungsian lahan. Rata-rata peralihfungsian lahan hijau di bali mencapai 800 ha/tahun (Lanya, 2014). Khususnya Kota Denpasar yang merupakan ibu kota Provinsi Bali, memiliki kepadatan penduduk yang terus meningkat dari data pada tahun 2010 sebanyak 6.210 jiwa/km² meningkat menjadi 7.410 jiwa/km² pada tahun 2019, dengan laju pertumbuhan sebesar 19,43% dalam rentang waktu tersebut (BPS Kota Denpasar, 2020). Studi diagnosis penguasaan lahan sawah di Kota Denpasar (Sedana, 2013) menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya pengurangan luas lahan sawah produktif tersebut adalah adanya land consolidation (LC) untuk pengadaan infrastruktur dan sarana pelayanan umum (public services), pengembangan permukiman, serta perubahan lahan sawah menjadi “lahan tidur” (lahan tidak produktif).

Melihat kondisi Kota Denpasar yang memiliki ancaman terjadinya alihfungsi lahan akibat pertumbuhan penduduk dan pembangunan sarana pelayanan umum tersebut, PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut melalui program UTARI (Eco Edu Tourism Uma Palak Lestari). Program ini disusun dengan melihat adanya potensi lahan sawah pertanian yang masih cukup luas sekitar 115Ha yang termasuk dalam Kawasan Subak Sembung. Selain itu program ini juga disusun dengan memperhatikan peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berupaya mengendalikan alih fungsi lahan, dimana di dalamnya diatur mengenai Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) Privat dan Publik. Namun peraturan tersebut masih belum efektif dikarenakan berdasarkan data pada tahun 2016 RTHK di Kota Denpasar mencapai 36,28% dari total luas wilayah dengan proporsi RTHK publik hanya 18,32% atau berkisar 2.341,48 Ha (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar, 2016). Padahal seharusnya proporsi RTHK paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dengan rincian 20% diharuskan menjadi RTH publik dan 10% lainnya RTH privat (Joga & Ismaun, 2011).

Penjelasan Program UTARI

Setelah mengetahui latar belakang berdirinya program UTARI, kemudian saya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai program UTARI serta mengapa program ini dapat disebut sebagai percontohan dalam pencegahan alihfungsi lahan dan peningkatan pendapatan petani.

Program UTARI berasal dari akronim Eco Edu Tourism Uma Palak Lestari. Nama ini secara langsung telah menjelaskan grand design tujuan dari program ini sendiri, yaitu untuk membentuk sebuah wisata edukasi lingkungan di Kawasan Munduk Uma Palak, Subak Sembung, Kelurahan Peguyangan. Selain itu nama Utari sendiri merupakan nama dari karakter pewayangan, yaitu Dewi Utari yang merupakan istri dari Abimanyu, yang kemudian melahirkan anak bernama Parikesit sebagai penerus Pandawa. Dengan demikian tujuan dari program UTARI sendiri adalah untuk keberlanjutan masyarakat petani agar tidak tergerus oleh alihfungsi lahan. Program ini dilaksanakan di tengah Kota Denpasar, tepatnya berada di Kelurahan Peguyangan, Denpasar Utara.

Gambar 2. Spot Nama Ekowisata, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Pada perencanaan Program UTARI, terlebih dahulu dilakukan kegiatan pemetaan potensi dan permasalahan yang terdapat di Kelurahan Peguyangan. Sebagai sarana dalam mengetahui potensi dan permasalahan secara holistik, secara aktif masyarakat turut dilibatkan dalam perencanaan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Pelibatan masyarakat dalam perencanaan ini dilakukan karena masyarakat local sebagai subject program dianggap lebih mengetahui kondisi di wilayahnya dapat memberikan lebih banyak data dalam perencanaan program. Hal ini sesuai dengan konsep Perencanaan partisipatif, yaitu perencanaan yang memasukkan adanya pembagian peran antara masyarakat atau kelompok dengan pemerintah dalam suatu perencanaan (Sumarto, 2009). Adapun tujuan dari perencanaan partisipatif adalah untuk mengikutsertakan masyarakat di dalamnya suatu perencanaan secara langsung atau tidak langsung (Abe, 2005).Sedangkan perencanaan bottom-up merupakan perencanaan yang bersumber dari masyarakat. Hjern menjelaskan bahwa Perencanaan bottom–up memberikan ruang bagi para implementator untuk dapat menyesuaikan strategi yang direncanakan dengan kondisi rill yang dihadapi (Ekowati, 2008). Perencanaan bottom-up ini merupakan kebalikan dari perencanaan top down yang dalam perencanaannya tanpa harus mendengarkan aspirasi masyarakat (Sururi, 2015).

Dari Focus Group Discussion (FGD) tersebut diketahui bahwa Kelurahan Peguyangan, khususnya di kawasan Subak Sembung memiliki banyak potensi serta permasalahan. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, permasalahan yang dapat ditemukan yaitu adanya alih fungsi lahan, peralihan profesi anak petani, kesejahteraan petani yang kurang, serta yang menjadi permasalahan umum di pulau bali yaitu kelangkaan burung jalak bali. Adapun potensi yang dimiliki yaitu adanya lahan persawahan yang cukup luas sebesar 115Ha, banyaknya petani bunga yang menanam bunga di kawasan subak sembung. Berdasarkan permasalahan dan potensi tersebut kemudian disusunlah 3 buah sub program antara lain Konservasi jalak bali, Parikesit (Pengembangan Agrikultur Berbasis Edutourism), dan Wisata Edukasi Agrikultur.

Gambar 3. Lokasi Konservasi Jalak Bali, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Konservasi jalak bali merupakan sebuah sub program yang disusun dalam rangka mengatasi permasalahan kelangkaan burung jalak bali. Telah terdapat beberapa aturan mengenai perlindungan satwa yang terancam punah di Indonesia, misalnya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Untuk dapat mendukung upaya perlindungan satwa tersebut maka dilakukanlah kegiatan konservasi yang selain bertujuan untuk melindungi satwa juga membantu dalam pengembangbiakan satwa agar tidak punah. Telah banyak dilakukan konservasi satwa langka baik secara in-situ di dalam habitat aslinya maupun secara ex-situ di luar habitat alaminya melalui penangkaran (Takandjandji & Mite, 2016). Konservasi jalak bali yang dilaksanakan dalam program UTARI ini merupakan replikasi dari program konservasi jalak bali di Desa Sibangkaja yang sebelumnya telah dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai. Sebelumnya Konservasi jalak bali di Desa Sibangkaja tersebut telah sukses dalam mengembangbiakkan jalak bali sebesar 190% dari 18 ekor menjadi 52 ekor dalam waktu 5 tahun. Keberhasilan inilah yang kemudian mendorong untuk dilaksanakannya kegiatan replikasi program pada tanggal 30 September 2020, dengan memindahkan 8 ekor jalak bali dari Desa Sibangkaja ke lokasi kandang konservasi yang baru di Kawasan Subak Sembung Kelurahan Peguyangan.

Sebagai upaya pendukung dalam kegiatan konservasi, kelompok sasaran program yaitu Kelompok Uma Palak Lestari didorong untuk dapat melakukan produksi pellet pakan burung. Produksi pellet tersebut selain dapat digunakan sebagai pakan burung jalak bali, juga menjadi salah satu penghasilan tambahan bagi anggota kelompok. Salah satu inovasi yang dilakukan dalam produksi UMKM pellet tersebut yaitu melalui pembuatan komposisi pelet baru dengan memanfaatkan bahan baku cangkang kepiting. Ide inovasi ini yaitu sebagai upaya dalam mengintegrasikan program UTARI dengan program CSR DPPU Ngurah Rai di lokasi lainnya yang Bernama program Kampung Kepiting. Limbah cangkang kepiting yang tidak termanfaatkan dengan baik di lokasi Kampung Kepiting kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan pelet. Inovasi tersebut telah dibakukan serta mendapatkan hak paten sederhana dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan nomor paten IDS000003022.

Gambar 4. Produk Pelet Pakan Burung Jalak Bali, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Disamping penggunaan pelet cangkang kepiting sebagai pakan utama burung jalak bali di dalam konservasi jalak bali program UTARI, juga terdapat tambahan makanan lain untuk membantu memenuhi kebutuhan nutrisi burung jalak balinya. Tambahan makanan tersebut antara lain berupa jangkrik dan cacing untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan protein hewani, serta buah-buahan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan buah-buahan tersebut, kelompok uma palak lestari melakukan kerjasama dengan pedagang buah di sekitar lokasi, khususnya pedagang buah di toko buah dan pasar tradisional. Melalui kerjasama ini pedagang buah tidak perlu lagi membuang buah yang tidak laku terjual, melainkan buah-buahan sisa tersebut akan diambil oleh kelompok Uma Palak Lestari untuk digunakan sebagai pakan burung jalak bali. Dalam pelaksanaan kerjasama tersebut, Kelompok Uma Palak Lestari juga menetapkan standar untuk buah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan burung jalak bali, yakni buahnya masih utuh dan tidak busuk. Adapun buah yang sudah tidak layak sebagai pakan burung jalak bali akan tetap diterima oleh kelompok, tetapi dimanfaatkan dalam kegiatan lainnya yaitu Budidaya Maggot. Kerjasama tersebut merupakan sebuah hubungan saling menguntungkan, dimana Kelompok uma palak lestari dapat mendapatkan pakan burung secara cuma-cuma, dan pedagang buah juga dapat menyelesaikan permasalahan sisa komoditas jualannya.

Sub Program yang kedua yaitu Parikesit, yang merupakan akronim dari Pengembangan Agrikultur Berbasis Edutourism. Sebagaimana nama program UTARI, nama Parikesit sendiri juga diambil dari nama pewayangan untuk mengangkat budaya lokal, yaitu Parikesit/Pariksit yang merupakan anak dari Dewi Utari dan penerus dari Pandawa. Secara konsep program, sesuai dengan akronimnya Parikesit sendiri merupakan sebuah pengembangan system pertanian/agrikultur yang dikaitkan dengan edukasi wisata di wilayah Ekowisata Subak Sembung. Sebagai bentuk edukasi tersebut, sub program Parikesit disusun dengan menerapkan konsep integrated farming system (Sistem pertanian terintegrasi) dimana di dalam sub program ini terdapat beberapa kegiatan lain yang saling berkesinambungan. Adapun kegiatan-kegiatan yang saling terintegrasi di dalam sub program Parikesit ini antara lain Budidaya Maggot, Budidaya Lebah Madu, dan Pertanian organik melalui sistem vertikultur. Penerapan sistem pertanian terintegrasi ini bertujuan untuk dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dalam kegiatan pertanian yang saling terintegrasi.

Gambar 5. Sistem Pertanian Terintegrasi dalam Sub Program Parikesit, Sumber: http://jurnalkesos.ui.ac.id/index.php/jiks/article/download/303/178 (diakses pada 15 September 2022)

Budidaya maggot yang merupakan bagian dari sub program Parikesit, menjadi solusi yang ditawarkan oleh PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai dalam mengurangi timbulan sampah organik, baik dari sisa pakan burung jalak bali, sisa panen, serta sisa dari sampah rumah tangga. Kegiatan budidaya maggot juga dikenal dengan sebutan budidaya lalat BSF (Black Soldier Fly) karena pada dasarnya maggot merupakan larva dari lalat BSF. Salah satu kelebihan larva maggot sendiri yaitu maggot juga dikenal sebagai pengurai sampah organik yang efektif dan dikenal memiliki kemampuan biokonversi limbah organik yang tinggi yaitu dapat mengurangi limbah sebesar 52%-56% (Salman et al., 2019). Dari segi kandungan nutrisi, maggot juga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi dimana dapat mencapai 40% - 50% dengan kandungan lemak berkisar 29% - 32% (Bosch et al., 2014). Oleh karena itulah maggot digemari oleh masyarakat sebagai pakan ternak disebabkan kandungan proteinnya yang tinggi dapat memacu dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangbiakan ternak. Alsan tersebut juga menjadi salah satu sebab dilaksanakannya budidaya maggot dalam program UTARI, dimana maggot dapat dimanfaatkan sebagai penambah nutrisi pakan bagi burung jalak bali, dan dapat dipasarkan sebagai pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan petani. Disamping maggot sebagai hasil dari dari budidaya maggot, juga terdapat pupuk organik yang juga disebut sebagai kasgot (bekas maggot) sebagai sisa pencernaan maggot yang juga memiliki kandungan unsur hara yang cukup bagus untuk tanaman. Hasil pupuk organik dari budidaya maggot ini selanjutnya digunakan oleh kelompok uma palak lestari untuk kegiatan yang lainnya misalnya pertanian organik ataupun penanaman bunga yang dimanfaatkan dalam budidaya lebah madu.

Gambar 6. Budidaya Maggot, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Adapun kegiatan pertanian organik dalam sub program Parikesit sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya yaitu selain untuk edukasi kepada petani untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia, serta untuk meningkatkan pendapatan petani melalui optimalisasi lahan pertanian. Dalam kegiatan pertanian organik tersebut didasarkan pada anggota kelompok uma palak lestari yang berprofesi sebagai petani dan memiliki lahan sawah untuk pertanian. Sayuran organik diproduksi untuk menyediakan bahan pangan yang aman dikonsumsi bagi kesehatan serta tidak merusak lingkungan dalam jangka panjang (Pracaya, 2016). Disamping itu juga terdapat alasan lain dilakukannya pertanian organik yaitu adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dari produk sayuran konvensional ke produk organik. Peningkatan permintaan terhadap sayur dan buah organik ini diakibatkan oleh banyak konsumen percaya makanan organik lebih aman dan memiliki manfaat lebih besar (Shaharudin et al., 2010). Perubahan ini membuat tingkat konsumsi produk organik ikut meningkat yang implikasinya adalah meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk sayuran organic (Rasmikayati et al., 2020). Hasil dari penerapan pertanian organik tersebut, yaitu berupa buah dan sayur-sayuran, dapat secara langsung dijual oleh kelompok dan masyarakat kepada wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata edukasi agrikultur di Subak Sembung tersebut.

Gambar 7. Penerapan Vertical Garden dalam Program UTARI, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Penerapan pertanian organik selain dilakukan secara konvensional di lahan persawahan, juga dilakukan inovasi dengan menerapkan sistem vertical garden. Melalui sistem vertical garden tersebut petani yang biasanya melakukan pembuatan gundukan/bedengan dengan ukuran lebar 50-80cm, sekarang tidak memerlukan bedengan melainkan dengan menggunakan wall planter bag. Kelebihan penggunaan wall planter bag sendiri yaitu efisiensi ruang, dimana lahan yang sebelumnya dimanfaatkan untuk membuat bedengan dapat dimanfaatkan secara lebih efektif dan efisien dengan penggunaan wall planter bag dikarenakan hasil yang sama dapat diperoleh dengan ruang yang lebih kecil. Selain itu petani yang biasanya melakukan penyiraman dan perawatan tanaman secara manual, sekarang telah dapat melakukan penyiraman secara lebih efisien dengan memanfaatkan sistem perpipaan dengan menggunakan toren air. Sebagai percontohan, Vertical Garden yang telah diterapkan oleh kelompok Uma Palak Lestari sendiri berukuran 20cmx400cm, dapat diisi dengan total wall planter bag sebanyak 270 kantong. Dengan demikian hasil pertanian dari vertical garden tersebut dapat menghasilkan yaitu sebanyak 540 tanaman sayur dengan ukuran lahan yang lebih kecil dari penggunaan bedengan tanah yang biasa digunakan petani.

Selanjutnya kegiatan yang ketiga dalam praktik penerapan sub program Parikesit adalah budidaya lebah madu. Kegiatan budidaya lebah madu ini dipilih dikarenakan selain kondisi persawahan di Subak Sembung yang banyak ditanami bunga oleh petani untuk kebutuhan upacara adat di Bali, lebah madu juga diketahui dapat meningkatkan produktivitas petani. Berdasarkan penelitian diketahui bahwasanya penyerbukan yang dibantu oleh lebah madu Trigona laeviceps dapat meningkatkan sebesar 141% jumlah polong per tanaman, 204% bobot biji per tanaman, 48% jumlah biji per polong, 177% perkecambahan biji (Wulandari et al., 2017). Selain dari kemampuan lebah trigona dalam membantu penyerbukan tanaman, alasan pemilihan jenis lebah madu tersebut dikarenakan lebah ini diketahui tidak memiliki sengat (stingless bee) sehingga budidaya lebah tidak akan mengganggu baik burung jalak bali maupun wisatawan yang berkunjung di kawasan subak sembung. Ukuran lebah trigona ini sendiri sangat kecil, yaitu sekitar 1-2 cm, dengan ciri-ciri warna hitam dengan sayap bening (Hrncir et al., 2016).

Gambar 8. Sarang Lebah Trigona Sp, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Hubungan saling keterkaitan antara kegiatan pertanian organik, budidaya maggot, dan budidaya lebah madu ini yang kemudian menjadi sebuah sistem pertanian terintegrasi yang diberi nama sebagai Parikesit (Pengembangan Agrikultur Berbasis Edu Tourism). Sistem pertanian terintegrasi tersebut merupakan salah satu materi edukasi yang dipersiapkan di kawasan ekowisata subak sembung. Diharapkan melalui adanya edukasi tersebut masyarakat dapat lebih memahami pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kegiatan pertanian sehingga dapat menghasilkan hasil pertanian yang lebih menguntungkan bagi petani.

Sub program yang terakhir yaitu Sub program Wisata Edukasi Agrikultur. Sub program ini memiliki ruang lingkup yang cukup luas dikarenakan berkaitan dengan dua sub program yg lainnya. Baik sub program konservasi jalak bali maupun sub program parikesit, keduanya merupakan daya tarik utama bagi keberadaan Ekowisata Subak Sembung sendiri. Konsep Wisata Edukasi Agrikultur yang diterapkan di Ekowisata Subak Sembung ini pada dasarnya disusun sebagai sebuah solusi atas permasalahan alih fungsi lahan serta kesejahteraan petani. Diharapkan dengan dijadikannya kawasan persawahan di Ekowisata Subak Sembung sebagai Wisata Edukasi Agrikultur, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian alam dan tidak melakukan alih fungsi lahan dikarenakan alih fungsi lahan akan berdampak kepada hilangnya daya tarik wisata lokasi tersebut. Lokasi persawahan yang berada di tengah kawasan Kota Denpasar merupakan daya tarik utama dari Subak Sembung tersebut, dimana lingkungan perkotaan yang biasanya dipenuhi dengan bangunan kini dapat menjaga kelestarian alamnya di wilayah persawahan Subak Sembung. Bahkan sawah yang biasanya dianggap oleh masyarakat sebagai tempat yang kotor, kini dapat diubah sebagai sebuah tempat wisata dengan adanya jogging track, kecantikan bunga-bunga di sepanjang jalan, photo spot, serta spot edukasi lingkungan yang dikelola oleh masyarakat.

Gambar 9. Edukasi Jalak Bali dalam Program UTARI, Sumber: www.Instagram.com/umapalak (Diakses pada 15 September 2022)

Tujuan lain diterapkannya sub program Wisata Edukasi Agrikultur yaitu dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. Keberadaan wisata ini mampu mendatangkan pengunjung wisata, dimana selain dapat menikmati spot wisata di Ekowisata Subak Sembung ini wisatawan juga dapat secara langsung membeli sayur mayur dan hasil pertanian kepada petani. Dengan demikian melalui sub program ini, PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai dapat membantu dalam mendatangkan pasar secara langsung kepada petani. Hal ini merupakan sebuah solusi yang dicanangkan oleh PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai setelah melihat bahwa salah satu permasalahan petani adalah petani yang tidak dapat menentukan harga akibat permasalahan akses pasar dan keberadaan tengkulak yang sering mempermainkan harga. Bahkan hubungan keterikatan antara petani dan tengkulak dianggap sebagai salah satu akar Penyebab Kemiskinan Petani (Hasanuddin et al., 2009). Kondisi petani yang seringkali mengalami kerugian atas pola hubungan tersebut kemudian juga menyebabkan banyak anak petani yang beralih profesi menjadi karyawan perusahaan atau di pariwisata. Berdasarkan data selama tahun 1983–2003 komposisi pekerja sektor pertanian mengarah kepada dominasi petani tua dan menurunnya proporsi petani muda di sektor pertanian (Susilowati, 2016). Selain itu alasan dari peningkatan kesejahteraan petani juga dikarenakan untuk pencegahan alih fungsi lahan, dimana diketahui bahwa satu alasan utama petani menjual lahan adalah dikarenakan kebutuhan biaya hidup (Nuhung, 2015).

Gambar 10. Petani Menjual Langsung Produk Hasil Pertanian ke Pengunjung, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Dari ketiga sub program dari program UTARI yang telah dijelaskan diatas, baik kelompok Uma Palak Lestari sebagai sasaran utama program maupun masyarakat umum di sekitar lokasi program mendapatkan dampak yang cukup signifikan. Baik dari UMKM produksi pelet pakan burung, budidaya maggot, budidaya lebah madu, pertanian organik, serta keberadaan Ekowisata Subak Sembung menjadi pendorong dalam peningkatan pendapatan perekonomian masyarakat. Terlebih dengan banyaknya jumlah pengunjung yang rata-rata mencapai 100-200 wisatawan per hari yang cukup membantu petani dalam memasarkan hasil panennya serta membantu masyarakat dengan munculnya UMKM-UMKM baru di sekitar lokasi program. Banyaknya jumlah wisatawan yang datang berkunjung ini dikarenakan kondisi lahan persawahan yang masih hijau di tengah kawasan perkotaan menjadi lokasi menarik bagi masyarakat untuk melepas beban pikiran serta cocok menjadi lokasi untuk berolah raga. Terlebih untuk memasuki lokasi pengunjung tidak dikenakan biaya tiket masuk sehingga banyak wisatawan yang tertarik untuk datang. Adapun dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat yaitu bahwa masyarakat dapat secara langsung menjual sayuran dan buah-buahan hasil panen sawahnya kepada wisatawan yang datang. Track wisata dibuat memutar dan mengelilingi kawasan subak sembung sehingga lebih banyak lahan sawah masyarakat yang terlewati oleh wisatawan. Masyarakat, khususnya kelompok uma palak lestari juga dapat memperoleh tambahan penghasilan melalui produksi pelet pakan burung serta kegiatan budidaya-budidaya yang dilakukan dalam sub program Parikesit.

Peranan Subak Sembung dan Kelompok Uma Palak Lestari dalam Pelaksanaan Program

Subak pada dasarnya merupakan suatu kelompok masyarakat hukum adat dengan karakteristik sosio-agraris religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola irigasi di lahan sawah. Anggota subak atau yang biasa disebut krama subak merupakan petani yang menggarap sawah dan mendapat bagian air untuk sawahnya. Subak sembung merupakan salah satu subak yang masih aktif hingga sekarang, dengan anggota sebanyak 199 anggota yang mengolah 115 hektar lahan sawah. Anggota tersebut kemudian dibagi menjadi 9 munduk atau tempek, yaitu munduk muani, munduk simper, munduk taman, munduk les, munduk sapian, munduk jaba kuta, munduk sembung, mundukumapuan, dan munduk palak. Subak sembung inilah yang bersama dengan PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai menginisiasi berdirinya program eco-edu tourism uma lestari di wilayah Kelurahan Peguyangan. Keterlibatan subak sembung dalam program tersebut merupakan salah satu bentuk penerapan dari konsep Tri Hita Karana yang melandasi sistem subak. Secara tekstual Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Namun jika ditarik lebih luas Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya (Suyastiri, 2012). Keterlibatan subak sembung dalam menginisiasi program eco-edu tourism uma lestari selain dari dalam proses perencanaan juga dalam pembentukan institusi baru yang menjadi pengelola program yaitu Kelompok Uma Palak Lestari.

Gambar 11. Pengemasan Produk Maggot Oleh Kelompok Uma Palak Lestari, Sumber: Dokumentasi Lapangan

Kelompok Uma Palak Lestari merupakan sebuah institusi baru yang dibentuk dalam pelaksanaan program UTARI. Kelompok ini beranggotakan 12 orang masyarakat petani yang merupakan bagian dari Munduk Palak Subak Sembung. Sebagai kelompok pelaksana program, kelompok ini berperan penting dikarenakan berperan langsung dalam aktivitas operasional program, dari mulai perawatan burung jalak bali, budidaya maggot dan lebah madu, serta pengelolaan kawasan wisata.Kelompok ini juga membantu dalam melakukan sosialisasi kepada pengunjung yang datang baik terkait pelestarian burung jalak bali maupun terkait pengelolaan lahan hijau di Kelurahan Peguyangan. PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai melalui program-programnya berupaya untuk dapat meningkatkan kapasitas skill kelompok dalam pelaksanaan program, dengan tujuan untuk sustainabilitas kelompok setelah masa program berakhir.

Penutup dan Pendapat Penulis

Demikian untuk sedikit penjelasan saya mengenai pelaksanaan program UTARI yang merupakan bagian dari program CSR PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai. Program tersebut cukup menarik, dimana dalam satu program dapat memiliki dampak yang cukup luas dan signifikan. Dari pemaparan saya diatas dapat terlihat bahwa dampak program tidak hanya dapat terlihat dari dampak peningkatan perekonomian masyarakat semata, melainkan juga dampak terhadap lingkungan serta kondisi social masyarakat. Jika saya boleh memberikan pendapat, ketiga sub program yang dicanangkan tersebut telah sesuai dan juga tepat dalam membantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahannya, dari konservasi jalak bali yang bertujuan untuk melindungi burung jalak bali yang sudah langka, Parikesit yang bertujuan dalam optimalisasi lahan pertanian, dan Wisata Edukasi Agrikultur yang berperan dalam mendatangkan pasar bagi petani.

Diantara ketiga sub program tersebut, saya cenderung tertarik pada sub program parikesit. Dari segi penamaan sub program yang cukup berbeda dengan kedua sub program lainnya, nama Parikesit diambil dari nama pewayangan yang merupakan anak dari Dewi UTARI. Dengan kata lain dalam pewayangan pun antara Parikesit dan Dewi Utari memiliki hubungan ibu dan anak yang sesuai dengan dalam program ini nama UTARI dan Parikesit merupakan nama grand besar program dan sub programnya. Melihat dari penamaan tersebut, saya menyimpulkan bahwa sub program Parikesit sendiri merupakan jantung dari program UTARI.

Pendapat saya mengenai Parikesit sebagai jantung program tersebut kemudian dikuatkan dengan bagan sistem pertanian terintegrasi dalam sub program ini. Sub program Parikesit berperan dalam mensinergikan antar program-program lainnya untuk dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan menarik dalam program UTARI. Dimana tidak hanya budidaya maggot, lebah madu, dan pertanian organik saja yang masuk dalam konsep sistem pertanian terintegrasi, melainkan juga terdapat konservasi jalak bali serta penataan kawasan wisata melalui penanaman bunga di kawasan Ekowisata Subak Sembung.

Dan yang terakhir, pendapat saya mengenai peningkatan kesejahteraan petani di kawasan Ekowisata Subak Sembung juga cukup menarik. Petani yang biasanya melakukan pertanian dengan cara konvensional mulai mencoba menerapkan metode baru seperti dengan diterapkannya vertical garden untuk optimalisasi lahan. Selanjutnya melalui banyaknya wisatawan yang berkunjung petani juga dapat dilepaskan dari jerat pola hubungan patron-klien dengan tengkulak yang diketahui menjadi permasalahan utama bagi petani. Dan yang terakhir, petani yang tergabung dalam kelompok uma palak lestari juga dapat mengalami peningkatan pendapatan dari beberapa UMKM baru yang terbentuk, antara lain produksi pelet pakan burung, budidaya maggot, budidaya lebah madu, serta pertanian organik.

Demikian review yang dapat saya berikan mengenai program Eco-Edu Tourism Uma Palak Lestari (UTARI) yang dilakukan oleh CSR PT Pertamina Patra Niaga DPPU Ngurah Rai. Saya berharap program-program CSR yang menginspirasi seperti ini akan semakin banyak, sehingga semakin merata kesejahteraan masyarakat Indonesia. Mari berjuang demi Indonesia yang lebih baik, Indonesia Jaya, Masyarakat Makmur Sentosa!!!

DAFTAR PUSTAKA

Abe, A. (2005). Perencanaan daerah partisipatif / Alexander Abe. Pondok Edukasi.

Alhaddi, H. (2014). The Influence of Triple Bottom Line on Strategic Positioning: An Exploratory Case Study on Differentiation through Image. Journal of Management and Strategy, 5(1). https://doi.org/10.5430/jms.v5n1p55

Ardhana, I. P. G., & Rukmana, N. (2017). KEBERADAAN JALAK BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT. SIMBIOSIS, 1. https://doi.org/10.24843/JSIMBIOSIS.2017.v05.i01.p01

Bosch, G., Zhang, S., Oonincx, D. G. A. B., & Hendriks, W. H. (2014). Protein quality of insects as potential ingredients for dog and cat foods. Journal of Nutritional Science, 3. https://doi.org/10.1017/jns.2014.23

BPS Kota Denpasar. (2020). Kota Denpasar Dalam Angka 2020. Badan Pusat Statistik.

Ekowati. (2008). Perencanaan, Implementasi & Evaluasi Kebijakan atau Program. In Surakarta: Pustaka Cakra. Pustaka Caraka.

Hasanuddin, T., G, D. G., & Endaryanto, T. (2009). Akar Penyebab Kemiskinan Petani Hortikultura di Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung. Agrikultura, 20(3). https://doi.org/10.24198/agrikultura.v20i3.947

Hrncir, M., Jarau, S., & Barth, F. G. (2016). Stingless bees (Meliponini): senses and behavior. Journal of Comparative Physiology A: Neuroethology, Sensory, Neural, and Behavioral Physiology, 202(9–10), 597–601. https://doi.org/10.1007/s00359-016-1117-9

Iqbal, M. & S. (2007). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182, 5(70), 167–182.

Ismail. (2014). Implementasi Program Corporate Social Responsibility Terhadap Warga dan Lingkungan di Kelurahan Guntung (Studi Kasus Pada Departemen Humas PT Pupuk Kaltim) Ismail. Paradigma, 3. No.2, 223–235. https://doi.org/10.21043/iqtishadia.v7i2.1087

Joga, N., & Ismaun, I. (2011). RTH 30%! resolusi [kota] hijau. Gramedia Pustaka Utama.

Lanya. (2014). Strategi Penentuan dan Pengandalian Alih Fungsi Lahan Dalam Antisipasi Dampak Pariwisata di Bali.

Nuhung, I. A. (2015). Faktor-Faktor Yang Memotivasi Petani Menjual Lahan Dan Dampaknya Di Daerah Suburban. Jurnal Agro Ekonomi, 33(1), 17–33.

Pracaya. (2016). Bertanam 8 Sayuran Organik. Penebar Swadaya. Jakarta. Penebar Swadaya.

Rasmikayati, E., Saefudin, B. R., Karyani, T., Kusno, K., & Rizkiansyah, R. (2020). Analisis Faktor Dan Tingkat Kepuasan Ditinjau Dari Kualitas Produk Dan Pelayanan Pada Konsumen Sayuran Organik Di Lotte Mart Kota Bandung. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 6(1), 351. https://doi.org/10.25157/ma.v6i1.3219

Rasmussen, P. C. (2004). Threatened Birds of Asia: The BirdLife International Red Data Book Nigel J. Collar. In The Auk (Vol. 121, Issue 2). https://doi.org/10.2307/4090426

Salman, N., Nofiyanti, E., & Nurfadhilah, T. (2019). Pengaruh dan Efektivitas Maggot Sebagai Proses Alternatif Penguraian Sampah Organik Kota di Indonesia. Jurnal Serambi Engineering, 5(1). https://doi.org/10.32672/jse.v5i1.1655

Sedana, G. (2013). Studi Diagnosis Penguasaan Lahan Sawah di Kota Denpasar. Kerjasamaantara Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar dan Pusat penelitian Universitas Dwijendra.

Shaharudin, M. R., Pani, J., Mansor, S., & Elias, S. (2010). Factors Affecting Purchase Intention of Organic Food in Malaysia’s Kedah State. Cross-Cultural Communication, 6(2), 105–116. http://50.22.92.12/index.php/ccc/article/view/963

Sirtha, I. N. (2008). Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali. Udayana University Press.

Sumarto, H. S. (2009). Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Hetifah Sumarto Sj; kata pengantar: Dr. In Jim Schiller dan Dr. Hans Antlov. Yayasan Pustaka Obor Indo.

Surpha, I. M. (2002). Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali. Pustaka Bali Post.

Sururi, A. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak. Sawala: Jurnal Administrasi Negara, 3(2), 1–25.

Susilowati, S. H. (2016). Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda serta Implikasinya bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 34(1), 35. https://doi.org/10.21082/fae.v34n1.2016.35-55

Suyastiri, N. M. (2012). Pemberdayaan Subak Melalui “Green Tourism” Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian di Bali. Sepa, 8(2), 168–173.

Takandjandji, M., & Mite, M. (2016). Perilaku Burung Beo Alor di Penangkaran Oilsonbai, Nusa Tenggara Timur. Buletin Plasma Nutfah, 14(1), 43. https://doi.org/10.21082/blpn.v14n1.2008.p43-48

Winoto. (2016). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2), 167–182. https://doi.org/10.21082/akp.v5n2.2007.167-182

Wulandari, A. P., Atmowidi, T., & Kahono, D. S. (2017). Peranan Lebah Trigona laeviceps (Hymenoptera: Apidae) dalam Produksi Biji Kailan (Brassica oleracea var. alboglabra). Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 45(2), 196. https://doi.org/10.24831/jai.v45i2.13236

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image