Aku dan Guru Madrasah dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Agama | 2021-11-30 16:49:31Pernahkan Anda merasakan ârasa persahabatan yang tulusâ. Hati Anda merasa nyaman sekaligus bangga Padahal sebelumnya Anda merasa gugup dan sering muncul pertanyaan dalam hati, ânanti gimana ya?â Perasaan gugup itu sirna tergantikan oleh rasa nyaman karena diterima dan dihargai. Itulah perasaan saya pada saat saya menghadiri Pelatihan Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga berkerja sama dengan Institut Leimena (29 November â 3 Desember 2021)
Dari ratusan peserta guru Madrasah seluruh Indonesia, saya satu-satunya peserta yang beragama Katolik. Sebelum mendaftar saya minta ijin kepada salah seorang panitia apakah saya diijinkan ikut. Pada saat artikel ini saya tulis pelatihan masih berlangsung. Rasanya saya tidak sabar menunggu pelatihan usai untuk menulis artikel ini.
Melalui tulisan singkat ini saya ingin menyampaikan tiga hal penting terkait dengan moderasi beragama, atau toleransi beragama.
Pertama, semua agama mengajarkan untuk mencintai orang lain (beragama lain). Dengan sangat berwibawa Prof. Dr. Phil Ali Makin, MA, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengutip pernyataan tokoh agama yang sangat menyejukkan. âJika kita orang beriman tidak bisa mengakui orang beriman dari agama lain maka keimanan kita perlu dipertanyakanâ Pernyataan ini membuat saya berpikir serius melihat kualitas keimanan saya. Beliau menambahkan penjelasan dengan mengutip ajaran Dalai Lama yang mengatakan, âAgama kita tidak untuk menilai orang lain tetapi untuk membawa kedamaian diri sendiriâ Maksudnya adalah agar orang dengan beragama menjadi lebih sabar, lebih toleran, lebih tenang, lebih bahagia.Kalau ada prasangka atau sikap yang menyerang orang lain (beda agama) bisa dipastikan dia perlu memperdalam ajaran agamanya.
Kedua, secara ilmiah membangun moderai sikap tolerasi bisa dilakukan dengan membangun tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif dan kompetensi kolaboratif. Secara singkat kompetensi pribadi yaitu terus menerus mengembangkan pemahaman terhadap agamanya. Kompetensi komparatif berusaha memahami orang lain sebagaimana orang lain itu memahami agamanya. Disinilah pentingnya kita bertanya kepada orang lain (beda agama) mengenai hal-hal yang terkait dengan agamanya. Sedangkan kompetensi kolaboratif yaitu berusaha mencapai tujuan bersama kendati agama berbeda.
Ketiga, saya merasakan suasana persahabatan yang sangat indah. Tidak ada satu ajaran dalam Islam yang saya temukan dari paparan nara sumber menjelekan agama lain atau ajaran yang menegaskan mereka lebih baik dari yang lain. Tidak ada dominasi. Yang ada adalah sebuah ajakan untuk bersikap rendah hati dan terus mengembangkan pemahaman terhadap ajaran agamanya.
Pelatihan ini masih berlangsung. Saya sangat antusias mengikuti pelatihan ini. Saya mendapatkan banyak sekali pemahaman baru dan strategi bagaimana mengembangkan tolerasi (moderasi beragama) di lembanga pendidikan kepada kaum muda. Saya yakin sesi-sesi berikutnya akan sangat menarik karena dibawakan oleh nara sumber yang hebat dalm hidup bertoleransi yaitu Prof. Dr. Alwi shihab, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Dr. Chirs Seiple dan masih banyak lagi.
Bagi saya pelatihan seperti ini menjadi pengalaman pertama kali. Saya sungguh menjadi bagian dari para guru Madrasah yang punya panggilan sama, yaitu membangun generasi muda (para siswa) di sekolah menjadi insan yang toleran, yang memiliki literasi keagamaan lintas budaya. Pelatihan ini menjadi alat yang sangat penting untuk membangun gerakan moderasi bergama di tengah binaan saya dan umat Katolik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.