Kemerdekaan Indonesia, Arab, dan Al-Irsyad
Sejarah | 2022-08-18 10:10:50Kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan seluruh elemen masyarakat, termasuk golongan etnis. Semua sepakat dengan itu. Pembagian tiga kelas yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927 yaitu Eropa, Timur Asing, dan Pribumi tidaklah menjadikan kelas nomor dua tersebut berpaling dari penduduk asli yang telah lebih dahulu mempersilakan mereka untuk mendapatkan keuntungan dalam perniagaan di kepulauan Nusantara.
Salah satu dari kelas nomor dua tersebut adalah etnis Arab. Natalie Mobini Kesheh menyebut bahwa mereka telah sampai di kepulauan Nusantara pada abad ke-7 M. Dibanding dengan etnis lain, Tionghoa misalnya, para pedagang Arab lebih mudah berasimilasi dengan kelompok pribumi. Kesamaan agama yaitu Islam menjadi faktor yang paling dominan, disamping bahasa Arab yang sudah familiar oleh kalangan agamawan pada abad ke-15 atau ke-16 M.
Kesamaan-kesamaan itulah yang menjadikan peranakan Arab mendapat tempat dalam partisipasinya membangun wilayah yang ditempati. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari penggerak ekonomi di pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara sebagaimana dipaparkan oleh Berg, namun juga memiliki posisi di kerajaan-kerajaan Islam. Abdurrahman az-Zahir misalnya, seorang Hadrami kelahiran Tarim, datang ke Aceh pada tahun 1864 dan menjadi co-regent Sultan Muda Aceh.
Mulai abad ke-20, di tengah-tengah gencarnya nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia, peranakan Arab di Indonesia mengambil peran aktif. Kualitas pendidikan mereka pun telah membaik sejak kehadiran sekolah Al-Irsyad di berbagai daerah. Organisasi bentukan peranakan Arab di Indonesia ini menyelenggarakan sekolah modern yang dibutuhkan oleh sekitarnya saat itu yang mengalami eksklusifisme tinggi. Lahirkan kemudian Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934.
Pembentukan organisasi tersebut diawali dengan penegasan identitas kebangsaan yang disebut sebagai Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isi sumpah yang berisi tiga butir tersebut memberi penegasan atas tanah air Indonesia, komitmen meninggalkan hidup menyendiri, dan pemenuhan tanggung jawab kepada bangsa Indonesia. Upaya yang dipelopori oleh Abdurrahman Baswedan dan kawan-kawan peranakan Arab lainnya tidaklah mudah karena mereka harus melawan kelompok tua. Nasionalisme Indonesia tidaklah mudah diterima kelompok tua karena dinilai mengkhianati cita-cita dan tanah leluhur.
Perlahan namun pasti, nasionalisme Indonesia menjadi pemenang di tubuh para peranakan Arab secara umum. Tidak terdapat catatan kemudian yang mengindikasikan kelompok ‘asing’ ini memisahkan diri atau bahkan menjadi musuh pasukan kemerdekaan. Penegasan keindonesiaan mereka terus bergulir bak bola salju. Salah satunya ditampakkan oleh organisasi terbesar kelompok ini, yaitu Al-Irsyad.
Al-Irsyad dan Keindonesiaan
Keindonesiaan dan nasionalisme merupakan identitas yang disertai dengan usaha-usaha sadar untuk memajukan negara Indonesia tanpa syarat. Oleh karena itu, ‘pemilik Indonesia’ tidaklah dibatasi oleh suku, golongan, agama, maupun etnis. Pradiptajati Kusuma, peneliti dari Eijkman Institute, menyatakan bahwa semua orang Indonesia adalah migran (pendatang). Maka mengidentikkan kontra-nasionalisme dengan asal-usul kedaerahan, suku maupun etnis tertentu adalah sikap yang sepenuhnya salah.
Al-Irsyad yang merupakan organisasi bentukan Ahmad Surkati sebagai seorang Sudan dan oleh peranakan Arab lainnya, menjadi bagian penting dalam upaya penegasan keindonesian ini. Meski dibentuk oleh peranakan Arab, namun partisipasinya dalam pembangunan Indonesia tidaklah rendah. Ahmad Surkati sang pendiri, menegaskan untuk memilih mati di Jawa sebagai jalan dakwahnya dibanding mati di Mekkah.
Dalam catatan Badjerei, Surkati pernah berkata kepada salah seorang muridnya, H.M. Rasjidi, bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dirinya telah berganti menjadi unsur-unsur Indonesia. Kepada muridnya tersebut ia mengatakan bahwa akan menghabiskan seluruh hayatnya di Indonesia.
Ketegasan atas keindonesiaannya pun dibuktikan dengan melakukan perdebatan dengan Semaun, pemimpin Sarekat Islam Merah di sela-sela Kongres Al-Islam pertama di Cirebon tahun 1922. Topik debat tersebut ialah apakah dengan Islam atau Komunisme yang dapat memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Surkati berkeyakinan bahwa dengan Islam-lah, negeri Indonesia dapat merdeka dari penjajah.
Para muridnya pun terbukti dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara seperti H.M. Rasjidi, Abdurrahman Baswedan, dan Umar Hubeis. Bukti nyata mereka dalam kemerdekaan ialah membawa misi diplomatik kemerdekaan Indonesia ke negara-negara Timur Tengah. Dua dari empat delegasi Indonesia ke forum Liga Arab di Mesir tahun 1946 adalah lulusan sekolah Al-Irsyad binaan Ahmad Surkati, yaitu Rasjidi dan Baswedan. Hasilnya pun sangat tidak mengecewakan. Liga Arab menganjurkan semua negara anggotanya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Lebih jauh, tokoh-tokoh lulusan sekolah Al-Irsyad justru lebih banyak bukan berasal dari peranakan Arab. Selain Rasjidi, terdapat nama Hasbi Asshidiqie, Yunus Anis, Shaleh Suaidy, Kahar Muzakkir, dan Farid Ma’ruf. Banyak di antara mereka yang mengisi ruang-ruang perjuangan bangsa seperti dalam MIAI, BPUPKI, Dewan Konstituante, hingga Menteri kabinet.
Secara organisasi, Al-Irsyad menunjukkan identitas keindonesiaannya melalui sekolahnya. Pascakemerdekaan, seluruh sekolah Al-Irsyad mengubah bahasa pengantar pembelajaran yang semula bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia. Inklusifitas ditunjukkan oleh Al-Irsyad melalui penggunaan kurikulum nasional, Dileburnya Kepanduan Al-Irsyad ke dalam Pramuka Indonesia, serta partisipasi kenegaraan lainnya.
Oleh karena itu, eksklusifitas atau bahkan alienasi peranakan Arab di Indonesia maupun Al-Irsyad pada khususnya, tidaklah terjadi dalam catatan sejarah. Justru dalam konteks kearaban di Indonesia, Al-Irsyad dalam catatan sejarah, menjadi perangkat yang aktif dalam mendobrak sekat-sekat etnis untuk kemudian disatukan dalam bingkai keindonesiaan. Melalui gerakan pendidikannya, Al-Irsyad berupaya untuk mencapai salah satu tujuan negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.