Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syauqi Khaikal

Kopi Turgo: Menyesap Kopi di Lereng Bukit Turgo

Kuliner | Sunday, 07 Aug 2022, 23:44 WIB

Turgo, agaknya nama yang demikian asing bagi sebagian orang. Perjalanan memang selalu membawaku ke tempat-tempat yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, hingga kemudian perjalanan juga yang mengantarku ke Turgo. Dusun Turgo. Dusun yang terletak jauh di utara, tempat berdiri gagah sebuah bukit dengan nama yang sama, Bukit Turgo.

Mulanya, taka da terpikir bahwa tempat ini bakal menyediakan secangkir kopi sebagai teman di tengah udara dingin pada perjalananku saat itu. Pasalnya perjalanan kami sepenuh- penuhnya diniatkan sebagai ekspedisi kecil-kecilan untuk melacak keberadaan anggrek di lereng Merapi. Sambil lalu berharap bertemu dengan pemilik kebun anggrek spesies Merapi dengan harga miring. Rupanya bukan cuma anggrek yang kudapat, juga kopi, minuman yang tak pernah absen kunikmati barang sehari.

Ialah Pak Musimin pemilik tempat kopi di Turgo. Aku diberi kabar oleh seorang penjual sate kelinci di Tlogo Muncar. “Di sini tidak ada anggrek, Mas. Kalau hendak mencari anggrek bertolak saja sedikit ke arah barat dari tempat ini. Turgo namanya, di sana ada sepasang suami istri yang sejak awal menjadi penangkar anggrek asli Merapi”. Mendengar informasi itu, beranjaklah aku sesuai arahan si penjual sate kelinci. Sedikit ke barat, menuju Turgo.

Tiba di lokasi, nampak sebuah plang yang kemudian menuntunku untuk memaksa motor sedikit berjalan menanjak pada jalan yang disusun dari batu-batu. Cukup sulit karena memang jalan demikian menanjak di tambah licin pada bebatuan tajam sisa hujan semalam. Tapi setelah melewati tanjakan berbatu tersebut, tibalah kita di sebuah pekarangan, satu- satunya rumah di tempat itu, pasalnya di belakang rumah itu yang tersisa cuma hutan rimbun- basah. Taman Nasional Gunung Merapi.

“Mari silakan”, Pak Musimin dan istrinya menyambut kami dengan hangat. Aku diterima di kedai kopinya, tepat di sebelah green house yang penuh dengan anggrek spesies Merapi. Barangkali inilah penangkaran yang dimaksud itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung memesan secangkir kopi susu robusta, dengan harapan obrolan dengan Pak Musimin dapat semakin panjang dan hangat. Pasalnya aku sudah demikian penasaran dengan kisahnya, soal bagaimana dia menjadi orang yang dikenal sebagai penangkar anggrek Merapi mula-mula.

Secangkir kopi terhidang di meja. Beserta satu piring pisang goring sebagai bonus perkenalan, katanya. “Jarang betul ada anak muda yang datang ke tempat ini dan bukan kopi sebagai tujuan utamanya, melainkan anggrek”, ucap Pak Musimin meneruskan obrolan yang sempat terpotong. Tumpah-ruah juga obrolan demi obrolan. Sambil lalu aku menyesap kopi yang demikian nikmat di balik kabut yang sesekali turun dari kedalaman Taman Nasional Merapi. Kopi Turgo Pak Musimin demikian khas, barangkali demikianlah aku memberi penilaian. Pasalnya lidahku sudah demikian banyak menyesap kopi, mulai dari Lamongan, Gresik, Malang, Jombang, Temanggung, hingga kopi-kopi Sulawesi, Sumatera, bahkan Papua.

Tapi kopi Turgo, menyediakan rasa yang tak dapat ditemukan di lain tempat. Pahit tapi tak pekat. Menyisakan sedikit sekali rasa asam, sisanya cuma nikmat. Ditambah susu yang porsinya demikian tepat, tak menghilangkan aroma dan rasa kopi, tapi tetap juga ada terasa.

Pak Musimin rupanya bukan sekadar penangkar anggrek, melainkan juga penyelamat anggrek Merapi. Pasalnya beliau yang kemudian tergerak menghimpun kembali bermaca jenis anggrek spesies Merapi pasca erupsi hebat yang terjadi di gunung itu. Erupsi yang kemudian membakar segala yang ada pada kedalaman hutan-hutan Merapi.

Langkah Pak Musimin sukses menyelamatkan lebih dari 70 jenis anggrek spesies Merapi. Kegiatan beliau menyelamatkan anggrek Merapi bahkan disebut sebagai satu-satunya pekerjaan yang digeluti oleh Pak Musimin. Sementara sebagai seorang petani dan pemilik kedai kopi cuma sekadar kerja sampingan. Bahkan terpaksa, pasalnya kedai kopi miliknya dimaksudkan sebagai tempat untuk menjamu pengunjung yang sejak awal memang hendak membahas anggrek Merapi.

Tapi siapa yang bisa mungkir soal kenikmatan kopi olahannya. Atas beberapa saran pengunjung, Pak Musimin diminta untuk membikin serius kedai kopinya. Kopi senikmat itu memang pantaslah jika dicari hingga tempat yang jauh ini. Namun saran cuma tinggal jadi saran, Pak Musimin tentu tak punya modal untuk membikin kedai kopi dengan berbagai alat yang tentu demikian mahal. Demikianlah beliau mengenangkan kisah-kisah awal soal kedai kopinya.

Keluhan soal ketidakmampuan beliau membeli peralatan untuk membuka kedai kopi kemudian menggerakkan beberapa pengunjung untuk turut membantu mengumumkan kepada khalayak soal jasanya dalam menyelamatkan anggrek Merapi. Hingga akhirnya benar-benar dapat terbeli bermacam alat layaknya kedai kopi modern di kota Jogja. “Kopi yang dinikmati oleh sampeyan ini, Mas, hasil kebaikan banyak orang. Minumlah, sesap dan nikmati. Sembari lalu kalau bosan silakan melihat-lihat anggrek di sebelah”, Pak Musimin tersenyum sembari pamit meninggalkanku sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image