Seamin Tak Seiman, Polemik Nikah Beda Agama
Info Terkini | 2022-08-06 23:44:39Sulit untuk dipahami dari proses jatuh cinta, mulai dari proses kenal hingga saling jatuh cinta. Cinta memang muncul dengan sendirinya tanpa bisa dibendung dan jika rasa cinta itu muncul apapun rintangan pasti akan diyakini mudah dilewati berdua.
Ditengah dua pasangan yang sedang kasmaran atau bahkan yang sudah ingin melangkah ke jenjang pernikahan, ada pun rintangan yang bisa dikatagorikan sandungan paling sulit dalam proses tersebut adalah perbedaan keyakinan antar pasangan, tidak dapatnya restu orang tua dan pernikahan yang tidak diakui negara.
Dalam hal ini utamanya pada pernikahan beda agama yang sering kali menjadi polemik di negara kita, Indonesia memang belum secara gamblang mengakomodir aturan terkait menikah beda agama, namun praktik menikah beda agama juga masih banyak ditemui. Seperti beberapa waktu lalu yang di putuskan oleh Pengadilan Negeri(PN) Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama(kumparan,23/06/22).
Berbagai pendapat pun meminta segera di buat aturan, ada juga yang secara tegas melarang dan berbagai macam sudut pandang mengomentari hal tersebut, lalu bagaimana negara hadir dalam hal ini?
Multitafsir Nikah beda Agama
Pro dan kotra terkait pernikahan beda agama, secara aturan hukum dalam UUD Perkawinan pun saling tumpang tindih terlebih lagi pendapat-pendapat dari berbagai kalangan masyarakat yang saling lempar opini.
Jika perujuak perundang-undangan pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Pasal yang di atur dalam UU tersebut sudah jelas bahwa akan sahnya sebuah perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama, sehingga wajar jika ada agama misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agamanya dan apabila tetap dipaksakan menjadi tidak sah.
Majelis Ulama Indonesia(MUI) pun mengoreksi terkait putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang memberikan izi nikah beda agama yang ada di Surabaya beberapa waktu lalu. Sekertaris Jendral MUI Amirsyah Tambunan menegaskan bahwa “pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal Pasal 2 ayat 1”.
Secara tertulis pun dalam fatwa MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama menyatakan, “Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah dan perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah”.
Namun berbeda dengan beberapa pendapat diatas Nova Effenty Muhammad, Dosen Fakultas Syariah, IAIN Sultan Amai Gorontalo. Berpendapat menurut ‘fikihnya sebenarnya ada memang ulama yang kemudian membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan. Semuanya punya alasan masing-masing’ dilansir merdeka.com(7/7/22).
Penjelasan lanjutan dari Nova bahwa sebenarnya ini persoalan tafsir saja, jika diperbolehkannya seorang muslim menikah dengan ahlul kitab, maka al qur’an tidak menyebut orang non muslim sebagai kafir atau musyrikin tapi ahlul kitab, sehingga jika ahlul kitab maka boleh untuk dinikahi.
Dari berbagai pendapat yang masih pro kontra Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah memiliki pendapat yang disesuaikan pada aturan yang ada, bahwa pencatatan pernikahan beda agama bisa dilakukan merujuk pada Pasal 35 huruf a jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Sehingga pada aturan diatas jika perkawinan itu dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan.
Zudan menjelaskan ‘jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen, maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam, maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).’
Munculnya Pro Konta yang semakin membingungkan maka seharusnya negara hadir agar permasalahan ini dapat secara jelas dan diatur dalam peraturan tentang nikah beda agama, sehingga tidak ada lagi istilah meski sudah seamin namun tak seiman menjadi boomerang bagi pasangan yang saling mencintai namun berbeda keimanan.
Sikap Pasangan Beda Agama
Terlepas dari polemic yang ada tentang nikah beda agama, ada satu hal yang lebih penting menurut penulis, yaitu proses kehidupan pasangan beda agama. pasangan suami istri pada umumnya tidak akan jauh dari aspek komunikasi dalam menjalin hubungan rumah tangga, maka diperlukannya sebuah interaksi dari setiap pasangan untuk menumbuhkan rasa cinta.
Lebih lagi pada pasangan beda agama yang berusaha menjaga keharmonisan keluarganya, nilai-nilai dalam keluarga yang beda agama akan sangat berbeda jika dikaitkan pada teori interaksi simbolik.
Interaksionisme simbolik sendiri menurut Barbara Ballis Lal (Littlejohn,2002) sebagai sebuah gerakan yang fokusnya untuk meneliti cara-cara manusia berkomunikasi, memusat atau dapat berbagi makna. Dengan demikian pelaku komunikasi tidak hanya bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain dan objek-objek sosial, mereka juga berkomunikasi dengan diri mereka sendiri, bagaimana ketika mengambil keputusan, bagaimana bertindak terhadap suatu objek sosial.
Maka pada pasangan beda agama jika di lihat pada teori tersebut muncul sikap yang saling menghargai, toleransi, dan perhatian. Karena selain memikirkan dirinya sendiri maka dia akan memikirkan perasaan pasangannya, terutama pada perihal keyakinan dalam beragama maka pemaknaan dalam intepretasi keluarga harmonis dapat diwujudkan.
Begitu pula dalam pengambilan sebuah keputusan yang bersinggungan soal keyakinan, akan lebih mengutamakan menjaga hubungan keluarga dan lebih akan mentoleransi menjadi solusi yang akan di ambil.
Oleh karena itu penulis akan mendukung dipercepatnya perumusan aturan khusus terkait UU Perkawinan pada pasangan yang beda agama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.