Kesuksesan tak Mengenal Standar
Sastra | 2021-11-25 23:06:04Judul : Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa
Pengarang : Alvi Syahrin
Penerbit : Gagas Media, Jakarta
Tahun Terbit : 2019
Halaman : 229 + xii halaman
ISBN : 978-979-780-948-5
Harga Buku : Rp. 88.000 (Pulau Jawa)
Peresensi : Silmi Rosyda Amini
Mahasiswi Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang
Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa merupakan buku ke-2 dari seri Jika Kita karya Alvi Syahrin. Buku ini ditujukan untuk para pembaca yang sedang mempertanyakan, mengkhawatirkan, dan mencemaskan masa depan. Teruntuk mereka yang sedang kecewa dan bertanya-tanya tentang makna usaha.
Judul buku ini menarik perhatian dan menimbulkan banyak pertanyaan saat pertama kali membacanya. Adakah seseorang yang tidak pernah menjadi apa-apa dalam perjalanan hidupnya?. Bagaimana cara agar kita bisa menjadi apa-apa dalam hidup?.
Buku ini adalah perjalanan berdamai dengan diri sendiri. Mengajarkan untuk tetap berprasangka baik kepada Allah saat mimpi, keinginan dan doa tak kunjung terwujud.
Dalam bab awal buku ini penulis mengajak kita untuk menilik standar kesuksesan yang sedang digaungkang oleh society dan media. Makna kesuksesan yang dinilai dengan menjadi dokter, pengusaha, dan CEO muda kaya raya. Menarik kita pada kesadaran yang menimbulkan pertanyaan : Pasti ada yang lebih penting dari kesuksesan. Tapi apa?.
Perjalanan untuk âmenjadi apa-apaâ dalam buku ini dimulai setelah kita lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas. Ketika kita dihadapkan pada pilihan melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan. Pilihan-pilihan yang sangat berbanding terbalik antara keinginan dan kenyataan.
Bingung memilih jurusan, gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri, terjebak gap year, sibuk membandingkan pencapaian diri dengan teman dan orang sekitar. Problematika yang sering ditemui sebelum masuk perguruan tinggi. Sejatinya bukan tentang âperguruan tinggiâ, tetapi tentang ekspektasi dan standarisasi masyarakat bahwa kesuksesan ditentukan oleh jurusan, universitas, dan kuliah.
Melalui penggalan kisah pengalaman pribadi, penulis mengajak kita untuk lepas dari standarisasi kesuksesan orang lain. Karena setiap orang mempunyai prosesnya masing-masing. Yang perlu dilakukan saat keinginan tak sesuai dengan kenyataan adalah menerimanya, melihat dari sudut pandang positif, dan tetap berjuang dengan berdoa dan berusaha.
Kuliah adalah salah satu cara untuk menuntut ilmu; dengan pengakuan negara dan yayasan yang legal. Kuliahlah jika memang membutuhkannya. Bukan karena gengsi atau bahkan dendam masa lalu. Jika keadaan belum berbaik hati dengan memberikan kesempatan berkuliah, maka tak mengapa. Jangan terpaku pada pintu yang tertutup karena ada banyak cara menuntut ilmu.
Bangku perkuliahan bukanlah lahan tanpa ujian. Permasalahan tentang sistem pembelajaran, tekanan dan ekspektasi, jurusan dan passion akan selalu menemani perjalanan menuju kelulusan. Dan bagi mahasiswa rantau, homesick yang kerap kali datang menjadi âteman perjalananâ yang tak mudah untuk dihadapi.
Dalam buku ini perkuliahan menjadi perjalanan penuh pembelajaran. Perjalanan yang tak pernah memberikan kepastian akan seperti apa dan menjadi siapa seseorang di masa depan. Tetapi, perjalanan tersebut penuh akan pembelajaran sebagai bekal menjalani kehidupan.
Perjalanan dan perjuangan mahasiswa akan usai saat wisuda. Tugas yang sulit, praktikum yang melelahkan, skripsi yang rumit, semua terselesaikan. Doa-doa yang dipanjatkan selama perjuangan terkabulkan. Dan itu menjadi pembuktian bahwa sesulit apapun perjuangan, ia akan terselesaikan. Di masa depan, masalah-masalah yang akan datang tak punya batas waktu seperti perkuliahan. Namun, semuanya akan berlalu.
Lantas apakah setelah lulus perjuangan sudah berakhir? Tidak. Perjuangan sesungguhnya dimulai setelah lulus dari perguruan tinggi. Dalam fase ini akan timbul kesadaran bahwa jurusan, universitas, IPK, dan pengalaman-pengalaman yang dulu dibanggakan tidak pernah menjamin masa depan. Susahnya mencari pekerjaan yang sesuai, keinginan melanjutkan studi, dan pencapaian orang lain menjadi problematika yang sering dirasakan oleh para fresh graduate.
Dibalik sebuah pencapaian akan selalu ada mimpi yang tak tercapai. Penulis mengajak kita untuk mensyukuri setiap mimpi yang tak tercapai, karena mimpi-mimpi tersebut merupakan bagian dari doa-doa yang belum dikabulkan. Dan dibalik doa yang belum dikabulkan ada keindahan yang tersimpan.
Melalui buku ini penulis menyadarkan bahwa hidup adalah tentang sebaik-baiknya berusaha, jatuh lalu bangkit lagi, dan tak berhenti percaya bahwa segala perjuangan tidak akan sia-sia. âJika kita tak pernah jadi apa-apa..., well, ya, sudah. Toh, kita sudah berjalan sejauh ini dan mengumpulkan pelajaran berharga. Namun, kau tahu?. Sesungguhnya, kita selalu menjadi apa-apaâ [Hal.228].
Dalam bab-bab akhir buku ini, penulis memberikan pemahaman baru mengenai konsep âkeberhasilanâ. Ia mengakhiri bukunya dengan tulisan : â Kita mungkin belum menjadi apa-apa di dunia ini. Namun, mudah-mudahan, di akhirat kelak, kita jadi apa-apa.â
Sampul buku yang sederhana dan terkesan memiliki makna mendalam menjadi daya tarik buku ini. Selain itu, buku ini memiliki kelebihan dalam penyajian jenis dan bentuk huruf yang nyaman dibaca. Penggunaan gaya bahasa yang interaktif dan diselipkan pengalaman pribadi penulis membuat pembaca seolah-olah sedang berkomunikasi dengan penulis melalui kisahnya. Pemilihan warna kertas menjadi sedikit kekurangan buku ini. Kendati demikian, bukan menjadi persoalan besar dalam membacanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.