Belajar dari Kisah Sepasang Sepatu
Eduaksi | 2021-11-25 13:37:37Judul buku : Sepasang Sepatu Tua
Pengarang : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2019
Halaman buku : 114 halaman
Harga : Rp. 68.000
Peresensi : Yuni Riska Sari*) / 138 / Farmasi C
Memilih sepatu sama halnya dengan kecocokan dan perjodohan pada setiap orang. Sepasang sepatu pilihan yang dibeli seseorang, pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan ketenaran mereka sendiri. Juga bukan masalah seberapa baik selera untuk mencerminkan kelas sosial seseorang. Ini adalah pendapat penulis Sapardi Joko Damono, yang Ia terapkan dalam cerita pendek yang berjudul "Sepasang Sepatu Tua". Judul tersebut dipilih Sapardi karena diambil dari pengalaman ceritanya yang jatuh cinta pada sepatu. Kemudian Ia memutuskan untuk membelinya tanpa negosiasi, yang sebelumnya ditulis oleh Sapardi dalam bentuk puisi.
Tulisan Sapardi tampaknya membuat banyak orang bimbang ketika memilih atau membeli sepatu dan barang berharga lainnya. Sepatu sering dinilai berdasarkan harga, nama merek, model dan warna, dan seberapa baik mereka mencerminkan selera orang-orang dari kelas sosial tertentu. Jika berbeda dengan selera kelas sosial akan dianggap jelek, pedesaan atau norak. Terkadang orang mengabaikan fakta bahwa, menyukai sepatu tertentu secara sekilas akan menyesuaikannya dan jatuh cinta padanya sebelum memutuskan untuk membelinya.
Sapardi mengungkapkan bahwa rasa adalah masalah selera dan berasal dari hati dengan cara yang sangat sederhana, sehingga orang lain tidak bisa meremehkannya. Sekali lagi, selera tidak menunjukkan kelas sosial seseorang. Ketika menjelaskan bagaimana sepatu berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yang umumnya tidak dipahami orang, mereka sering berdebat karena berbagai alasan.
Sapardi tampaknya ingin pembaca lebih menghargai dan mencintai barang yang dimilikinya. Perlakukan itu seperti pada benda mati, benda baru akan menggantikan benda lama yang sudah usang. Sapardi berbicara tentang berbagai benda dan makhluk lain di sekitar kita, seperti kertas dan kadal dari cerita pendek yang berjudul "Kertas Arakan".
Menceritakan dalam cerita pendek yang berjudul "Luma Luma", Sapardi juga melihat orang dari sisi yang berbeda. Seperti contohnya, Sapardi bertemu orang gila dan memperlakukan mereka secara berbeda. Benda dan makhluk lain menunjukkan bahwa mereka semua memiliki jiwa, seperti dalam cerita yang berjudul "Seorang Rekan di Kampus Menyarankan untuk Memahami Mengapa Orang Lain Tergila-Gila Padanya". Sapardi membalikkan jiwa orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakat dan opini publik. Oleh karena itu, segala sesuatu harus diperlakukan dengan sangat baik dan hati-hati. Sementara itu, Sapardi merangkum berbagai cerita satir bernuansa kritik sosial, menertawakan pandangan umum tentang makna sumpah dalam cerita "Jemputan Lebaran".
Kemacetan lalu lintas, banjir yang sering terjadi, dan trotoar lebar yang dihalangi oleh pedagang kaki lima, sehingga merampas hak pejalan kaki. Dia mengatakan semua ini dalam kisah yang berjudul "Memimpin Anak-Anak Buta". Sapardi juga memperkenalkan beberapa cerita lama dalam buku "Sepasang Sepatu Tua". Seperti cerita yang berjudul âLihat Ketoprak Sampek Kentaek, Solo, 1950â. Lalu ada kisah "Jemputan Lebaran", yang merupakan kisah lama yang ditulisnya pada November 2003. Serta cerita pendek "Menunggu Dodot" juga merupakan cerita lama yang ditulis pada Oktober 2002, di mana Sapardi mencoba memberikan kesan bahwa mendongeng itu mudah dan menyenangkan.
Penulisan naratif tidak harus memenuhi kriteria tertentu, seperti jumlah baris, paragraf, kata, dan lain-lain yang sering dilakukan kurator di bidang sastra. Cerita juga dapat disajikan dengan sangat mudah dalam beberapa baris. Seperti cerita yang berjudul "Dalam Tugas", Sapardi menyajikannya hanya dalam empat paragraf. Artinya, paragraf terakhir hanya berisi dua kalimat. Kalimat pertama terdiri dari enam kata. Kalimat kedua terdiri dari tiga belas kata. Lalu dalam sebuah cerita berjudul "Wartawan Mengharapkan Keputusan Akhir," Sapardi menjelaskannya hanya dalam tujuh paragraf.
Hal lain yang menarik dari beberapa cerita pendek dalam buku ini adalah banyaknya puisi. Sapardi menulisnya dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga lebih mudah dipahami. Dalam buku ini juga meninggalkan beberapa pesan moral, salah satunya yaitu mengajak kita untuk saling menghargai perbedaan, baik dengan benda mati ataupun sesama makhluk hidup.
Sebenarnya dalam buku ini ada beberapa adegan yang sangat menarik, tetapi terlihat biasa saja karena penulis tidak bisa menyampaikannya dengan baik. Butuh dua kali untuk memahami artinya. Di tangan Sapardi, sastra menjadi wajah yang baik dan bijaksana. Semua pandangan dan tulisan Sapardi tentang dalam buku âSepasang Sepatu Tuaâ mencerminkan kedewasaannya sebagai seorang penulis. Oleh karena itu, karya sastra bijak dari penyair Sapardi Joko Damono ini layak dibaca bagi siapa saja yang menginginkan cerita yang berkualitas.
*) Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Malang
Nama : Yuni Riska Sari
Tempat, Tanggal Lahir : Kediri, 22 Juni 2002
Alamat : Jalan Akordeon Selatan 1,Tunggulwulung, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.