Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Romadhon Abdillah, S.Pd.

Remaja Citayam dan Disorientasi Nilai

Guru Menulis | Saturday, 30 Jul 2022, 11:22 WIB
citayam fashion week

Munculnya aksi sekelompok remaja citayam di media sosial turut mengejutkan jagad dunia maya. Aksi yang menampilkan potret gaya dan fashion terkini di ruas ibu kota Jakarta mengundang perhatian masyarakat. Sehingga, masyarakat memberikan istilah citayam fashion week yang cukup populer. Diduga aksi tersebut ditunjukan sebagai bentuk hiburan dan sekaligus ajang kreasi konten kreatif yang menghiasi media sosial.

Aksi yang ditampilkan sekelompok remaja citayam pun menghasilkan berbagai respon dari masyarakat. Baik yang setuju ataupun tidak masing-masing pihak memiliki asumsinya tersendiri. Terlepas dari asumsi pihak mana yang benar, tentunya ekspresi yang dilakukan remaja citayam telah mewakili potret penampilan generasi z di kehidupan masyarakat.

Generasi z memiliki karakteristik yang akrab dengan media sosial. Sehingga, hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di dunia maya. Keinginan untuk tampil modis dan keren menjadi orientasi mereka agar bisa terlihat viral di media sosial. Menurut Elizabeth Santosa dalam bukunya raising hildren in digital era, generasi z cenderung ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain atas ekspresi yang dilakukannya. Inilah yang menjadikan setiap aktivitas penting tidak lepas dari dokumentasi untuk ditampilkan di media sosial.

Karakteristik yang tersimpan pada generasi z tentunya, bisa menjadi potensi yang bisa mengarah kepada hal positif, jika mendapatkan arahan yang benar. Namun, disisi lain karakter tersebut bisa memberikan pengaruh negatif apabila tidak mendapatkan bimbingan dan arahan. Generazi z akan cenderung mengalami krisis etika karena hidup dengan gaya berbasis teknologi dan produktif dalam menggunakan media sosial.

Fenomena aksi remaja citayam menjadi tanda bahwa generasi z sangat mementingkan popularitas sosial media dengan melakukan kegiatan yang sedang tren. Segala sesuatu yang mereka lihat di media sosial akan dengan sangat cepat mereka tiru dan tampilkan, tanpa mempertimbangkan makna dan nilai dari apa yang mereka lihat. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk imitasi dari aksi fashion yang ditampilkan anak muda di Jepang yang terkenal istilah ‘Harajuku’ dan anak muda Korea Selatan yang terkenal istilah ‘Hongdae Street’. Perkembangan teknologi dengan sangat mudah mempengaruhi gaya hidup generasi z.

Tren gaya berpakaian menjadi sesuatu yang digemari oleh generasi z. Bahkan, tingkat pembeliannya pun cenderung tinggi. Mengingat generasi z cenderung menampilkan aktivitas dengan identitias busana di media sosial, karena hal itu akan mengundang partisipasi follower. Sehingga, ia layak dan diakui oleh lingkungannya. Fenomena mengikuti tren akan sangat berbahaya apabila tidak diimbangi dengan nilai spiritual. Akibatnya, tidak sedikit aksi citayam fashion week menampilkan busana yang memperlihatkan aurat dan adegan pacaran dikalangan remaja.

Kehidupan di kota metropolitan yang serba modern terkadang menggilas nilai-nilai spiritual. Sehingga, fenomena yang sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai agama akan dianggap biasa dikalangan masyarakat. Hal itu disebabkan karena popularitas tayangan di media sosial akan melahirkan sesuatu nilai yang wajar dan pembenaran, selama tidak merugikan orang lain. Padahal, landasan spiritual menjadi ruh utama bangsa Indonesia dalam setiap aktivitas sebagaimana termaktub dalam pancasila. Hal itulah yang menjadi pembeda dengan negara lainnya.

Spiritualisasi Digital

Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti tren yang sedang berkembang di masyarakat, termasuk kreativitas yang ditampilkan dalam citayam fashion week, selama tren tersebut sejalan dengan nilai-nilai agama. Menampilkan penampilan yang indah merupakan anjuran dari agama, akan tetapi jangan sampai penampilan menghilangkan hakikat fungsi pakaian yang sebenarnya, yaitu untuk menutup aurat. Selain itu, jangan sampai hanya penampilan yang turut diperindah sementara sikap dan perilaku diabaikan.

Kreativitas manusia bukan sesuatu yang dikekang dalam pandangan agama, selama hal itu mengandung nilai kebaikan dan manfaat. Agar generasi z bisa mengarahkan kretivitas media sosialnya dengan nilai-nilai agama, maka perlu adanya upaya untuk melakukan spiritualisasi digital. Melibatkan peran serta agama dalam bermedia sosial dirasa perlu. Karena tidak semua hal-hal yang tren dan viral sejalan dengan nilai-nilai agama. Agama bukan menjadi pembatas melainkan sebagai kendali dalam berperilaku dan menyerap arus informasi.

Sebagai generasi muda yang terlahir dan hidup di zaman yang penuh dengan kecanggihan teknologi, akan sangat berbahaya jika tidak dibekalkan nilai-nilai agama. Orientasi materialitsik dan hedonistik menjadi tujuan utama yang akan mengesampingkan nilai-nilai spiritual. Akibatnya, ajaran agama ditabrak hanya untuk mengejar popularitas dan kesenangan netizen di media sosial. Padahal, masih ada kreativitas lain yang jauh lebih dibutuhkan bangsa Indonesia dibanding hanya sekedar menampilkan fashion.

Orang tua menjadi garda terdepan untuk membekali nilai-nilai spiritual pada anak-anaknya, agar tidak salah jalan dalam bermedia sosial. Karena pada dasarnya remaja masih perlu banyak bimbingan dan arahan dalam menjalani kehidupan. Agar dapat menemukan jati diri dan masa depan yang sebenarnya. Jangan sampai dibiarkan liar begitu saja untuk mengikuti arus modernitas tanpa arah yang jelas.

Oleh karena itu, aksi yang ditampilkan citayam fashion week oleh generasi z sesungguhnya telah menandakan terjadinya disorientasi nilai akibat pengaruh akses media sosial. Pendidikan tidak lagi menjadi suatu kebutuhan dan nilai-nilai spiritual tidak lagi dijadikan pedoman. Jika hal potensi kreativitas generasi z tidak mendapatkan arahan dan bimbingan tentunya akan mencelakakan masa depan generasi bangsa. Wallahu A’lam Bi Al-Shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image