Jangan Diabaikan, Inilah Tiga Kunci Keselamatan Hidup
Agama | 2022-07-23 13:23:44Meskipun belum semua orang bisa meraih dan menikmatinya, berbagai kemudahan hidup dapat kita peroleh dalam kehidupan di era kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini. Kini untuk memenuhi kebutuhan hidup baik dalam skala besar maupun kecil untuk membeli dan membayarnya tinggal memainkan jari di atas layar smartphone.
Kini semua orang nyaris tak menggerakkan kaki melangah keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Semuanya diantar ke depan pintu rumah. Pelayanan antar-kirim-jemput barang, pelayanan jasa, dan kebutuhan lainnya yang serba online dan serba aplikasi sudah menjadi tradisi masyarakat era teknologi komunikasi seperti sekarang ini.
Namun perlu juga diwaspadai, bukan saja kebutuhan hidup, pelayanan jasa, dan kebutuhan lainnya yang ada di ujung jari kita, kini dosa dan maksiatpun ada di ujung jari kita, dan bisa menghiasi setiap sudut-sudut rumah kita.
Dengan kata lain, kebaikan, keburukan, dosa, dan maksiat tidak lagi dilakukan secara manual, namun bisa dilakukan secara virtual. Ghibah dan gossip yang dahulu dilakukan dengan berkumpul ngobrol di teras tetangga atau dalam acara arisan, kini cukup ngobrol “di teras” group media sosial yang jangkauannya lebih luas dan lebih cepat tersebarnya daripada ngobrol di teras tetangga.
Kemudahan melakukan kebaikan dan keburukan ini pada akhirnya berimbas pada kemudahan meraih keselamatan dan kesempitan hidup yang berujung pada kecelakaan hidup. Seperti halnya kebaikan dan keburukan, keselamatan dan kecelakaan hidup kita pada era teknologi seperti sekarang ini berada di ujung jari kita.
Kita sudah sering menyaksikan orang-orang yang tersandung hukum gara-gara komentar lisan mereka yang diwakili ujung jari mereka untuk mengetik komentar positif dan negatif seseorang di layar smartphone. Mereka begitu asyik memainkan jarinya mengomentari apapun yang mereka inginkan. Jarinya semakin asyik, terasa indah menari-nari ketika komentarnya banyak dibaca orang dengan beribu-beribu jempol “like”.
Keasyikan jarinya menari-indah baru terhenti ketika ada pihak yang merasa tersinggung, terhina, merasa dilecehkan melaporkannya ke pihak berwajib. Jurus mempertahankan diripun dikeluarkan agar tidak tersandung hukum, namun jika sudah terbukti melanggar hukum siapapun tak bisa berbuat banyak selain harus terpaksa ksatria menghadapinya.
Kasus terbaru yang dialami Roy Suryo, mantan Menpora harus dijadikan pelajaran bagi kita. Kita harus semakin hati-hati ketika berperan sebagai “aktor atau aktris” di media sosial. Etika harus tetap kita jaga dan hukum harus kita taati.
Salah satu etika yang harus kita taati adalah jangan melakukan bully terhadap siapapun, apalagi jika sudah melakukan bully terhadap bentuk fisik seseorang. Islam sangat melarang melakukan bully, menghina bentuk fisik seseorang, bahkan terhadap orang yang berlainan agama sekalipun.
Demikian pula halnya, kita harus mentaati hukum, baik hukum positif maupun hukum-hukum yang sudah ditentukan dalam agama. Misalnya saja, Islam melarang melecehkan atau menghina ajaran agama yang lain, sebab ketika kita menghinanya, mereka pun akan membalas menghina ajaran Islam dengan hinaan yang lebih buruk daripada hinaan yang telah kita lakukan kepada penganut agama lain.
“Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (Q. S. Al-An’am : 108).
Tidak berlebihan dalam berbicara atau berkomentar, selalu mempertimbangkan maslahat dan mudarat dari apapun yang kita lakukan merupakan pedoman hidup yang harus kita pegang pada saat ini. Selain itu, kita harus menahan diri dari viralitas dan popularitas yang selalu digaungkan media sosial. Diakui atau tidak, hasrat ingin viral dan populer sering menjadi obsesi setiap orang, terutama para “aktor dan aktris” media sosial.
Pada era teknologi komunikasi seperti sekarang ini, kita lebih sering disuguhi tontonan perilaku orang lain. Parahnya, yang lebih senang kita tonton adalah kejelekan dan kelemahan yang dilakukan orang lain. Lebih dari itu, kita lebih sering mengomentari perilaku kejelekan dan kesalahan orang lain daripada melakukan introspeksi terhadap perilaku dan kesalahan diri sendiri.
Sungguh patut berbahagi orang-orang yang masih mampu mengenal kejelekan dan kelemahan dirinya sendiri, apalagi jika sampai mengeluarkan air mata karena sadar akan kejelekan, kehinaan, dosa-dosa, dan kelemahan dirinya. Allah hanya akan menjadikan seseorang itu mulia, apabila ia menyadari akan kekurangan dirinya, merasa tak berdaya, dan tak merasa memiliki apapun di hadapan-Nya.
Rumah kita yang dahulu dihiasi dengan berbagai foto keluarga atau lukisan yang digantung di dinding, kini rumah kita diwarnai dengan beragam gambar, film, video, bahkan gambar dan film serta video yang tidak senonoh, melanggar etika, norma sosial, dan agama. Gambarnya tidak dipasang di dinding, namun ada di setiap genggaman tangan para penghuni rumah. Gambar, video, dan filmnya virtual.
Karena terlena dengan keindahan dan merasa terhibur, kita jarang menyadari pengaruh gambar dan film-film virtual yang tidak senonoh tersebut terhadap kehidupan spiritual kita. Secara psikologis, kata-kata kotor, gambar dan film-film tidak senonoh lambat laun akan mengotori jiwa dan otak kita.
Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan racun kecanduan teknologi digital seperti sekarang ini. Menghilangkan kecanduan akan dunia digital, terutama media sosial rasanya lebih sulit daripada menghentikan kecanduan terhadap rokok. Untuk menghentikan atau mengedalikannya diperlukan tekad kuat dari masing-masing orang.
Sejatinya kemudahan hidup pada era teknologi komunikasi seperti sekarang ini harus pula mengantarkan kemudahan kita dalam meraih keselamatan hidup. Dengan kata lain, kita harus bijak dalam menggunakan teknologi komunikasi agar menjadi jalan meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam hadits riwayat At Tirmidzi dan Ahmad diriwayatkan, suatu ketika Uqbah bin Amir bertanya tentang keselamatan hidup kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw memberikan tiga kunci kehidupan yang selamat, yakni pertama, menjaga lisan (termasuk di dalamnya menjaga tulisan), tidak berbicara dan menulis kecuali berbicara dan menulis yang mendatangkan hikmah dan kebaikan.
Kedua, menjadikan rumah yang selalu dihiasi dengan berbagai kebaikan, sedapat mungkin menjauhkan rumah dari perbuatan jahat dan maksiat, dan ketiga sering menafakuri kelemahan diri seraya menangisi atas kesalahan, dosa, dan kemaksiatan yang pernah dilakukan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.